Kisah legenda Batu Menangis bercerita tentang malapetaka yang dialami seorang anak yang durhaka terhadap orangtuanya. Dari manakah asal cerita rakyat ini dan seperti apa kisah lengkapnya? Yuk, simak ceritanya dilansir dari kanal YouTube Dongeng Kita.
Legenda Batu Menangis, Kisah Si Anak Perempuan yang Durhaka kepada Ibunya
Cerita Rakyat Batu Menangis Berasal dari Kalimantan Barat
Merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak suku bangsa, membuat Indonesia memiliki banyak sekali cerita rakyat. Salah satu yang kerap kita dengar adalah kisah legenda Batu Menangis. Batu menangis merupakan cerita rakyat yang berasal dari Kalimantan Barat.
Ceritanya, pada zaman dahulu, hiduplah seorang ibu bersama dengan anak perempuannya yang bernama Darmi. Mereka tinggal berdua saja sejak ayah Darmi meninggal dunia ketika Darmi masih sangat kecil.
Dulu sebelum ayahnya meninggal, mereka hidup berkecukupan. Tapi setelah ditinggal sang kepala keluarga, ibunda Darmi harus bekerja keras di ladang demi bisa menyambung hidup.
Bekerja di ladang sepanjang hari membuat kulit ibu Darmi menjadi sangat gelap. Berat badannya juga menyusut. Tapi itu semua tidak dihiraukannya demi putri satu-satunya mendapatkan kehidupan yang layak.
Namun perjuangan ibunya sepertinya tidak membuat hati Darmi tergugah. Sebagai putri satu-satunya, ia tak ada niatan untuk turut membantu sang ibu, minimal bekerja membersihkan rumah.
Setiap hari kerjaan Darmi hanya berdandan saja. Ia juga tak mau keluar rumah karena takut kulitnya menjadi gelap seperti ibunya.
Artikel terkait: 12 Cerita Rakyat dari Berbagai Daerah di Indonesia, Mengandung Pesan Moral
Kisah Anak Perempuan Durhaka
Suatu hari ibunya pergi bekerja di ladang seperti biasa. Tapi kali ini rencananya ia bekerja hingga sore hari sebab musim panen sudah tiba.
Sebelum berangkat kerja, ibunya berkata kepada Darmi, “Darmi bisakah kamu memasak hari ini, Nak? Ibu tidak bisa pulang siang ini, karena harus menyelesaikan panen kita. Jika sudah selesai memasak, maukah mengantarkannya ke ladang untuk ibu?” tanya ibundanya lembut.
Saat itu, Darmi yang sedang menyisir rambutnya yang indah, begitu terkejut mendengar permintaan ibunya.
“Tidak mau, Bu! Jika aku memasak, rambutku bisa bau tungku, Bu. Aku, kan, habis keramas! Lalu, jika aku mengantarkan makan ke ladang nanti kulitku jadi hitam, aku kan habis luluran,” jawab Darmi kepada ibunya.
Sang ibu yang mendengarkan jawaban itu sangat sedih dan ia hanya mampu menggelengkan kepalanya.
Ibu Darmi pun pergi ke ladang. Meski Darmi tidak mau menolongnya, ia tetap pergi ke ladang dengan semangat. Ia bekerja dengan sangat keras, mengumpulkan hasil panen yang akan dijualnya ke pasar besok. Ketika waktunya makan siang tiba, ibu Darmi terus bekerja. Ia tidak mempedulikan perutnya yang merintih kelaparan. Toh, tak ada yang bisa dimakan juga.
Darmi Tak Peduli Kesusahan Ibunya
Saat merasa kelelahan, ia hanya beristirahat sebentar sambil meminum air kendi yang di bawanya dari rumah. Dalam hati ia berdoa.
“Ya Tuhan, tolong kami. Ubahlah anakku dan lepaskan dia dari sifat malasnya.”
Sore pun tiba, waktunya ibu Darmi menghentikan pekerjaannya dan kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, betapa terkejutnya ia karena di sana pun tidak ada makanan yang bisa dimakan.
Ternyata Darmi benar-benar melakukan apa yang dikatakannya pagi tadi bahwa ia tidak mau masak. Melihat ibunya sudah sampai di rumah, Darmi malah marah-marah.
“Ibu ini ke mana saja, sih? Masa tidak ada makanan di rumah. Aku, kan, lapar, seharian tidak makan!” kata Darmi mengamuk kepada ibunya.
Meski diperlakukan buruk, ibu Darmi masih bisa bersabar dan menjawab.
“Darmi, tadi, kan, ibu sudah menyuruhmu untuk memasak.”
Mendengar jawaban ibunya yang seperti itu, Darmi langsung pergi meninggalkan ibunya yang kelaparan dan juga lelah.
Artikel terkait: Dongeng “Malin Kundang”, Cerita Rakyat yang Penuh Pesan Moral untuk Anak
Selalu Menolak Jika Ibunya Minta Tolong
Esok harinya, ibu Darmi bangun lebih pagi dari biasanya. Ia sudah bersiap-siap membawa hasil panennya ke pasar.
“Darmi, ikutlah ibu ke pasar, Nak. Ibu membutuhkanmu untuk membawa hasil ladang kita,” ajak si ibu.
“Tidak mau, Bu! Nanti kulitku kotor, apalagi pasar kan becek. Aduh, aku tidak bisa membayangkan kulitku yang bersih ikutan kotor,” jawab Darmi menolak permintaan ibunya.
Mau tak mau, akhirnya ibunya pergi ke pasar sendirian sambil membawa hasil ladangnya. Ibu Darmi sangat senang karena menjelang sore hasil panennya terjual habis. Uang yang dihasilkannya memang tidak terlalu banyak, tapi lumayan untuk membeli kebutuhan mereka selama beberapa hari.
