Laporan terbaru dari lokasi terdampak tsunami Selat Sunda di pesisir Banten membuat kening mengerut. Secara tak terduga, pesisir yang porak poranda menjadi objek wisata bagi orang-orang yang… ingin foto selfie. Dengan latar kehancuran dahsyat.
Apa alasan mereka melakukannya?
Lokasi terdampak tsunami jadi tempat foto selfie, apa alasannya?
Fenomena janggal ini ditulis pertama kali oleh media Inggris The Guardian. Media itu memajang foto empat perempuan yang tengah mengambil selfie dengan latar belakang pantai yang berantakan setelah dihantam tsunami.
Keempatnya tersenyum simpul. Salah seorang di antara mereka membuat simbol peace dengan jari.
Kepada The Guardian, salah seorang perempuan mengatakan bahwa mereka datang dari Cilegon, Banten. Mereka adalah anggota kelompok pengajian perempuan yang hendak menyumbangkan pakaian untuk korban tsunami.
“Foto selfie di-upload di Facebook sebagai bukti bahwa kami benar-benar datang dan memberikan bantuan,” katanya.
Mereka tidak sendiri. Sejumlah orang lain melakukan hal sama. Tapi, perempuan itu punya alasan kenapa harus selfie—tindakan yang bagi orang banyak terkesan tak menunjukkan empati.
Salah satu alasannya adalah demi mendapat banyak like.
“Ketika orang melihat foto kehancuran ini, mereka akan sadar bahwa mereka ada di tempat yang lebih baik. Foto-foto kehancuran ini juga akan mendapat lebih banyak like. Mungkin itu akan mengingatkan orang untuk bersyukur (dengan keadaan mereka saat ini),” ia berkata.
Di Indonesia, selfie adalah tren populer yang tak kunjung surut. Sementara pabrikan ponsel terus menyempurnakan teknologi kamera depan, selfie dilakukan di mana saja: bibir kawah, di depan rombongan presiden yang tengah lewat, dan di lokasi bencana.
Di tempat mereka mengambil selfie, mobil-mobil evakuasi korban masih berlalu lalang. Tim pencarian korban masih bekerja keras untuk menemukan 154 korban yang hilang.
“Tergantung niatnya,” kata perempuan itu lagi saat ditanya apakah menurutnya pantas foto selfie dengan kemungkinan di balik ombak laut yang menjadi latar foto selfie mereka, para “wisatawan bencana”, bisa jadi sedang terombang-ambing jasad korban yang belum ditemukan.
“Kalau tujuannya untuk pamer, ya jangan. Tapi kalau tujuannya untuk membagikan duka dengan orang lain, oke-oke saja.”
Di titik lain, seorang gadis sudah setengah jam mengambil selfie di depan bangkai mobil yang terempas ombak. Sepertinya ia sedang mencari potret terbaik. Demi melihat itu, Bahrudin, si pemilik mobil yang juga ketua kelompok tani setempat, berkali-kali bilang bahwa ia kecewa.
Gadis itu, berusia 18 tahun, berasal dari Jawa Tengah. Sebelum bencana ia sedang berlibur di Jakarta. Setelah kabar tsunami tersiar, ia bermobil selama 3 jam untuk datang ke pesisir Banten tersebut.
The Guardian bertanya, berapa banyak foto selfie yang sudah ia ambil. Ia menjawab sambil tertawa.
“Banyak! Buat medsos, grup WA,” katanya. Ia kemudian menunjukkan galeri fotonya, memperlihatkan berbagai pose foto selfie yang ia ambil dengan latar ekskavator berwarna kuning.
Foto selfie dan aktivitas media sosial di tengah duka bukan barang baru di Indonesia
Buktinya, Maret tahun ini, seorang remaja perempuan dihujat netizen setelah video Tik Tok-nya menjadi viral.
Dalam video itu, ia merekam dirinya dan jenazah kakeknya yang baru saja meninggal dengan iringan lagu milik rapper Amerika Wiz Khalifa, “See You Again”.
Pada April 2017, ketika tanah longsor terjadi di Ponorogo, Jawa Timur menimbun 28 orang, dua perempuan tertangkap kamera sedang foto selfie lengkap dengan tongkat selfie-nya.
Pada September 2016, serombongan orang datang ke lokasi banjir dan longsor di Garut, Jawa Barat. Setelah memberikan bantuan, mereka kemudian mengambil foto selfie.
Pada Juni 2016, dua polisi wanita yang bertugas mengevakuasi korban longsor di Susukan, Jawa Tengah masih sempat mengambil foto selfie. Salah seorang dari mereka mengunggah itu di Instagram pribadinya dengan caption, “Liburan kita kali ini….”
Terakhir, di Maret 2015, fans mengambil selfie sambil tersenyum di depan nisan makam yang masih merah. Di makam itu terbaring jenazah presenter kondang Olga Syahputra.
Data korban dan kerugian akibat tsunami Selat Sunda
Tsunami Selat Sunda menerjang pesisir Banten dan Lampung pada pukul 21.27 WIB Sabtu, 22 Desember 2018. Bertepatan dengan libur panjang Natal, ombak menggulung wisatawan yang memenuhi pantai objek wisata itu.
Sebelumnya, tak ada peringatan tsunami dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Bahkan beberapa jam setelah tsunami terjadi, BNPB masih menolak menyebut ombak maut tersebut sebagai tsunami.
Belakangan BNPB menjelaskan bahwa tsunami Selat Sunda disebabkan oleh longsor bawah laut yang dipantik oleh erupsi Gunung Anak Krakatau, terletak di selat antara Pulau Jawa dan Sumatra. Untuk tsunami jenis ini, yang berhak untuk memvonisnya adalah Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Menurut Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Humas BNPB, Indonesia hanya memiliki alat pendeteksi tsunami yang disebabkan oleh gempa. Untuk tsunami karena erupsi gunung berapi dan longsor bawah laut, Indonesia nihil sistem peringatan.
Data terakhir BNPB pada 25 Desember 2018 pukul 13.00 WIB, total korban meliputi
- 429 orang meninggal dunia,
- 1.485 orang luka-luka,
- 154 orang hilang, dan
- 16.082 orang mengungsi.
Sedangkan infrastruktur yang hancur meliputi
- 882 rumah hancur,
- 73 penginapan hancur,
- 60 warung hancur
- 434 perahu hancur,
- 24 kendaraan roda empat dan roda dua hancur,
- dermaga, dan
- shelter.
Tsunami kali ini tidak disebabkan erupsi Gunung Anak Krakatau yang terbesar
Sutopo membagikan di media sosialnya data bahwa dalam tiga bulan terakhir, Gunung Anak Krakatau memang terus-menerus erupsi. Namun, yang menyebabkan longsor bawah laut Sabtu lalu bukanlah yang terbesar.
Saat tsunami terjadi, Gunung Anak Krakatau sedang berada dalam status Waspada (level 2). Perkembang baru pada kemarin siang pukul 10.00 WIB, statusnya naik menjadi Siaga (Level 3).
Kini, di pesisir Banten dan Lampung tengah diberlakukan status Tanggap Bencana.
Sumber:
The Guardian, Dream, Tempo, Brilio
Baca juga:
Ayah dan anak selamat saat digulung tsunami Banten, bagaimana kisahnya?