Kemarin, warganet dibuat geger lantaran Gisel dan Gading memutuskan bercerai. Berita ini pun sudah dibenarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tempat Gisel melayangkan gugatan cerai kepada suaminya.
Meskipun bukan fans garis keras pasangan selebriti ini, saya pun ikut sedih mendengar pemberitaan ini. Terlebih berita ini memang sangat mengejutkan. Ditambah lagi kalau mengingat selama ini Gisel dan Gading kerap kali tampil mesra, baik di depan layar kaca ataupun sekadar gambaran yang didapatkan lewat unggahan sosial media mereka.
Kalaupun ada pemberitaan negatif, toh, masih dalam hitungan jari.
Pemberitaan perceraian Gisel dan Gading ini, mau tidak mau ikut melibatkan buah hati mereka, Gempita Nora Marten.
Bahkan warnganet menggaungkan tagar #SaveGempi yang akhirnya menjadi trending topik nomer satu di Twitter hingga Rabu malam (21/11).
Tagar ini jelas memperlihatkan keprihatinan warganet dengan kondisi pernikahan Gisel dan Gading yang tidak bisa dipertahankan. Tidak sedikit warganet yang menganggap dengan bercerai, Gempi akan kehilangan kasih sayang kedua orangtuanya.
Serbuan komentar pun menghujani pasangan ini. Meskipun ikut merasa patah hati, banyak yang mendukung dan mendoakan pasangan Gisel dan Gading mendapatkan jalan terbaik.
Ada juga yang mengingatkan bahwa pernikahan memang kerap diterpa badai kecil atau pun besar, hingga pada akhirnya memang harus bisa melewatinya. Ada juga warganet yang memandang bahwa keputusan bercerai adalah tindakan egois karena tidak memikirkan efeknya pada anak.
Pertanyaannya, benarkah bercerai menandakan orangtua egois? Apakah perceraian selalu membuat anak terpuruk? Apakah jika memutuskan untuk mempertahankan pernikahan demi anak, maka bisa menjamin seluruh anggota keluarga akan bahagia? Baik orangtuanya dan anak-anak?
Memang sebenarnya perceraian bukan satu-satunya jalan yang bisa dipilih, toh, sebenarnya ada kondisi yang membuat perceraikan memang layak untuk dilakukan.
Setidaknya, saat pasangan suami istri memutuskan mempertahankan pernikahan hanya demi anak, tindakan ini bukanlah hal yang bijak.
Mengapa?
Parents tentu telah memahami bahwa anak-anak fotocopy orangtua. Apa yang anak-anak lihat dari orangtua, maka akan mudah sekali diserap.
Coba bayangkan, jika kondisi pernikahan memang sudah tidak sehat, namun dipaksa untuk bertahan hanya demi anak, apa yang bisa terjadi?
Seperti yang yang dikatakan Anna Surti Nina, selaku psikolog keluarga, mengingatkan bahwa fondasi sebuah pernikahan tentu terfokus pada pasangan suami istri lebih dulu. Ketika relasi antara suami istri sudah sehat, mau tak mau anak pun bisa ‘membacanya’.
Oleh karena itulah, anak pun bisa berisiko memiliki persepsi yang salah tentang hubungan keluarga. “Bisa saja, jika hubungan sudah tidak sehat, ayah ibunya sering bertengkar, anak bisa menganggap hal ini lumah saja terjadi. Jadi, anak bisa belajar hal yang salah tentang konsep pernikahan.”
Lagi pula, Nina Teguh juga mengingatkan prinsip, anak bahagia lahir dari orangtua yang bahagia. Jika orangtua sudah tidak merasa bahagia, apakah anak bisa bahagia?
Perceraian adalah fase paling sulit dari pernikahan dan kehidupan pasangan. Sebagai orang dewasa, orang tua melewati masa-masa sulit, yang bisa berujung pada perceraian dan anak-anak seringkali menjadi korban.
Anak-anak yang menyaksikan perceraian dapat diganggu oleh pemikiran tidak melihat orang tua mereka bersama lagi. Berikut ini adalah beberapa efek jangka pendek perceraian terhadap anak-anak, dikutip Mom Junction.
1. Gangguan kecemasan
Perceraian menyebabkan anak menjadi tegang, gelisah, dan cemas. Anak kecil lebih rentan terhadap hal ini karena mereka sangat bergantung pada kedua orang tua. Seorang anak yang cemas akan merasa sulit untuk berkonsentrasi pada studinya dan mungkin kehilangan minat pada kegiatan-kegiatan yang pernah ia sukai.
2. Stres terus-menerus
Menurut American Academy of Child & Adolescent Psychiatry, banyak anak menganggap diri mereka alasan di balik perceraian orang tua dan memikul tanggung jawab untuk memperbaiki hubungan kedua orang tuaya. Hal ini dapat menyebabkan tekanan pada pikiran anak, yang dapat memiliki beberapa dampak seperti pikiran negatif dan mimpi buruk.
3. Mood swing dan lekas marah
Anak-anak bisa mengalami perubahan suasana hati dan menjadi mudah marah bahkan ketika berinteraksi dengan orang-orang yang dekat dengan mereka. Beberapa anak akan menarik diri dari lingkungan, berhenti berbicara dengan siapa pun dan menutup diri. Anak akan menjadi pendiam dan lebih suka menghabiskan waktu sendirian.
4. Kesedihan yang intens
Kesedihan akan mengisi hati dan pikiran buah hati. Tidak ada yang terasa enak dalam hidup, dan anak itu akhirnya bisa jatuh ke dalam depresi, yang merupakan efek jangka panjang dari kesedihan ini.
5. Putus asa
Anak-anak yang orang tuanya bercerai mungkin merasa putus asa dan kecewa karena mereka tidak memiliki dukungan emosional dari orang tua mereka. Situasi ini dapat menjadi lebih buruk jika anak dirawat oleh orang tua tunggal tanpa akses ke orang tua lainnya.
Namun, perceraian juga memiliki beberapa dampak positif bagi sebuah rumah tangga. Bisa jadi, anak akan lebih bahagia karena ia tidak perlu melihat orang tuanya bertengkar lagi. Anak juga bisa lebih dekat dengan ayah atau ibu mereka.
Penelitian telah menunjukkan bahwa perceraian dapat membantu anak belajar lebih baik dan meningkatkan nilainya karena ia tidak lagi memiliki beban pertengkaran orang tua di rumah.
Anak akan mendapatkan pelajaran hidup terbaik tentang mengelola hubungan dengan pasangan. Studi menunjukkan, anak yang menyaksikan pertengkaran orang tua dapat menunjukkan kedewasaan dan kesabaran mengelola konflik dalam hubungan.
Bercerai memang bukan jalan yang menyenangkan, tapi setiap pasaagan suami istri tentu saja sudah melewati berbagai pertimbangan lebih dulu. Toh, sebenarnya kita memang tidak pernah tahu apa yang mereka alami bukan?
Baca juga:
Gisella Anastasia gugat cerai Gading Marten, ini prosesnya
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.