Jika di Indonesia pemerintah berusaha menekan angka kelahiran dengan program Keluarga Berencana (KB), lain halnya dengan beberapa negara maju. Finlandia, Perancis, Spanyol dan Amerika adalah contoh negara yang memiliki masalah populasi. Mereka kekurangan bayi, sementara jumlah lansia di sana semakin banyak.
Sementara di Asia, ada negara Korea Selatan, Jepang, Singapura dan China yang mengalami hal serupa. Menyikapi persoalan populasi ini, pemerintah setempat tidak tinggal diam. Berbagai upaya dilakukan demi mendongkrak angka kelahiran, salah satunya dengan memberi insentif warganya untuk punya anak.
Banyak kasus dan alasan yang melatarbelakangi masalah populasi dan angka kelahiran yang terus menurun ini. Ketika negara-negara mengalami perubahan ekonomi, efek transisi bukan hanya pada sektor finansial tapi juga berimbas pada populasi.
Angka kelahiran di Korea Selatan
Korea Selatan selama tiga generasi terakhir telah berevolusi seperti beberapa negara lainnya karena industrialisasi yang cepat. Sehingga menyebabkan negara itu berada dalam paradoks terkait populasi masyarakatnya. Negara ini mengalami ‘transisi demografis’, periode di mana populasi membengkak, menurun dan akhirnya membentuk garis datar.
Peristiwa ini kerap terjadi ketika negara-negara yang semakin kaya.
Foto: BBC
Seperti dilansir BBC, data menunjukkan bahwa Korea Selatan memiliki tingkat kesuburan rendah. Rata-rata wanita Korea Selatan hanya memiliki 1,1 anak, lebih rendah dari negara lain. Sebaliknya, rata-rata global adalah sekitar 2,5 anak-anak.
Penurunan populasi ini merupakan bagian dari fenomena sosial yang meningkat di Korea Selatan yaitu generasi Sampo. Kata ‘sampo’ berarti melepaskan tiga hal: hubungan, perkawinan dan anak-anak. Bukan hanya enggan memiliki anak, wanita usia produktif di negara ini juga enggan menikah dan lebih memilih menjalin hubungan kasual dengan pria.
Angka kelahiran telah menurun sejak 1970-an. Selama lebih dari 10 tahun, Pemerintah Korsel telah mengerahkan berbagai upaya untuk menangani masalah ini. Mereka memberikan insentif kepada orang tua yang memiliki anak. Uang yang digelontorkan sebagai insentif pun mencapai lebih dari US$70 miliar (Rp 954,8 triliun).
Di Korsel, ibu hamil mendapat uang untuk biaya pemeriksaan kandungan dan biaya-biaya lainnya terkait kehamilan. Selain itu, ada penitipan anak yang dikelola pemerintah serta penitipan anak swasta yang mendapat subsidi pemerintah. Sayangnya, seberapapun banyaknya pemerintah mengucurkan uang, rupanya tindakan itu tidak pernah cukup mempengaruhi keputusan warganya untuk punya anak.
Minimnya angka kelahiraan di Jepang
Dengan angka kelahiran rata-rata hanya mencapai 1,4, peneliti sangat khawatir dengan bom waktu demografis di Jepang. Ini merupakan yang paling rendah sepanjang sejarah Jepang.
Beberapa wilayah di Jepang telah menunjukkan tanda-tanda bom waktu demografis: yakni, populasi muda berkurang, sementara orang-orang lanjut usia semakin banyak.
Serupa dengan Korea Selatan, pemerintah Jepang juga telah menawarkan insentif uang tunai agar penduduknya tertarik memiliki anak. Cara ini cukup membuahkan hasil meski belum memuaskan.
Misalnya di kota kecil Nagi yang mampu menggandakan angka kelahiran dalam sembilan tahun, dari 1,4 anak menjadi 2,8 anak per perempuan.
Singapura juga mengalami masalah populasi penduduk
Singapura memiliki tingkat kesuburan paling rendah di seluruh dunia, yakni hanya 0,83. United Overseas Bank cabang Singapura melaporkan bahwa negara ini mengikuti langkah yang sama seperti Jepang dan Korsel. Pada 2017, persentase penduduk berusia di atas 65 tahun setara dengan jumlah anak-anak di bawah 15 tahun.
Meskipun tenaga kerja di Singapura bertambah tua dan proporsi kaum mudanya menurun, namun para ahli mengatakan, efek bom waktu demografis masih bisa dibalik. Yakni, dengan merekrut lebih banyak pekerja imigran – sesuatu yang belum menjadi fokus Jepang.
Angka kelahiran China menurun drastis sejak tahun 1979
Kasus di Tiongkok atau China ini menarik. Selama ini China dikenal sebagai negara dengan populasi terbesar sedunia. Hingga pada tahun 1979 Pemerintah China membuat kebijakan kontroversial. Satu keluarga hanya boleh memiliki satu anak untuk menekan tingginya angka kelahiran. Kebijakan ini berhasil namun di luar dugaan, memiliki dampak buruk.
Data statistik China menyebut jumlah kelahiran anak pada 2019 adalah yang terendah dalam 60 tahun terakhir. Oleh sebab itu, pemerintah mulai mengambil langkah-langkah lain untuk mendorong kelahiran. Dua tahun lalu, China mulai mengizinkan setiap keluarga untuk memiliki dua anak. Beberapa provinsi bahkan memberikan bonus uang tunai kepada orang tua yang memiliki dua anak.
Namun, kebijakan ini belum mampu menyeimbangkan angka kelahiran. Padahal pemerintah China berharap ada kenaikan angka kelahiran bayi secara pesat pada 2015, saat “kebijakan satu anak’ dicabut. Memang ada sedikit kenaikan angka kelahiran pada tahun tersebut, tapi hanya sedikit.
Pemerintah provinsi Shanxi utara, mengumumkan bahwa mereka akan memberikan subsidi pernikahan dan membantu membiayai pesta, foto pra-wedding, dan perjalanan bulan madu. Sementara itu, provinsi lainnya bahkan menghapus batas jumlah anak.
***
Bagaimana menurut Anda?
Sumber: National Geographic,BBC
Baca juga:
Ramalan Jam Kelahiran Anak Versi Cina Kuno
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.