Belajar ikhlas dari sosok rapuh adikku, Nayla.
Belajar ikhlas dalam menjalani kehidupan bukanlah hal yang mudah. Berbagai permasalahan dan ujian hidup yang kita alami, kerap membuat kita tergagap bahkan menyesali takdir yang harus kita jalani.
Namun dengan melapangkan hati dan kemauan untuk memetik kebahagiaan hidup, sesungguhnya kita bisa mempelajarinya dari sosok-sosok istimewa yang ada di sekitar kita.
Dan aku menemukannya pada sosok rapuh adikku, Nayla.
Belajar ikhlas pada adikku
Pada mulanya kelahiran Nayla, 4 tahun silam, membuatku merasa sangat marah. Bagaimana tidak? Saat Nayla lahir, Bapak sudah berumur lebih dari 60 tahun.
Benar-benar bukan usia yang ideal untuk kembali memiliki anak, walaupun itu dari istri keduanya. Namun di kemudian hari, kehadirannya ternyata membuatku belajar ikhlas dengan cara yang amat menyentuh.
Aku masih ingat ketika Bapak mengatakan,”Bapak tidak akan membahas hal ini. Allah yang Maha Memberi sudah menitipkan pada Bapak seorang anak lagi. Suka atau tidak suka itu sudah keputusan Allah. Dan dia juga adikmu.”
Iya, aku setuju kalau setiap anak adalah titipan Allah. Aku belajar ikhlas menerima kenyataan itu. Tapi tetap saja, seolah ada bongkahan batu besar dalam hatiku.
Bagaimana mungkin aku belajar ikhlas menerima kehadiran dirinya, sementara aku mengkhawatirkan banyak hal dari kelahiran itu?
Dan kekhawatiranku menimbulkan banyak pertanyaan. Bagaimana cara Bapak mendidik Nayla di usia seperti itu? Bagaimana jika Bapak meninggal dunia saat usia Nayla masih membutuhkan perlindungan?
Bagaimana bisa Bapak menemani Nayla bermain di usia yang seharusnya digunakan untuk banyak beristirahat? Bagaimana Bapak bisa menanggung biaya sekolah Nayla sementara Bapak sudah pensiun?
Berbagai macam pertanyaan berputar silih berganti di dalam kepala. Tak terjawab. Dan ketidakmampuanku menjawab pikiran-pikiranku sendiri menimbulkan ledakan kemarahan di kepalaku.
Aku tak suka sama sekali dengan kelahiran Nayla. Tanpa sadar aku pun diam dan menarik diri dari bapak dan ibu tiriku. Aku semakin jarang mengunjungi mereka. Bagaimana bisa aku belajar ikhlas menerima kenyataan ini?
Halaman selanjutnya, bagaimana tubuh ringkih itu belajar ikhlas menerima takdirnya…
Tubuh ringkih itu belajar ikhlas menerima takdirnya
Waktu berlalu dan kami semua menyadari bahwa Nayla tak tumbuh seperti bayi lainnya. Ia tak berguling, tak menegakkan kepala, tak duduk, apalagi merangkak.
Dari waktu ke waktu ia hanya tidur telentang sementara saat terbangun matanya yang penuh rasa ingin tahu menjelajah setiap sudut dan menunjuk pada banyak hal.
Bapak dan ibu tiriku membawa Nayla ke banyak dokter ahli, dan setelah mengumpulkan banyak informasi mengenai diagnosa dokter. Informasi yang kuterima kemudian amat menyesakkan dada, Nayla terkena penyakit CIDP.
Aku belum pernah mendengar apapun mengenai penyakit CIDP. Dari hasil pencarian di internet aku tahu kalau CIDP (Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy) adalah penyakit autoimun syaraf.
Orang yang terkena CIDP akan merasa kesemutan dan lemas pada tangan dan kakinya, atau terasa berat seolah membawa bandul pemberat.
Tak ada obat yang bisa menyembuhkannya. Karena tubuhnya menolak imunitas yang berasal dari luar, obat-obatan dan vitamin yang berfungsi menguatkan tubuhnya bukan menjadikannya bertambah sehat tetapi justru membuat tubuhnya lebih lemah daripada sebelumnya.
