Tahukah Parents bahwa dampak kdrt pada anak bisa sangat beragam dan ‘menyeramkan’? Tak hanya bisa meninggalkan trauma fisik, efeknya juga bisa memunculkan gangguan mental ketika ia tumbuh dewasa.
Kekerasan yang dimaksud tak hanya pada saat anak menjadi korban dan mendapatkan kekerasan fisik dari orangtuanya, termasuk ketika ia hidup dan terpapar di lingkugan keluarga yang penuh dengan perilaku kekerasan.
Adalah Sabrina, seorang perempuan yang kini sudah menikah dan memiliki satu orang anak. Kepada theAsianparent ID, ia mengatakan yang sempat menyimpan ‘luka’ mendalam karena sejak usia balita, dirinya kerap melihat perlakuan kasar sang ayah terhadap ibunya.
“Dari kecil, bisa dibilang saya sudah terbiasa melihat ayah mukul ibu saya. Bahkan ada saatnya, sampai ibu saya babak belur. Ketika itu saya cuma bisa menangis di kamar. Sesekali, tamparan dari ayah juga mendarat di pipi saya. Akibatnya hubungan saya dengan ayah jauh dari kata baik. Banyak yang bilang, ayah adalah cinta pertama buat anak perempuannya, saya sama sekali tidak merasakannya. Saya hanya merasa takut kalau dekat ayah. Saat saya remaja, ibu akhirnya memutuskan untuk bercerai. Ya, mungkin itu memang jalan yang terbaik buat mereka. Termasuk untuk saya. Saya sempat takut menjalin hubungan dengan lelaki. Khawatir kalau ketemu dengan sosok yang sama dengan ayah. Akhirnya saya memutuskan datang ke psikolog dan psikiater untuk menyembuhkan luka saya lebih dulu karena saya sebenarnya ingin berumah tangga dan punya anak.”
Apa yang dirasakan Sabrina, tentu bisa menjadi gambaran bahwa dampak kdrt pada anak begitu besar dan tidak bisa disepelekan.
KDRT, fenomena sosial yang masih belum bisa dihilangkan
Sampai saat ini kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih menjadi salah satu fenomena sosial yang masih terjadi di sebagian sebagian rumah tangga, khususnya di Indonesia.
Kekerasan ini sendiri secara umum dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang bertujuan untuk melukai seseorang. Dalam hal ini segala bentuk ancaman, penghinaan, mengucapkan kata-kata kasar, dan tentu saja beragam bentuk tindakan kekerasan.
Jika kekerasan fisik atau pun verbal terpapar dan dirasakan oleh anak sejak usianya belia, tentu saja akan mengganggu perkembangan psikis anak. Bila seorang anak sudah mendapatkan kekerasan sejak kecil, bukan tidak mungkin ia akan tumbuh menjadi anak yang berperilaku pemberontak, kasar, dan meninjukkan gejala depresi di kemudian hari.
Tentu saja, ada dampak KDRT pada anak lainnya yang mungkin bisa dialami si kecil. Hal ini juga diutarakan oleh psikolog anak dan keluarga Anna Surti Ariani, SPsi, MSi, Psikolog. Psikolog yang kerap disapa Nina ini mengatakan kalau ada dua efek yang bisa dirasakan anak saat ia dapatkan.
Dampak KDRT pada anak
Penting untuk diketahui kalau anak-anak yang tinggal dalam lingkup keluarga yang mengalami KDRT , maka anak akan kehilangan role model yang ia butuhkan.
Nina mengatakan jika anak memiliki pengalaman buruk, seperti sering melihat, mendengar, apalagi mengalami kekerasan di dalam keluraganya, tentu saja akan memberikan banyak pengaruh negatif pada keamanan dan stabilitas hidupnya.
Psikolog jebolan Universitas Indonesia ini juga mengatakan sebenarnya, anak akan merespon trauma akibat kekerasan tersebut dengan berbeda-beda, tergantung dari pemaknaan anak terhadap kejadian tersebut.
Misalnya, saat anak mendapatkan kekerasan dari gurunya di Sekolah, ada anak yang takut hanya pada guru tersebut, tapi ada pula anak yang memandang semua guru menakutkan.
