Setiap orangtua tentu selalu menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Sayangnya, kadang kala keinginan ini tanpa sadar membuat orangtua
menjalankan gaya pengasuhan yang cenderung keras dan menuntut anak. Atau dikenal juga dengan sebutan gaya pengasuhan otoriter. Padahal ada sederet daftar panjang dampak pola asuh otoriter pada anak.
Apa saja?
Dampak pola asuh otoriter
Pola asuh otoriter merupakan gaya pengasuhan yang membuat orangtua sebagai sosok yang cenderung ‘berkuasa’ dan sangat dominan. Di mana orangtua menerapkan pola asuh yang ketat dan peraturan yang tegas. Umumnya, orangtua yang otoriter tidak fokus pada pemenuhan kebutuhan eksistensial dan emosional anak.
Mereka lebih cenderung fokus pada standar mereka sebagai orang dewasa, norma-norma, nilai-nilai konsensus, dan harapan tinggi yang ada di dalam masyarakat luas.
Tak jarang, anak yang dibesarkan dengan gaya pengasuhan otoriter terlihat sopan, patuh, dan mudah diatur. Namun faktanya, mereka cenderung menderita dan memiliki harga diri yang rendah, merasa tidak bahagia, bahkan risiko lain yang tidak bisa disepelekan adalah memiliki masalah kesehatan mental.
Harga diri yang rendah membuat mereka merasa tidak ‘dilihat’ atau ‘didengar’. Penolakan yang konsisten membuat mereka merasa bahwa pendapat mereka tidak berharga. Mereka merasa tidak dianggap ‘layak’ memiliki suara dalam kehidupan mereka sendiri.
Mereka juga cenderung tidak bahagia dan tidak mudah percaya pada orang lain. Ketika orang lain berusaha memberikan kasih sayang, mereka bertanya-tanya apa arti di balik kasih sayang tersebut.
Sebab mereka terbiasa mendapatkan cinta dan kasih sayang karena sesuatu. Jadi mereka menganggap semuanya memiliki label ‘harga’.
Anak yang dibesarkan dengan gaya pengasuhan otoriter juga tidak memiliki keterampilan dalam mendengarkan intuisi mereka. Mereka tidak benar-benar tahu apa artinya mendengarkan perasaan mereka sendiri.
Sikap pasif terhadap peran mereka sendiri membuat mereka tidak bisa mengambil tanggung jawab. Hal ini dikarenakan tradisi di dalam keluarga yang kaku dan ketakutan akan eksperimen mencoba hal yang baru.
Pengalaman mereka dengan kesalahan yang mengarah ke berbagai macam hukuman, membuat mereka cenderung tidak berani mencoba cara-cara baru untuk melakukan sesuatu atau menjadi kreatif secara inovatif.
Artikel terkait: 5 Ciri pola asuh orang otoriter, apakah Parents salah satunya?
Pola asuh otoriter memengaruhi kondisi mental anak
Hasil studi terhadap ribuan orang di Inggris yang dimulai ketika mereka remaja sampai usia 60-an menunjukkan, bahwa anak dengan orangtua yang otoriter tidak bahagia dan memiliki kesehatan mental yang rendah.
Efek jangka panjang dalam pola asuh ini mirip dengan kondisi mental orang yang pernah ditinggal meninggal oleh seseorang yang dekat dengannya.
Dr.Mai Stafford dari University College London yang melakukan penelitian ini mengatakan, orangtua harus menyesuaikan perilakunya.
“Mereka yang memiliki orangtua yang hangat dan responsif pada kebutuhan anaknya tumbuh menjadi orang yang memiliki kepuasan hidup dan kesejahteraan mental lebih baik,” katanya.
Lebih lanjut, ada dua hal terkait kondisi mental anak yang dapat terpengaruh akibat pola asuh otoriter.
a. Mengadopsi pola pikir dualistis
Anak-anak dengan orangtua yang otoriter cenderung melihat dunia ini seperti hitam dan putih. Ada yang baik dan ada yang buruk.
Tidak ada ambiguitas atau toleransi pendapat yang berbeda. Dengan cara ini anak-anak berpikir apakah mereka anak-anak yang baik atau buruk. Taat atau nakal.
b. Tidak mengetahui apa yang mereka sukai atau tidak sukai
Aturan-aturan yang telah ditetapkan orangtua membuat anak-anak tidak bisa membuat pilihan. Akibatnya, mereka tidak mengetahui apa yang mereka sukai atau tidak sukai.
Mereka cenderung menekan dan menyangkal perasaan mereka karena takut dihukum. Bila berlangsung secara terus menerus, ini bisa membuat mereka membenci diri sendiri sehingga menyimpan kemarahan dan depresi.
“Coba bayangkan anak yang belum mengetahui apa kesalahannya tetapi tidak berani bicara. Karena sekali ia berbicara, ia akan dibilang membantah perkataan orangtua. Tipe pengasuhan ini akan membuat akan stres dan berbekas dalam dirinya seumur hidup,” tegas pakar stres management dan hypno parenting, Kirdi Putra.
Memang tidak dapat dipungkiri bila tidak ada satu pun tipe pola asuh yang ideal. Setiap orangtua bisa mengkombinasikan berbagai pola asuh sesuai dengan kondisi anak.
Tipe pola asuh otoriter ini bisa diterapkan untuk anak terkait dengan aturan jam malam. Namun tentu saja tetap dengan pemberian ruang untuk anak berpendapat dan berdiskusi. Dengan begitu anak tetap dapat disiplin dan mengambil keputusannya sendiri.
Referensi: Positive Parenting, Kompas.com, Liputan 6
Baca juga
Pola asuh permisif, anggap anak teman, ini keuntungan dan dampaknya!