Hari ini saya baru saja membaca sebuah program yang direncanakan oleh Hengky Kurniawan, Wakil Bupati Bandung Barat, terkait untuk mengurangi lajunya angka perceraian, khususnya di wilayah Bandung.
Tidak bisa dipungkiri, beberapa tahun belakangan ini angka perceraian memang kian meningkat. Sebabnya? Tentu saja sangat beragam. Tidak hanya karena pergeseran makna dan nilai mengenai pernikahan, bahkan tingginya penggunaaan media sosial pun ditengarai menjadi salah satu penyebab terjadinya perceraian.
Lantas, bagaimana dengan pandangan yang melihat bahwa perceraian ini semata-mata menjadi salah satu beban yang dilimpahkan pada pihak perempuan? Seolah-seolah perempuan atau istri tidak mampu mengurus rumah tangga sehingga digagaslah sebuah program yang dinamakan ‘Sekolah Ibu’.
Tujuannya, agar para istri atau ibu bisa memahami bagaimana menjalankan rumah tangga. Termasuk menghadapi suami, merawat buah hatinya.
Dengan adanya program ‘Sekolah Ibu’ menurut Hengky Kurniawan, Wakil Bupati yang juga sebelumnya dikenal sebagai artis ini, bisa menjadi salah satu upaya mencegah lajunya pertumbuhan angka perceraian. Parents sudah mendengar program ini?
Berikut kutipan lengkapnya seperti yang telah diunggah Hengky Kurniawan di akun Instagram miliknya:
Dari 5 – 30 November 2018, Kasus perceraian di KBB sebanyak 244 Kasus. Kalo di rata-rata berarti setiap harinya ada 9 – 10 orang yang mendaftarkan perceraian. Ini menjadi masalah yang serius bagi kami Pemerintah Kabupaten Bandung Barat. InshaaAllah di tahun 2019 kami meluncurkan Program “Sekolah Ibu”.
Tujuan didirikanya sekolah ibu untuk memberikan pemahaman tentang berumah tangga, bagaimana menghadapi suami, menahan emosi, bagaimana berkomunikasi dengan anak – anak kita yang beranjak dewasa, dan banyak materi lainya yang nanti akan diajarkan di sekolah ibu. InshaaAllah “ Sekolah ibu “ tidak akan membosankan.
Ibu – ibu makin sayang suami, kompak dengan anak, dan tentunya keluarga akan lebih bahagia. InshaaAllah….
View this post on Instagram
A post shared by Pelayan Masyarakat (@hengkykurniawan) on
Rencana Hengky Kurniawan membuat program ‘Sekolah Ibu’ ini pun akhirnya mengundang beragam reaksi dari warganet, khususnya dari para perempuan.
Dari ribuan komentar yang masuk, menurut saya komentar yang dituliskan oleh pemilik akun Instgram @husnamrh sangat kuat. Berikut komentar yang ia tuliskan:
Wow, the blatant misogyny. Pria tidak usah menahan emosi, lalu kdrt. Pria tidak usah belajar berkomunikasi dengan anak. Padahal faktanya, dari 9.609 kasus KDRT di ranah privat, 5.167 adalah kekerasan terhadap istri (53.7%) (Catahu 2017, Komnas Perempuan).
Pada tahun 2017, dari total kasus perceraian, sebanyak 71% kasus diajukan oleh pihak perempuan, termasuk di dalamnya 1596 kasus poligami & termasuk di dalamnya 20% kasus penelantaran (Catahu 2017, Komnas Perempuan). Di Tahun 2014, terdapat 9 juta perempuan menjadi kepala keluarga karena ditinggalkan oleh suaminya (14% dari total keluarga) (BPS).
Jadi, manajemen emosi, perselingkuhan, dan penelantaran mayoritas adalah masalah suami dalam pernikahan, tapi apabila terjadi perceraian wanita yang kurang dapat menahan emosi dan harus disekolahkan?
