Melakukan ibadah haji merupakan hal yang wajib untuk dilakukan bagi setiap umat Muslim yang mampu, setidaknya sekali dalam seumur hidup. Kabarnya, gelar haji warisan kolonial zaman dahulu.
Bagi setiap umat Muslim di Indonesia yang sudah selesai berkunjung ke Padang Arafah, Mekah, mereka akan mendapat gelar haji di depan nama mereka. Tradisi penyematan gelar Haji ini ternyata hanya ada di Indonesia dan merupakan warisan dari kolonial. Apakah benar?
Tahukan anda bahwa Nabi Muhammad SAW beserta sahabatnya tidak pernah memberikan maupun mendapat gelar ‘haji’ usai melaksanakan ibadah itu? Di luar negeri, seperti Arab Saudi dan negara Muslim lainnya tidak mengenal gelar ‘haji’ atau ‘hajjah’ tersebut.
Hal serupa bisa ditemukan pada alim ulama serta pahlawan yang menunaikan haji. Contohnya seperti Cut Nyak Dien, Cut Meutia, dan Teuku Umar yang sudah berhaji namun tak menggunakan gelar. Kondisi ini jelas berbeda dengan kondisi muslim saat ini dan pahlawan di era setelah mereka.
Gelar haji yang di Indonesia umumnya disematkan pada orang yang sudah pernah melaksanakan ibadah haji bukan merupakan ajaran maupun kebiasaan Rasulullah melainkan sebuah peninggalan strategi politik masa Hindia Belanda.
Artikel terkait: Dua Orang Calon Jemaah Haji Meninggal Sebelum Berangkat
Gelar Haji Warisan Kolonial, Benarkah?
Guru Besar bidang Ilmu Sejarah Peradaban Islam UIN Raden Mas Said Surakarta, Syamsul Bakri, membenarkan penyematan gelar Haji hanya ada di Indonesia. Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama UIN Raden Mas Said ini juga membenarkan asal gelar Haji berasal dari pemerintah Hindia Belanda.
Gelar haji pertama kali diterapkan pada 1916. Haji dan pelaksanaanya diatur dalam Staatsblad 1903. Setelah penerapan aturan ini, jamaah haji menerima sertifikat dan gelar di depan namanya.
Hindia Belanda memberikan gelar ‘haji’ pada umat Muslim yang pulang dari tanah suci usai ibadah haji sebagai bentuk siasat politik. Hal tersebut dilatarbelakangi dari sentimen anti-kolonialisme yang akhirnya mempengaruhi para umat Muslim saat berada di Arab Saudi.
Pemberian gelar haji juga dilatari ketakutan dan kekhawatiran Belanda terhadap paham Pan-Islamisme. Paham ini dianggap biang kerok kerusuhan, keributan, dan semangat melakukan perlawanan pada penjajah Belanda. Apalagi mereka yang telah haji dianggap sebagai orang suci dan didengarkan masyarakat umum.
Penyematan gelar haji Pan-Islamisme mengajarkan bahwa umat Islam di seluruh dunia harus bersatu untuk dapat terbebas dari kolonialisme dan imperialisme bangsa Barat.
“Dulu orang haji tidak seminggu sebulan, bahkan bertahun-tahun, karena di sana sambil ngaji, sambil bekerja, macam-macam, dan ada interaksi orang yang berhaji dari berbagai negara,” tutur Syamsul. Menguatnya paham Pan-Islamisme kala itu, hingga pemerintah kolonial yang takut akhirnya menyematkan gelar Haji sebagai penanda.
Ia menegaskan, gelar Haji pemberian Belanda juga bukan merupakan gelar penghormatan. Melainkan, untuk berjaga-jaga jika mereka memengaruhi masyarakat untuk melakukan kritik dan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial.
Menurut sejarawan Asep Kambali dalam unggahannya di TikTok, pemberian gelar haji memudahkan pemerintah kolonial mengawasi para jamaah usai pulang dari Mekah. Belanda berharap perlawanan para haji yang kelak menjadi pahlawan tersebut lebih mudah diredam.
Artikel terkait: Hukum dan Pro Kontra Haji Metaverse, Ini Kata Para Ulama MUI
Cikal Bakal Perlawanan Para Haji
Setidaknya pemerintah Hindia Belanda benar di satu hal, yakni muncul banyak ‘haji’ yang akhirnya berjuang melawan penjajahan melalui siasat dan kecerdasan mereka.
Beberapa di antaranya ada KH Ahmad Dahlan yang menghimpun umat Muslim melalui organisasi Muhammadiyah, KH Hasyim Asy’ari yang mendirikan Nahdlatul ‘Ulama, KH Samanhudi yang mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI), dan HOS Tjokroaminoto yang mendirikan Serikat Islam (SI).
Sifat perlawanan organisasi ini berbeda dengan sebelumnya. Perlawanan di masa awal penjajahan Belanda cenderung tidak terkoordinasi, dalam skala kecil, dan menggunakan kekuatan otot. Perlawanan ini mudah diredam dan banyak tidak tercatat dalam sejarah.
Pertimbangan itulah yang membuat Belanda menyusun ibadah haji menjadi lebih terkoordinasi. Belanda tidak melarang haji namun membuatnya terorganisasi, yang memudahkan pengawasan pada para jamaah.
Selain memberikan gelar, jamaah haji wajib dikarantina lebih dulu selama empat bulan saat sebelum dan sesudah menunaikan haji. Karantina tidak hanya bertujuan mencegah masuknya penyakit dari luar Indonesia, namun Belanda juga siap mengambil tindakan pada jamaah haji yang mulai menunjukkan perlawanan selama karantina.
Demikian fakta di balik gelar haji warisan kolonial. Semoga bermanfaat!
Baca juga:
Sebelum Naik Haji, Wajib Tahu 3 Jenis Haji Ini. Begini Tata Cara Pelaksanaannya!
Jemaah Haji 2022 Wajib Catat, Ini Aturan Baru Masuk Raudhah yang Terjadwal