Bapak dan ibu tiriku mulai rutin membawa Nayla ke tempat terapi sejak dokter memberi vonis bahwa adikku tak akan bisa berjalan seumur hidupnya. Sementara aku, karena kesibukan yang semakin bertambah meskipun sebenarnya kemarahanku telah mereda, tetap jarang menjenguk mereka.
Adikku, guru sejatiku untuk belajar ikhlas menjalani hidup
Aku mulai sering datang saat Nayla mulai bisa berbicara, dan ia kelihatan sangat senang ketika anak-anakku datang mengunjunginya.
Anak-anakku pun terlihat senang bermain dengan tante kecilnya. Meskipun mereka tak bermain lari-larian atau melompat seperti permainan anak-anak lainnya, tetapi mereka tetap bergembira saat menonton film kartun bersama, atau bermain boneka, atau bermain lilin.
Apalagi Nayla adalah anak yang ceria dan pandai bicara, membuat semua orang yang mengobrol dengannya selalu tertawa.
Kegembiraan mereka membuatku berpikir untuk meluangkan waktu agar kesempatan mereka bertemu semakin sering. Pelahan aku mulai belajar ikhlas menerima kehadirannya.
Karena kondisi Nayla yang bahkan bangkit untuk duduk sendiri saja tidak bisa, sering tercetus ucapan prihatin Bapak, “Kasihan Nayla…Bagaimana hidup yang harus dihadapi Nayla kelak karena kondisi tubuhnya? Apa bisa bahagia?”
Aku hanya terdiam. Aku tahu aku bukan jenis orang yang bisa mengungkapkan kata-kata yang tepat di saat yang benar. Jadi aku memilih untuk diam.
Tetapi dalam hati aku bisa merasakan kekhawatiran Bapak karena di dalam hati aku juga merasakan hal yang sama.
Meski begitu, Nayla adalah seorang balita yang sangat positif dan optimis. Setiap kali ia mendengar Bapak berkata seperti itu, ia akan menimpali dengan kata-kata, “Nayla kuat, Pak. Nih lihat, Nayla kuat! Nayla bahagia!” sambil berusaha menegakkan dadanya.
Meski aku tak yakin dengan kata-katanya, tetapi aku selalu tersenyum mendengar ucapan Nayla. Hatiku mengembang ketika melihat Nayla sangat percaya pada dirinya sendiri. Ia tampak ikhlas menerima kondisinya.
Sampai suatu hari ketika aku dan anak-anakku berkunjung kesana, Bapak dan ibu tiriku menitipkan Nayla padaku karena mereka hendak pergi sebentar untuk membeli beberapa keperluan. Aku pun mengangguk setuju.
“Mau nonton youtube?” aku mengangsurkan Ipad untuk adik dan anak-anakku setelah mencarikan lagu-lagu soundtrack film kartun kesukaan mereka. Mereka bertiga duduk berhimpitan di atas tempat tidur sambil ikut bernyanyi. Aku tersenyum melihatnya.
Sambil mengawasi adikku dan anak-anakku, aku duduk di seberang mereka sambil membaca buku. Tenggelam dalam buku, aku tak menyadari kalau ternyata sesuatu telah terjadi tepat di depan mataku.
Seorang anakku tertidur, seorang lagi sibuk bernyanyi-nyanyi sendiri. Sementara adikku Nayla masih duduk tetapi jatuh tengkurap dengan wajah melesak di tempat tidur.
Posisinya mengingatkan aku pada boneka kain berkaki panjang yang bisa ditekuk sekehendak hati karena boneka tak pernah memiliki tulang.
Aku terkesiap. Seketika kulempar buku yang sedang kubaca dan berlari ke arahnya. Kutegakkan tubuh kecilnya kembali sambil bertanya padanya. “Nayla, kamu nggak apa-apa?”
Wajah Nayla merah karena terlalu lama terhimpit kasur. Ia tak menjawab pertanyaanku. Hanya mengangguk kecil tanda bahwa ia tak apa-apa.
Lalu ia menatapku. Saat itu, saat ia menatapku tanpa kata-kata, sebuah gelombang pedih menusuk ulu hatiku. Membuat tenggorokanku terasa tercekat.
