Setidaknya 213 aduan diterima Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terkait belajar jarak jauh yang harus dijalankan anak sekolah.
Pandemi Covid-19 mau tak mau mengubah cara belajar anak-anak sekolah. Jika semula belajar di kelas bersama teman-teman, kini harus dijalankan dari rumah dengan sistem jarak jauh atau daring.
Sayangnya, perubahan ini tidak semua bisa dijalankan semua pihak. Tidak sedikit anak dan orangtua yang belum siap dengan metode belajar ini. Alhasil, beragam keluhan pun bermunculan terkait dengan pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Mulai dari beban tugas yang dinilai terlalu berat bagi siswa, tidak tersedianya fasilitas (ponsel pintar dan komputer) yang mendukung untuk belajar, hingga boros kuota internet.
Belajar jarak jauh, tugas sekolah dianggap ‘tidak masuk akal’ dan jam belajar yang kaku
“KPAI sudah menerima pengaduan terkait PJJ sebanyak 213 kasus, di mana pengaduan didominasi oleh para siswa sendiri terkait berbagai penugasan guru yang dinilai berat dan menguras energi serta kuota internet,” kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti dalam keterangan di Jakarta, seperti dilansir oleh Republika (13/4).
Retno mengatakan ratusan kasus itu dihimpun selama tiga pekan sejak kebijakan itu berlangsung (16 Maret – 9 April) dan berasal dari para siswa di berbagai daerah. Ada lima jenis pengaduan bidang pendidikan, penugasan yang berat dengan waktu pengerjaan yang pendek menjadi pengaduan tertinggi (hampir 70%).
Artikel terkait: 3 Penyebab anak susah belajar menurut Psikolog, Parents wajib tahu!
Menurut Retno, tidak sedikit siswa yang mengaku mendapat tugas menjawab soal tetapi harus dituliskan soalnya padahal ada di buku cetak mereka.
Siswa SMA/SMK juga banyak yang ditugaskan menulis esai hampir di semua bidang studi. Ditambah lagi dengan jam belajar yang kaku layaknya jam sekolah normal, padahal belajar di rumah tidak sama seperti di sekolah.
“Ada siswa SMP yang pada hari kedua PJJ sudah mengerjakan 250 soal dari gurunya. Ada siswa SD di Bekasi yang diminta mengarang lagu tentang corona. Dinyanyikan disertai musik dan dan harus di videokan,” ujar Retno.
Masalah ekonomi yang menghambat PJJ juga diadukan ke KPAI
Retno melanjutkan, siswa-siswa dari keluarga yang pas-pasan (pekerja upah harian) alami kesulitan dua kali lipat.
Selain tugas, kuota internet juga dirasakan berat. Mereka kerap kewalahan dalam membeli kuota internet akibat penghasilan orang tua yang menurun drastis.
Seorang guru di Yogjakarta juga menceritakan bahwa pembelajaran daring hanya bisa dilakukan pada pekan pertama dan setelah itu sudah tak bisa lagi karena orangtua peserta didiknya tidak sanggup membeli kuota internet.
Belum selesai dengan tugas-tugas dan kuota internet, beban lain datang berupa ujian daring. Karena tidak memiliki laptop atau komputer, mereka kesulitan melaksanakan ujian daring yang akan dilaksanakan pada akhir April-Mei 2020 nanti.
Aduan lain yang diterima KPAI adalah penolakan membayar biaya SPP bulanan secara penuh mengingat siswa belajar dari rumah bersama orangtua. Retno mengungkapkan, banyak orangtua mengalami masalah ekonomi usai perpanjangan masa belajar dan bekerja dari rumah.
“Bahkan, orangtuanya yang pengusaha pun turut terpukul secara ekonomi sehingga memiliki masalah finansial,” sambungnya.
Artikel terkait: Apakah PR bermanfaat bagi anak ? Simak pengalaman ibu ini
Banyaknya keluhan belajar jarak jauh, Mendikbud kaji kurikulum darurat
Menyikapi kondisi banyaknya keluhan belajar jarak jauh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengaku tengah mengkaji kemungkinan penerapan kurikulum darurat. Namun saat ini ia masih fokus pada kebijakan-kebijakan yang bisa langsung dirasakan masyarakat dengan cepat.“Itu sedang kami kaji. Tapi mengubah kurikulum itu tidak mudah. Sedangkan Covid-19 ini cepat. Jadi kita harus lakukan yang bisa dirasakan secepat mungkin,” ujar Nadiem seperti dilansir oleh CNN, Rabu (15/4).
Untuk itu pihaknya memutuskan kebijakan yang bisa dirasakan masyarakat langsung. Termasuk membuat program Belajar dari Rumah melalui TVRI.
Evaluasi dan perbaikan program ini juga terus dijalankan Nadiem. Misalnya memastikan program ramah disabilitas, karena saat ini program Belajar dari Rumah belum menyentuh siswa disabilitas.
Ia pun mengaku belum memiliki solusi belajar dari rumah untuk masyarakat yang tak punya akses listrik. Tapi pihaknya terus menggodok ide yang bisa didorong.
Apa kata peneliti?
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Nadia Fairuza Azzahra mengatakan kalau evaluasi belajar jarak jauh ini dinilai sudah tepat. Selain itu, langkah konkret penanganannya tetap harus dilakukan.
“Apabila pandemi Covid-19 diperkirakan akan terjadi dalam waktu yang cukup lama, pemerintah harus mengambil langkah strategis dengan menyusun kurikulum khusus yang sesuai dengan skema PJJ,” ujarnya, seperti dikutip dari CNN Indonesia.com, (15/4).
Menurut Nadia, keluhan siswa ke KPAI mengindikasikan guru belum memahami dengan baik konsep belajar jarak jauh. Pembelajaran daring pun tak bisa dilakukan merata di Indonesia karena keterbatasan infrastruktur dan akses teknologi.
Sumber: Republika, CNN Indonesia
Baca juga:
Jangan sampai terlewat! Ini jadwal tayang program 'Belajar dari Rumah' di TVRI