Euthanasia. Familiar dengan kata ini? Euthanasia adalah kata yang tidak lazim dan jarang ataupun sensitif dibicarakan orang awam. Namun, jika berselancar melalui internet, maka kata ini menjadi kata yang menggelitik untuk dianalisis melalui berbagai karya ilmiah.
Namun, pikiran saya serasa terdorong dengan kata “eutanasia” ini, karena secara estafet menonton drama korea (drakor) “Doctor John”, hehehe. Drakor ini menyajikan berbagai kasus pelik eutanasia dari tinjauan medis dan hukum.
Eutanasia itu sendiri berasal dari kata Yunani, “thanatos” yang berarti mati dan “eu” yang berarti mati. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan pencarian secara daring, Euthanasia adalah tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan makhluk (orang ataupun hewan yang sakit berat atau luka parah dengan kematian yang tenang dan mudah atas dasar perikemanusiaan.
Karakter kuat dari tokoh utama drakor “Doctor John”, Cha Yo Han, seorang profesor anestesiologi dan manajemen nyeri termuda di Rumah Sakit Hanse, Seoul, Korea Selatan. Cha Yo Han termasuk ke dalam jajaran dokter muda yang jenius dan ahli di bidangnya. Namun, kecerdasan dirinya itu dibalut dengan sifat arogan dan sombong.
Di balik arogansi Dokter Cha ini merupakan residivis yang pernah dipenjara selama 3 tahun untuk kasus euthanasia. Dokter Cha, memberikan obat pereda rasa nyeri dengan dosis tinggi kepada Yoon Seong Kyu, pembunuh sadis 2 orang anak kecil sekaligus penderita kanker analrectum stadium akhir.
Hukuman yang diberikan kepadanya atas tuntutan Jaksa Son Soek Gi bahwa Cha Yo Han telah melakukan eutanasia tanpa persetujuan dan Yoon Se Kyeung mempunyai hak asasi atas hidupnya, serta telah menandatangani persetujuan uji klinis obat terapi untuk kanker anal tersebut.
Yang menarik pemikiranku terkait eutanasia ini adalah ketika terjadi dialog antara Cha Yo Han dengan dokter junior, Kang Si Yeong yang menjadi anak didiknya di RS Hanse ini.
Dokter Cha mengatakan, “Pengendalian rasa sakit berarti memberikan pereda rasa nyeri yang cukup untuk menidurkannya, agar dia tidak merasakan rasa sakit. Lalu, mengurangi dosisnya dan merasakan sakit lagi. Kita memberi nutribusi pada tubuhnya, meskipun dia membusuk. Aku tidak punya pilihan, selain menunggu jantungnya berhenti. Tidak menyediakan nutrisi berarti pembunuhan. Memberikan pereda nyeri dalam dosis mematikan adalah pembunuhan. Aku takut menjadi pembunuh.”
Menutup pembicaraan Cha Yo Han dan Kang Si Yeong mengatakan bahwa kamu tidak membunuh untuk mengakhiri dan menghindari penderitaan. Kamu menyelesaikan penderitaan.
Di sisi lain, Jaksa Soek Gi juga memperingatkan Dokter Cha kalau dia bukanlah Dewa, tetapi Malaikat Maut yang mudah mencabut nyawa seseorang. Dengan kata lain, “euthanasia” menjadi pembunuhan resmi yang diizinkan oleh aturan hukum.
Euthanasia adalah Tindakan yang Mengundang Kontroversi
Sampai saat ini, euthanasia adalah tindakan yang masih terus diperdebatkan. Euthanasia di negara yang terkenal dengan operasi plastiknya ini masih menjadi kontroversi dan belum dilegalkan.
Namun, bagi pasien ataupun keluarga pasien tindakan eutanasia ini “dilegalkan” dengan menandatangani DNR, surat persetujuan untuk tidak melanjutkan tindakan medis yang dapat menopan atau melanjutkan hidup seseorang. Hingga saat ini pun, di Indonesia, euthanasia adalah tindakan yang masih menjadi perdebatan dan tergolong ilegal atau tidak boleh dilakukan.
Hasil berselancar daring bahwa larangan mengenai eutanasia di Indonesia secara tidak langsung disebutkan dalam Kitab Hukum Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 344.
Pasal tersebut berbunyi, “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.”
Sedangkan dari sisi medis, keterlibatan dokter dalam eutanasia diatur dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) pasal 11 tentang pelindung kehidupan. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa seorang dokter dilarang terlibat, dilarang melibatkan diri, atau tidak diperbolehkan mengakhiri kehidupan seseorang yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh, yang dengan kata lain adalah melakukan eutanasia.
Saya tidak akan membahas terlalu dalam perihal euthanasia dari sisi medis maupun hukum. Akan tetapi, konsepsi euthanasia menjadi pembunuhan berkonsensus cukup menggugah rasa penasaran saya. Khususnya, sewaktu dokter-dokter emergensi yang saya ikuti dari lama Facebooknya berkisah tentang pilihan pengguna ventilator saat kasus COVID-19 memuncak di periode Desember-Januari 2020 dan Juni-Juli 2021.
Dalam kondisi kegawatdaruratan tersebut, rumah sakit penuh, stok oksigen langka, ventilator menjadi rebutan bagi pasien COVID-19 yang mengalami sesak napas berat. Tenaga medis dan kesehatan berpacu dengan waktu untuk mempertimbangkan penggunaan ventilator yang terbatas. Kasus memilih pasien muda dengan sesak napas berat yang diprioritaskan menggunakan ventilator, daripada pasien lansia dengan kondisi yang sama.
