Dalam salah satu artikelnya, bbc.com mengunggah satu berita yang cukup menggelitik, tentang munculnya demam pendidikan berkualitas yang menjangkiti para orangtua di Asia.
Keinginan tersebut merupakan hal yang wajar, toh setiap orangtua pasti menginginkan masa depan yang lebih baik untuk anaknya. Dan mengupayakan pendidikan berkualitas adalah salah satu caranya.
Keinginan tersebut menjadi masalah ketika kebutuhan dasar lainnya kemudian dikesampingkan demi memasukkan anak pada sekolah-sekolah mahal, sekolah yang dianggap mampu memberikan pendidikan berkualitas untuk anak.
Dalam artikel tersebut BBC menyoroti kecederungan masayarakat Cina dan Korea Selatan yang terlalu memaksakan diri, mendorong anak-anak mereka masuk ke sekolah yang biayanya bisa jadi di luar kemampuan mereka.
Para orangtua tersebut lebih memilih untuk mengenyampingkan dana kesehatan, kebutuhan rumah, dana pensiun dan kebutuhan dasar keluarga lainnya agar anak-anak mereka bisa bersekolah pada institusi pendidikan nomor satu.
Beberapa orangtua malah melakukan tindakan ekstrem dengan menjual rumah mereka agar mampu membayar biaya pendidikan anak-anaknya.
Pemerintah Korea Selatan malah menyebutkan bahwa sebagian rakyatnya telah mengalami hutang rumah tangga yang memprihatinkan dikarenakan obsesi pendidikan yang muncul.
Tiger parenting dianggap sebagai munculnya “demam” pendidikan berkualitas
Todd Maurer, ahli pendidikan Asia dan konsultan patner dari Sinica Advisor mengatakan, bahwa pendidikan di Asia sudah seperti “proyek keluarga”.
Ambisi untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah yang lebih mahal dengan berharap memperoleh kualitas pendidikan yang lebih baik, tidak hanya merupakan keinginan orangtua, namun juga sudah menjadi ambisi dari kakek dan nenek dalam keluarga tersebut.
Pengeluaran untuk pendidikan terus meningkat di Cina, Korea Selatan, Taiwan dan Hong kong. Dan gejala yang sama juga terlihat pada keluarga-keluarga di India dan Indonesia.
Sistem ujian yang sangat kompetitif serta meningkatnya aspirasi (red: minat masyarakat terhadap suatu bidang atau institusi tertentu) seringkali dituduh sebagai penyebab utamanya.
Anak-anak di Korea Selatan dan Cina bahkan telah disiapkan sedini mungkin untuk memasuki universitas ternama. Sembilan dari sepuluh anak di Cina memiliki jadwal pelajaran tambahan atau aktivitas edukatif berbayar lainnya seusai jam sekolah.
Orangtua disana percaya bahwa aktivitas tambahan tersebut akan mempermudah jalan anak-anak mereka nanti memasuki universitas unggulan.
Sistem pendidikan di Korea menyebabkan anak-anak tertekan. Pilihan yang tersisa untuk bebas dari tekanan tersebut adalah tidak memiliki anak. Sangatlah mahal untuk mendidik anak di Korea. Wajar bila angka kelahiran di Korea saat ini sangatlah rendah.
Lulusan yang kadang tak sebanding dengan usaha yang telah dikeluarkan
Demam pendidikan berkualitas lain yang juga mengemuka adalah keinginan orangtua untuk mengirim anak-anak mereka ke sekolah-sekolah di luar negeri sebagai salah satu jalan pintas untuk menuju kesuksesan.
Menurut data dari Akademi Ilmu Sosial di Cina, di tahun 2010, sepertiga pelajar yang bersekolah di luar negeri adalah anak-anak dari orangtua kelas pekerja.
Hal ini tentu pertanda bagus apabila keinginan tersebut tidak kemudian menjebak para orangtua ke dalam masalah keuangan. Menurut Zhang Jianbai, pemilik sekolah swasta di propinsi Yunan, banyak orangtua disana yang menjual apartemen mereka agar anak-anaknya bisa bersekolah ke luar negeri.
Akibatnya, ketika anak-anak mereka nantinya lulus, sebuah beban besar telah disematkan pada pundak mereka. Anak-anak dari orangtua yang telah mempertaruhkan seluruh usaha dan harta mereka demi pendidikan anaknya, dituntut untuk segera memiliki penghasilan yang tinggi.
Sayangnya, hasil yang terjadi malah sebaliknya; banyak sekali lulusan luar negeri di Cina yang malah melakukan pekerjaan yang sebetulnya bisa dilakukan mereka yang tak berpendidikan tinggi.
Pelajaran yang bisa petik dari usaha keras para orangtua di Asia
Setiap kita, pasti menginginkan pendidikan berkualitas dan masa depan yang cerah untuk anak-anak kita. Namun alangkah bijak bila keinginan tersebut sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Masih ada banyak cara kreatif yang bisa digunakan untuk mendorong anak menuju cita-citanya, tanpa terlalu memaksakan diri dengan mengesampingkan kebutuhan dasar lainnya.
Tidak selamanya pendidikan mahal sebanding dengan kualitas anak didik yang dihasilkan. Dan ukuran anak didik yang berkualitas saat ini tidak hanya dari berapa nilai matematika atau fisika-nya, namun juga seberapa tinggi “skor” soft skills (empati, sopan santun, kemampuan bekerja sama dan lain sebagainya) yang dimilikinya.
Karena itu, selayaknya kita melihat pendidikan berkualitas dari bagaimana sekolah mampu menghantarkan setiap anak didiknya untuk mencapai potensi unggulnya, bukan dari seberapa mahal dan dimana sekolah itu berada.
Ref: bbc.com
Artikel terkait: Memilih Sekolah Ideal untuk Anak