Dorongan kuat untuk mencintai kadangkala membuat rasa cinta orangtua rela melakukan apa pun untuk memberikan yang terbaik kepada anak-anak mereka. Kini semakin banyak kalangan profesional, baik pria maupun wanita, yang rela menukar karier mereka yang sedang bersinar untuk menjadi pengasuh anak-anak mereka (istri saya adalah salah satunya). Jumlah ibu dan ayah lebih memilih tinggal di rumah semakin meningkat tajam.
Beberapa orang menganggap hal ini sebagai pengorbanan, sementara orang lain menganggap tindakan itu sebagai perwujudan dari rasa cinta orangtua. Garis batas antara cinta orangtua terhadap anak dan pengorbanan seringkali tidak jelas, namun perbedaan antara kedua hal ini sangat mempengaruhi pengalaman sebagai orangtua. Kita sering mendengar orangtua mengeluh: “Bagaimana mungkin kau melakukan ini kepadaku setelah semua pengorbanan yang kulakukan untukmu?”
Lumrah saja bagi seorang anak untuk membalas ucapan itu dengan polos (dan akan terlihat sebagai sikap yang tidak tahu berterimakasih): “Memangnya kapan aku meminta kamu berkorban untukku?”
Kata-kata anak seringkali mengandung kebenaran. Kebenaran biasanya menyakitkan. Dan seringkali penyebab dari rasa sakit hati atau penderitaan kita itu bersumber pada konsepsi kita yang keliru tentang realita. Kabar baiknya adalah mengetahui kebenaran akan sangatlah melegakan. Hal itu dapat membukakan mata kita untuk melihat hal-hal dari perspektif baru dan untuk melakukan tindakan baru untuk mewujudkan pengalaman yang kita inginkan.
Berkorban berarti meninggalkan atau merelakan sesuatu yang bernilai tinggi demi hal-hal lain yang seseorang anggap lebih berharga. Orangtua seringkali salah memahami pengorbanan dengan cinta orangtua yang tanpa mementingkan diri sendiri (selfless love), padahal pada kenyataannya, pengorbanan adalah aksi untuk melayani diri sendiri (self -serving act) yang didorong oleh hasrat seseorang untuk mencapai sesuatu yang dia idealkan.
Pada saat kita mulai menghargai tindakan pengorbanan sebagai tindakan memilih untuk mendedikasikan waktu dan energi seseorang untuk melakukan sesuatu yang kita anggap lebih penting dari yang lain, maka terbukti sebuah pengorbanan tidaklah bersifat ‘tidak mementingkan diri sendiri’ (selfless). Yang lebih sering terjadi adalah , pengorbanan adalah tindakan melayani diri sendiri (self-serving) yang membantu menghilangkan rasa bersalah karena tidak dapat memenuhi idealisme diri sendiri tentang apa yang dilakukan atau semestinya dilakukan oleh orangtua yang ‘baik’.
Namun demikian, self-serving atau melayani diri sendiri tidak selalu berarti negatif. Sangatlah manusiawi untuk melakukan hal-hal sesuai hasrat untuk mencari kesenangan dan menghindari penderitaan. Cinta orangtua terhadap anak sendiri adalah bentuk lain dari melayani diri sendiri yang dapat melahirkan rasa bahagia. Kita memiliki kemampuan untuk mencintai dan butuh dicintai. Menjadi orangtua mempresentasikan kita dengan sejumlah peluang untuk mewujudkan rasa mencintai, sedangkan pernikahan memenuhi kebutuhan untuk dicinta.
Rasa cinta orangtua pada anak seringkali disebut sebagai bentuk cinta yang paling ‘murni’. Untuk mencintai seorang anak sudah pasti berarti menerima mereka apa adanya. Dengan kata lain untuk menerima mereka apa adanya (dengan segala kekurangan), apa pun kondisinya. Namun demikian kita cenderung menyangkalkan anak kita di bagian-bagian yang juga kita sangkal dari diri sendiri, biasanya secara tidak sadar. Kelanjutannya adalah kemampuan menerima anak-anak kita sebagaimana apa adanya, biasanya mungkin terjadi apabila kita sendiri sudah menerima diri sendiri sebagaimana apa adanya.
Bukanlah rahasia untuk mengatakan bahwa cinta orangtua terhadap anak harus diawali dengan mencintai diri sendiri. Sebelum kita dapat mencintai dan menerima diri sendiri secara utuh, bagimana mungkin kita dapat mencintai anak-anak kita dengan sepenuh hati?
Baca juga artikel menarik lainnya :