Di puncak tsunami corona pada Juli lalu, lini media sosial saya diramaikan pula cerita “kepahlawanan” seorang dokter, Prof. dr. Taufik, SpP (K), terkonfirmasi COVID-19 dan menolak menggunakan ventilator. “Berikan ventilator ini pada pasien yang muda saja, mereka lebih perlu diselamatkan daripada saya,” ujar dokter Taufik kepada anaknya yang juga seorang dokter, saat dirawat di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta.
Sebagai seorang profesional medis, beliau mengarahkan kepada anak dan rekan sejawatnya agar alat bantu pernapasan itu diberikan kepada pasien yang memiliki peluang kesembuhan lebih besar daripada dirinya. Yang dilakukan almarhum dokter Taufik dengan merujuk analisis almarhum dr. Kartono Muhamaad pada seminar wuthanasia beberapa tahun lalu sebagai eutanasia aktif karena adanya permintaan pasien ataupun keluarga pasien.
Sedangkan, pilihan tenaga medis dan kesehatan di masa puncak COVID-29 sebagai eutanasia pasif. Sebagaimana dilansir dari alodokter.com, eutanasia pasif adalah jenis eutanasia yang dilakukan oleh dokter dengan cara mengurangi atau membatasi pengobatan yang menopang hidup pasien agar pasien dapat meninggal lebih cepat.
Misalnya, dengan menghentikan penggunaan ventilator pada pasien gagal napas atau koma dengan kerusakan otak berat dan permanen. Jenis eutanasia ini biasanya dilakukan pada pasien di ruang perawatan intensif (ICU) dengan kondisi berat yang tidak bisa disembuhkan lagi, misalnya herniasi otak.
Perlukah Eutanasia di Indonesia Dilegalkan?
Siapkah masyarakat Indonesia menerima ataukah melegalkan eutanasia, khususnya yang menjadi permintaan pasien ataupun keluarganya? Lewat Mbah Google, saya menemukan berbagai pemberitaan eutanasia permintaan pasien maupun keluarga pasien yang terjadi di Indonesia.
Sebut saja kasus Nyonya Agian Isna Nauli yang mengalami koma selama dua bulan pascaoperasi sesar dan suaminya, Hasan Kesuma, mengajukan permohonan suntik mati ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 22 Oktober 2004. Namun, permohonan itu ditolak oleh pengadilan.
Kasus yang mirip juga terjadi lagi di tahun 2005, seorang pasien bernama Siti Julaeha kemungkinan adalah korban malpraktik. Kondisi Siti Julaeha yang tak sadarkan diri sejak usai menjalani operasi kandungan di rumah sakit di Jakarta Timur, diduga akibat malpraktik.
Rudi Hartono, sang suami, bersama keluarga besar Siti Julaeha, telah meminta pihak Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan dalam pengajuan permohonan euthanasia. “Keputusan ini benar-benar jalan yang terbaik untuk semua,” kata Rudi waktu itu.
Ada pula, kasus lain yang menjadi permintaan pribadi karena merasa depresi maupun frustasi besar. Di tahun 2012, Ryan Tumiwa hidup sebatang kara dan tanpa pekerjaan. Sejak ditinggal ayahnya yang bernama Thu Indra (88) , ia merasa depresi berat dan memperjuangkan suntik mati bagi dirinya.
Terakhir, pemberitaan di tahun 2017, Pengadilan Negeri Banda Aceh menolak permohonan suntik mati yang diajukan Berlin Silalahi, seorang korban tsunami yang digusur dari Barak Bakoy, Aceh Besar. Pengajuan itu dilakukannya atas dasar frustasi atas penyakit yang dideritanya tak kunjung sembuh, serta himpitan ekonomi yang dirasakan.
Di masa pandemi COVID-19 ini, pernahkah kita menyadari bahwa sengaja ataupun tidak, seringkali diri ini tidak menyadari sebagai bagian dari “euthanasia” pasif, apalagi dikondisi pandemi seperti sekarang ini. Menolak vaksinasi COVID-19, mengacuhkan 3M, mengindari testing agar tidak “dicovidkan”, berkoar-koar sebagai hak asasi manusia untuk memilih. Akan tetapi, secara tidak langsung hal tersebut menjadi bagian “euthanasia massal”.
Belum lagi, ketika kondisi macet, jarang sekali kendaraan yang mau mengalah untuk memberikan ruang kepada ambulans yang meraung-raung membawa ataupun menjemput pasien. Bahkan, tak jarang para opportunist turut memanfaatkan situasi tersebut dengan mengikuti ambulans sehingga dimudahkan perjalanannya. Kehadiran para relawan ambulans ditengarai menjadi solusi untuk membantu ambulans agar cepat sampai tujuan.
Entah sampai kapan pandemi ini akan usai. Terlebih lagi virus Corona ini terus bermutasi. Pakar epidemiologi dari Griffith University, Australia, memprediksi gelombang ketiga tsunami Covid ini mundur dari bulan September karena penerapan PPKM dan semakin banyaknya masyarakat yang tervaksinasi, menjadi sekitar bulan Desember 2021. Jangan lengah dan tetap waspada.
Baca Juga:
id.theasianparent.com/kasus-percobaan-bunuh-diri
id.theasianparent.com/tips-mengajak-anak-autis-berjalan-jalan
id.theasianparent.com/menjadi-role-model-untuk-anak
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.