Tatapan adikku adalah tatapan pasrah pada keadaannya. Ia bisa saja kehilangan napas jika tak ada yang melihatnya jatuh tertelungkup di atas tempat tidur seperti tadi, tetapi ia pasrah.
Memang kondisi itulah yang harus dihadapinya, dan ia menerima dirinya. Untuk kesekiankalinya aku belajar ikhlas darinya.
Ketika aku bertanya, “Nayla, kamu nggak apa-apa?”, ia hanya bisa mengangguk kecil. Padahal kondisi itu sangat serius dan berbahaya.
Saat itu untuk pertama kalinya aku meneteskan air mata. Aku malu sekaligus haru. Adikku yang masih balita telah membuatku belajar ikhlas untuk menerima takdir Allah dengan sepenuh kerelaan. Apapun itu.
Ini adikku. Ia adalah anak yang kuat dan tak boleh dikasihani. Tak boleh diragukan. Karena Nayla adalah seorang anak yang spesial. Dan aku akan terus belajar ikhlas padanya.
Belajar ikhlas ini membuat aku mengubah caraku memandang dirinya. Sebagai kakak, jika aku ingin membuatnya bahagia, satu-satunya cara yang harus kulakukan adalah mempercayainya. Mempercayai bahwa adikku Nayla bisa melakukan apa saja meski kondisi tubuhnya berbeda dengan orang lain.
Nayla juga tampak sangat gembira jika dibiarkan terlibat dalam banyak kegiatan. Aku mulai mengajaknya membonceng sepeda sambil dipegangi, menggendongnya sambil berlari-lari kecil, bermain lempar-lemparan bola bersama anak-anakku, atau hanya sekedar mengobrol dengannya.
Yang paling sering kulakukan saat bersamanya adalah berusaha meminta tolong ia untuk melakukan sesuatu, yang ketika bisa dilakukannya wajahnya akan berseri-seri karena bangga dan bahagia. Saat ia tertawa, hatiku pun terasa luas karenanya.
Saat kami membuat kue kering beberapa hari lalu, aku mengangsurkan adonan kue nastar yang bisa ditekannya untuk diisi selai nanas.
“Nayla bisa kan?” tanyaku.
“Bisa!” ia mengangguk mantap. Dan jadilah hari itu kami bersenang-senang membuat kue kering Idul Fitri bersama-sama.
Sambil menekan adonan, adikku berceloteh riang tentang pelajaran home schooling yang baru saja selesai didapatkannya. Tentang bermain membuat rumah Laura Inggals dari lilin.
Ibu gurunya memang datang sambil membawa buku seri Laura Inggals on The Praire tadi sebelum mereka mulai membuat rumah-rumahan dari lilin warna-warni.
Adikku, meski usianya masih 4 tahun adalah seorang pembelajar yang tekun. Belajar hal baru adalah sesuatu yang membuatnya gembira.
Sikap pembelajarnya ini membuatku yakin kalau Nayla bisa menghadapi dunia kelak. Bila ia bisa membuatku belajar ikhlas menerima kehadirannya, ia pun belajar ikhlas menghadapi tantangan masa depannya.
Terkadang Bapak, karena kasih sayangnya yang besar, masih memandangi Nayla dengan kekhawatiran yang besar sambil berkata, “Bagaimana hidup Nayla kelak saat ia besar?”
Tetapi kini, ketika aku menatap Nayla yang tersenyum lebar pada Bapak sambil berkata, “Nayla kuat, Pak! Nayla bisa!”, aku bisa ikut tersenyum. Aku percaya pada Nayla kalau ia memang benar-benar bisa.
Lebih dari itu aku tahu kini, bahwa kebahagiaan Nayla adalah saat ia dipercaya bahwa ia bisa membangun mimpi yang diinginkannya. Kami keluarganya hanya perlu mendukungnya. Sesungguhnya, kehadirannya tidak lain adalah agar aku belajar ikhlas dalam menjalani hidup ini.
Kisah inspiratif di atas merupakan kisah nyata yang ditulis oleh Yuniar Khairani dan diadaptasi oleh penulis theAsianParent.com.
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.