Where’s the logic in that. It is YOUR policy, but it is ME who did the research for you. It only took me 30 mins of research on my smartphone to come up with this fact, you @hengkykurniawan with your entire staffs and budget, should’ve done better. Do at least more research before you drop a goddamn absurd policy. I don’t know if it’s just laziness or it’s a shameful sexism.
Sementara, @tasyajulv menuliskan :
Daripada bikin sekolah ibu, kenapa nggak bikin kursus atau pendidikan pranikah? Laki laki & perempuan saling belajar dan memahami peran suami istri, belajar tentang finansial keluarga, seksualitas keluarga, bagaimana membesarkan anak dsb dsb.
Biar kalau ternyata karena kursus itu ada perbedaan prinsip, ya udah nggak lanjut ke jenjang pernikahan, jadinya kan nggak menambah angka perceraian, angka KDRT dll.
Pentingnya pendidikan pra-nikah
Terus terang saja, sebagai perempuan, istri sekaligus ibu, membaca rencana program yang direncanakan Hengky Kurniawan juga membuat saya mengerenyitkan dahi sekaligus bertanya-tanya. “Kenapa hanya dibuat sekolah ibu saja? Apa iya yang perlu belajar hanya ibu? Apa iya, yang perlu mengasuh anak hanya ibu saja? Apa iya yang perlu dipahami hanya suami?”
Rasanya, jawabannya tidak. Setidaknya, ya, untuk saya pribadi.
Lantas, apa perannya pria sebagai suami dan ayah? Dalam hal rumah tangga, khususnya mendidik anak, bukankah idealnya memang dilakukan bersama-sama? Lah wong, membuat anaknya saja sama-sama, kenapa yang mengurus anak hanya dibebankan pada istri?
Buat saya, akan lebih ideal jika program sekolah ditujukan untuk suami dan istri. Namanya saja parenting. Bukan fathering atau mothering.
Memang jika dilihat data yang disajikan dalam komentar @husnamrh 71% kasus perceraian yang terjadi pada 2017 diajukan pihak perempuan, namun kita juga harus menilik data di balik angka tersebut lebih dulu. Bahwa ternyata 20% kasus perceraian pada 2017 diajukan oleh perempuan karena mereka ditelantarkan oleh orang yang harusnya menjadi partner rumah tangganya. Para suami.
Artinya, ketimbang membuat sekolah ibu seperti yang direncanakan Hengky Kurniawan, rasanya program untuk memberikan pendidikan pra-nikah akan jauh lebih bermanfaat. Harapannya, baik calon ibu dan ayah bisa mendapatkan wawasan yang baik.
Saya ingat pernah berbincang dengan psikolog keluarga, Anna Surti Ariani, S.Psi, M.Si, Psi. Psikolog yang kerap saya sapa dengan panggilan Mbak Nina Teguh ini memang sangat concern dengan pendidikan pranikah.
Bersama beberapa psikolog lainnya, ia pun membuat sebuah situs pranikag.org, yang memiliki visi untuk mengupayakan agar tiap keluarga Indonesia bahagia dan sejahtera dan misinya untuk mendewasakan setiap pribadi untuk memilih menikah secara dewasa.
Mbak Nina mengatakan bahwa pendidikan pranikah sangat dibutuhkan untuk calon pasangan suami istri, agar memiliki gambaran pernikahan yang sebenarnya. Bahwa pernikahan bukanlah kisah dongeng yang sering kali berakhir dengan manis.
Bahwa pernikahan penuh dinamika, dan sampai kapan pun akan dibumbui oleh beragam konflik. Untuk itulah, pasangan suami istri perlu sama-sama belajar. Tentunya juga belajar menjadi orangtua, bahwa menjadi orangtua tidak sekadar memberikannya makan minum, tempat tinggal dan pendidikan yang layak.
Jadi apa iya, yang harus belajar hanya para ibu saja?
Baca juga:
Penelitian: Ini 7 Hal yang Sering Menjadi Penyebab Perceraian
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.