Kabar gadis remaja NF (15) yang membunuh anak balita APA (5) tahun, masih menjadi topik hangat. Bagaimana tidak, pelaku yang masih duduk di bangku SMP ini sudah merencanakan pembunuhan tersebut dan tidak merasa bersalah setelah menghilangkan nyawa korban. Sejauh ini, NF mengaku pembunuhan tersebut terinspirasi dari film horor. Diduga, efek nonton film horor inilah yang kemudian mendorong hasrat membunuh NF.
“Dia sering menonton film horor ‘Chucky’. Dia senang menonton film horor, itu memang hobinya,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, dikutip dari Detik.
Film ‘Chucky’ sendiri menggambarkan karakter boneka mainan anak yang hidup dan gemar membunuh orang.
Saat ini, pihak berwajib masih menggali lebih dalam mengenai motif NF membunuh balita berusia 5 tahun itu. Menurut NF, ia membunuh secara spontan saat hasrat itu memuncak.
Yusri menambahkan, hasrat ingin membunuh itu sering dirasakan dalam diri NF. Malangnya, keinginan ingin membunuh itu kembali muncul hingga peristiwa pembuhan tersebut tidak terhindarkan.
Barang bukti berupa buku catatan pelaku NF (15) yang membunuh balita APA (5).
Bagaimana efek nonton film horor terhadap perilaku anak?
Mengenai hal ini, seorang psikolog Anak dan Remaja, Roslina Verauli, M.Psi.,Psi. menjelaskan bagaimana film horor dapat memengaruhi emosi negatif sampai anak dewasa.
Melalui unggahannya di akun Instagram pribadinya (@verauli.id), ia menjelaskan bahwa memang tidak bisa dipungkiri jika anak sering kali terpapar film yang kontenya tidak sesuai akan menimbulkan efek negatif. Apalagi jika pada saat menikmati film, termasuk tayangan horor tidak dibimbing orangtua. Menurutnya, film horor yang ditonton anak akan tersimpan di dalam otak.
“Tahukah, pengalaman berupa emosi negatif dan intens yang ditonton anak akan tersimpan di amygdala dan sukar untuk dihilangkan?
Meski tak berdampak secara langsung namun dalam situasi serupa anak bisa saja meniru aksi kekerasan yang pernah ia tonton,” tulis Verauli.
Masih dalam unggahan Verauli, penelitian yang dilaukan oleh Glenn Sparks menyebutkan saat seseorang menonton film yang mencekam, detak jantung, tekanan darah, dan pernapasan akan meningkat. Setelah selesai menonton, keadaan fisiologis ini tetap bertahap.
Karena itu, mengapa setiap orangtua wajib memantau apa yang ditonton oleh anak-anak. Khususnya film pada anak sebelum usia Sekolah Dasar (SD).
“Bayangkan bila kehidupan anak setelah menonton, kebanyakan negatif. Emosi negatif akan dihayati intens terkait ‘physiological arousal’ yang masih bertahan.
Kelak, adegan horor yang mencekam akan dirasa biasa saja. Jadi, saran saya, hati-hati dalam memberikan film pada anak khususnya sebelum usia Sekolah Dasar,” tulis perempuan yang disapa Vera.
Artikel terkait: Remaja bunuh bocah 5 tahun tanpa rasa menyesal, apa kata psikolog?
Pentingnya memilih tontonan anak dan mendampingi saat menonton
Film horor memang bersifat fiksi, namun penting untuk dipahami bahwa si kecil, anak di bawah 12 tahun sebenarnya masih belum bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang bukan. Sehingga efek buruknya bisa dirasakan bahkan sampai dia besar nanti.
Vera pun mengatakan hal yang sama. Bagi seorang anak apa yang dia lihat adalah apa yang dia percayai. Sehingga, peran orangtua untuk memilih tontonan dan mengawasinya sangatlah penting.
“Bagi mereka, “seeing is believing”. Penting, amati respon anak saat menonton film. Pastikan film yang ditonton sesuai usia dan dampingi,” tegas Vera.
Apa yang harus dilakukan bila anak terlanjur menonton film horor yang mencekam?
Dikatakan Vera, bila anak terlanjur menoton film yang tegang dan mencekam, orangtua perlu mengingatkan bahwa kejadian tersebut hanya ada di dalam film saja.
Bahwa dalam kenyataan, kondisinya tentu tidak sama. Selain itu, lakukan rasionalisasi (alasan pembuatan) berulang kali sampai ia tenang.
“Berikan perspektif bahwa tak ada yang beraksi seperti tokoh dalam film. Kemudian, lindungi anak dengan menghindari mereka dari film tersebut,” jelas Vera.
Tidak bisa dipungkiri, memang tidak sedikit individu yang menyukai film horor semata ingin menikmati ‘adrenalin rush’.
Menurut Vera, bisa dikatakan individu tersebut menikmati film horor sebagai sesuatu yang berbeda yang tak dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Seolah menguji kepekaan akan realita.
“Umumnya, mereka dengan kemampuan empati yang tinggi, cenderung tidak menyukai film-film horor.
Saya adalah individu yang tak menyukai film horor. Maklum selain sensitif saya tidak sanggup melihat adegan mencekam dan penuh ketegangan.
Saya tak menyukai ‘adrenalin rush’ yang muncul selama menonton film seram. Dan tak mampu membayangkan kejadian mengerikan yang dialami tokoh dalam film.
Namun memang ada individu tertentu yang menikmati ‘adrenalin rush’. Bahkan menikmati film horor sebagai sesuatu yang berbeda yang tak dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Seolah menguji kepekaan akan realita,” ungkap Vera.
Tapi, bagaimana bila dialami oleh anak? Apakah seorang anak bisa mengendalikan adrenalin rush tersebut tanpa bantuan orangtua? Bagaimana bila berlanjut hingga remaja.
“A total trip of mind. Demikian penghayatan mereka yang suka menonton film thriller maupun horor. Tapi bagi anak? Bayangkan bila berlanjut hingga remaja,” tambah Vera.
Lewat pemaparan Verauli, tentu semakin menegaskan bahwa penting bagi orangtua untuk lebih selektif saat memilihkan tontonan untuk anak. Jangan abai, menyepelekan, dan jangan lupa untuk selalu awasi apa yang dilihat oleh anak-anak.
Semoga informasi ini bermanfaat!
***
Referensi: Instagram Roslina Verauli
Baca juga
Orang Tua Bawa Balita Nonton Siksa Kubur, Ini Efeknya untuk Anak
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.