Istri mana yang mau ditinggal suaminya tugas ke luar Jawa ketika hamil? Itulah yang saya rasakan kurang lebihnya usia kandungan baru memasuki 2 bulan.
Rasa senang yang saya alami ketika tau bahwa sudah positif hamil, lenyap dengan kenyataan bahwa bulan Maret 2020 puncak tertinggi dari pandemi Covid di Indonesia, khususnya Pulau Jawa.
Semakin kepikiran dengan kabar suami yang tertahan di tanah rantau (Sulawesi Tenggara) dan kesulitan pulang ke Jawa karena berbagai daerah menerapkan sistem Lockdown.
Baiklah.. Saya harus berbaik sangka dengan semua rencana Illahi, bahwa anak akan membukakan jalan rejeki bagi orangtuanya. Saya harus bahagia, dan memang harus. Karena suami menjadi abdi negara juga untuk memberikan nafkah kepada kami berdua.
Nyatanya, berdamai dengan keadaan tidaklah mudah. Baru memasuki trimester 2 (usia kandungan 4bulan), dimana sudah mulai nyaman tanpa mual muntah dan hanya bisa jadi kaum rebahan. Dokter kandungan meminta saya untuk diet karbo tepat dimana trimester yang dinanti banyak orang karena napsu makan yang sudah mulai stabil.
Bagaimana rasanya saya saat itu? Wah, jangan ditanya. Stres berat? pasti! Jauh dari suami, masa pandemi dimana orangtua posesif untuk nggak keluar rumah dulu, eeh, disuruh diet lagi.
Dari situlah, saya mulai paham bahwa sebetulnya ngga ada istilah “ngidam”. Efek samping dari diet hamil, saya mengambil kesimpulan bahwa “Hei..Ayolah..gausah bawa-bawa bayiku ngidam ini itu..”
Karena toh ketika disuruh diet dokter, yaa pasti mau nggak mau harus menahan semua hasrat makan minum yang enak dan manis-manis.
Beratnya lagi, sampai dengan melahirkan pun suami nggak bisa nemenin karena tepat usia kandungan 8 bulan, dia harus diklat selama 6 bulan. Jadilah anak pertama saya betulan anak pandemi. Sedari perut udah LDR sama bapaknya. Sewaktu lahir juga diadzanin virtual sama bapaknya lewat Vidio Call 😄😄
Tapi, tak apa. Semua pasti ada hikmahnya. Apa tuh? Yaitu suami bebas dari cakaran dan hinaan istri yang lagi bukaan menuju 10 dengan kondisi diinduksi (pahamlah yaa gimana rasanya diinduksi ✌✌)
Alhamdulillah, lahir dengan selamat anak pertama kami secara normal dengan Bb 3,7kg 😍 wooow?! Padahal sudah disuruh diet dokter. Tapi, adek berkembang sangat besar di perut saya. Apakabar jika waktu itu saya nggak diet ya buibu? 😄
Selang 3 hari kelahiran, anak saya ternyata harus kembali lagi ke rumah sakit dan masuk ke PICU dikarenakan selama 3 hari tersebut dia nggak bisa pipis (terhitung dari dia lahir). Diagnosis dokter anak saat itu anak saya mengalami ISK dan harus segera disunat. Barulah disitu saya berkenalan dengan penyakit baby blues.
Awalnya, saya tidak pernah percaya bahwa baby blues nyata. Karena saya betul-betul sudah menata mental sedari hamil. Tapi, ternyata berpisah sama bayi yang baru 3 hari lahir untuk diharuskan opname di PICU selama 3 hari dengan menggunakan kateter di alat kelaminnya untuk membantu mengeluarkan kencingnya, membuat hati saya hancur sehancur-hancurnya.
Disitulah, suami saya diijinkan pulang seminggu dari diklatnya. Fyi, diklat suami saya saat itu bertempat di Sulawesi. Menempuh perjalanan 5 jam untuk menuju bandara dari kantor dinasnya.
Apa saja yang saya rasakan ketika Baby blues?
Di antaranya :
1. Menangis setiap hari, pun ketika ada tetangga yang datang ke rumah.
2. Ketika anak saya sudah pulang dari RS dan tengah malam nangis, saya diam aja. Tidak saya gendong, ngga saya susuin.
3. Setiap hari tiap melihat anak saya, rasanya seperti sangat bersalah.
4. Saya tinggal mainan handphone di siang hari. Denger anak saya nangis, saya biarin aja sampe ibu saya yang gendong.
Lalu siapa yg berjasa menyelamatkan saya dari Babyblues?
Kakak pertama saya. Apa yang dikatakan ketika tau saya Babyblues? “Silakan kamu tidur. Saya bantu jaga adek. Kamu harus waras. Kamu harus sehat. Setiap hari saya pasti datang untuk temani. “
Saya rasa pengalaman melahirkan anak pertama selalu menjadi kesan yang akan terkenang seumur hidup. Juga menjadi pelajaran yang teramat berharga sepanjang masa. Untuk lebih bersabar sebagai Ibu yang sejatinya menjadi surga kehidupan bagi semua anak-anaknya.