Umumnya, ada dua dampak yang akan dirasakan anak saat mengalami kekerasan. Pertama, trauma fisik berupa memar, luka, dan rasa sakit pada tubuh si kecil. Dampak yang kedua rupanya akan menimbulkan efek yang lebih parah.
“Sementara secara psikis, anak bisa ketakutan, cemas kalau dia mengalami hal yang sama lagi, kemudian menolak berdekatan dengan orang tertentu, bahkan benda tertentu,” tutur Nina.
Artikel terkait: “Berasal dari keluarga broken home, Allah memberi saya mertua yang baik”
Kekerasan pada anak berdampak pada banyak hal
Kekerasan fisik pada anak juga akan memengaruhi kesehatannya secara keseluruhan. Ia jadi tidak nafsu makan, dan kekurangan nutrisi mungkin saja dialaminya.
Nina juga menjelaskan, trauma psikis juga bisa dialami anak meski ia tidak mengalami langsung kejadian tesebut, atau saat ia hanya menyaksikan tindak kekerasan. Misalnya, saat ibunya mendapat KDRT oleh ayahnya, atau saat hewan peliharaannya disakiti.
“Misalnya orang tua membanting-banting barang saat marah, itu juga bisa menimbulkan trauma. Bentuknya bisa ketakutan atau cemas, atau respons lain yang kembali lagi tergantung dari pemaknaan si anak terhadap kejadian tersebut,” ucap Nina.
Dampak kekerasan pada anak yang dirasakan saat dewasa
Mengutip dari Pijarpsikologi, dampak KDRT pada anak juga akan memengaruhi perkembangan regulasi emosinya.
Misalnya, anak kehilangan kemampuan untuk menenangkan dirinya, cenderung menghindari kejadian-kejadian provokatif dan stimulus yang memicu perasaan sedih, serta menahan diri dari sikap kasar yang didorong oleh emosi yang tidak terkendali.
Anak juga akan cenderung menirukan sikap kasar dan ketidakmampuan mengendalikan emosi dari orangtua yang melakukan kekerasa.
Ketika dewasa, anak yang mengalami kekerasan fisik berisko melakukan kekerasan terhadap pasangan atau anaknya sendiri, atau bahkan melakukan tindak kriminal.
Penyataan ini pun sudah didukung oleh berbagai studi. Pada 2014, ditemukan adanya hubungan antara kekerasan fisi dengan berbagai gangguan psikologis dan sosial. Contohnya, meningkatnya sikap memberontak pada masa anak-anak dan remaja, menganggap tindak kekerasan sebagai hal yang lumrah.
Selain itu, saat dewasa anak akan menjadi lebih impulsif dan kehilangan kendali diri, perilaku seksual yang berisiko ketika usia remaja, dan meningkatkan angka terjadinya depresi.
Pentingnya persiapan pola asuh sebelum menjadi orangtua
Melihat dari hasil studi tersebut, bisa terlihat pola asuh orangtua bertanggung jawab menentukan angka KDRT, kasus kriminal, juga tingkat bunuh diri.
Karena itu, sudah seharusnya setiap orang menyiapkan dengan sangat baik sebelum menjadi orangtua. Sebaiknya, pastikan kalau masing-masing pasangan siap memberi perhatian lebih pada kesiapan menjadi orangtua.
Orangtua yang membesarkan anak-anaknya dengan pola asuh yang baik adan menunjukkan sikap pengendalian diri dan perilaku sosial yang baik. Jadi, saat anak melakukan kesalahan atau melanggar suatu aturan, orangtua dapat menerapan disiplin yang adil dan konsisten.
Nantinya, orangtua juga dapat menunjukkan pemahaman emosional dan kontrol diri yang baik, sehingga anak belajar memahami dan mengatur emosinya.
Yuk, Parents semangat dalam mendidik dan memberi contoh yang baik untuk si kecil. Semakin kita pintar mengatur dan memahami emosi, tindak kekerasan fisik pada anak tidak akan terjadi.
***
Referensi: Pijarpsikologi
Baca juga
4 jenis pola asuh anak yang populer di kalangan keluarga Indonesia, mana yang Parents terapkan?