Sesampainya di rumah, ibu Darmi menghitung kembali uang yang dihasilkannya. Darmi melihat ibunya menghitung uang dan mendekatinya.
“Bu, bedakku habis, tolong belikan, dong, Bu,” pinta Darmi.
“Iya, ibu belikan, tapi kamu harus ikut supaya ibu tidak salah beli,” jawab ibunya.
Dengan terpaksa Darmi ikut karena jika ibunya salah membeli bedak, dia juga yang rugi. Darmi ikut ke pasar dengan ibunya dengan menggunakan payung. Ya, itu karena ia tak mau kulitnya terkena matahari langsung.
Penolakan Darmi Membuat Ibunya Sakit Hati
Ketika jarak pasar sudah semakin dekat, ia berbisik kepada ibunya.
“Bu, nanti kita jalannya jangan berdampingan, ya, ibu dibelakangku saja.”
“Kenapa, Darmi?” tanya ibunya penasaran.
Si anak tidak memberikan alasannya, dan ia terus memastikan agar ibunya tetap berjalan di belakangnya. Dalam hati, sebenarnya Darmi malu berjalan bersama-sama ibunya memiliki kulit gelap dan wajah yang tak terawat.
Tiba di tengah jalan, ada seorang anak perempuan yang adalah teman Darmi. Anak perempuan itu menghampiri Darmi dan bertanya.
“Hai Darmi, kamu mau ke mana?” tanyanya.
“Aku mau ke pasar,” terang Darmi.
Teman perempuannya itu melihat perempuan tua yang berjalan di dekat Darmi, dan ia pun bertanya, “Dia siapa, Darmi? Ibumu, ya?”
Pertanyaan seperti itulah yang sebenarnya dihindari Darmi. Ia begitu terkejut mendengar pertanyaan itu dan bingung harus menjawab apa. Ia sungguh-sunguh tak ingin mengatakan bahwa perempuan tua yang kotor dan jelek itu adalah ibunya.
“Oooh, ini pembantuku, tentu saja bukan ibuku. Ih, amit amit, deh!”
Bagai disambar geledek, seperti itulah perasaan ibu Darmi ketika mendengar perkataan putrinya. Namun ia hanya bisa menampung kesedihannya di dalam hati saja.
Darmi dan ibunya pun melanjutkan perjalanan mereka. Kemudian mereka bertemu dengan teman Darmi yang lain, seorang anak laki-laki.
“Darmi, kamu mau ke mana?” tanya temannya itu.
“Aku mau ke pasar,” jawab Darmi.
Temannya itu kembali bertanya sama seperti yang ditanyakan teman perempuannya yang pertama.
“Ngomong-ngomong, siapa di belakangmu? Dia ibumu?”
Kali ini dengan lantang Darmi segera menjawab, “Bukan, dia bukan ibuku, tetapi pembantuku,” jawabnya.
Sungguh, Darmi begitu tega mengatakan ibunya sendiri sebagai pembantunya. Dengan sekuat tenaga, ibunya menahan rasa sakit hatinya.
Artikel terkait: Cerita Anak Tradisional Bawang Merah Bawang Putih, Ajarkan Anak untuk Tak Serakah
Berubah Menjadi Batu Menangis sebagai Hukuman Tuhan untuk Darmi
Sampailah keduanya di pasar. Saat akan memasuki pasar, lagi-lagi mereka bertemu dengan teman Darmi yang lain. Kembali, Darmi melakukan pembicaraan yang sama seperti teman yang pertama dan kedua. Jawaban Darmi pun tetap sama juga, mengatakan bahwa ibunya itu pembantunya.
Kali ini ibu Darmi tak lagi kuasa menahan air matanya. Dalam hati ia berdoa. “Ya Tuhan, hamba sudah tidak kuat lagi dengan sikap anak hamba. Tolong, hukumlah dia agar menjadi jera!”
Usai selesai berdoa, tiba-tiba Darmi menjerit.
“Aaaahhhhh…. Ibu, kenapa aku? Ada apa dengan kakiku? Kenapa tidak bisa digerakkan lagi,” teriak Darmi.
Sedikit demi sedikit, Darmi berubah menjadi batu. Sang ibu hanya bisa menangis pilu.
“Maafkan aku, Nak. Ini semua karena perlakuanmu terhadap ibu,” terang ibu Darmi sambil menangis.
“Ampun, Bu, ampun… Ampun, Ibu… Darmi tidak akan mengulanginya lagi,” katanya sambil terus menangis dan merintih kesakitan.
Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Yang sudah terjadi, ya terjadilah. Darmi lalu berubah menjadi batu untuk menanggung perbuatannya yang keji terhadap ibu yang sudah merawat dan menjaganya dengan sepenuh hati. Batu jelmaan Darmi masih meneteskan airmata meski seluruh tubuhnya telah mengeras menjadi sebongkah batu, karena itulah disebut Batu menagis.
Kisah legenda Batu Menangis ini masih sering diceritakan orangtua kepada anak-cucu mereka sebagai pengingat agar setiap generasi mengasihi orangtua, terutama ibu mereka.
Batu Menangis masih ada di Kalimantan Barat hingga saat ini, tapi posisinya sudah dipindahkan dan disandarkan dekat tebing.
Baca juga:
Dongeng Anak: Cerita Rakyat Sangkuriang dan Tangkuban Perahu
3 Dongeng Legenda Indonesia, Bantu Anak Kenal Asal-usul Tempat Wisata
8 Jenis Batik Cirebon yang Indah dan Bersejarah, Motifnya Memikat Hati!