Tantangan Membesarkan Anak Pertama, Inilah Kisahku
Inilah pengalaman ku sebagai orangtua, membesarkan buah hati pertama.
Siapa yang menyangka, tantangan membesarkan anak pertama begitu menguras tenaga dan emosi. Setidaknya, kondisi inilah yang saya rasakan.
Masih teringat perkataan bu dokter anak yang sekarang menangani anakku bahwa memikirkan langkah ke depannya jauh lebih penting dibandingkan dengan terus menyesali yang pernah terjadi sebelumnya.
Selaras dengan pernyataan dokter, saya pun teringat dengan isi cermarah yang disampaikan oleh ustad sunnah yang pernah saya simak terkait stres, deperesi dan segala pikiran yang kerap dipikul kebanyakan kaum ibu. Menurutnya, dari sekian banyak analisis, hanya satu penyebab inti dari stres yaitu tauhid. Ketidak percayaan terhadap takdir.
Umumnya hal akan berhubungan dengan kondisi masa lalu dan masa depan. Kecewa pada masa lalu atau cemas terhadap masa depan. Jika bisa berserah, itulah kunci untuk berusaha dan berdoa kembali.
Menjadi Orangtua, Pentingnya Informasi Terkait Pola Asuh dan Nutrisi Anak
Sampai sekarang saya sendiri masih merasa sangat kurang ilmu dan informasi, serta memiliki keterbatasan dalam beberapa hal. Termasuk yang berkaitan dengan ilmu parenting.
Kini usia anak saya sudah menuju 10 bulan, berat badan anak lelaki pertama dan baru satu-satunya alhamdulilah sudah hampir menuju 8 kg. Meski makannya seolah tetap dipaksakan. Untuk melengkapi nutrisinya, saya pun memberikan tambahan susu khusus.
Artikel terkait: MPASI Pertama Bayi, Tunggal atau 4 Bintang? Ini Pendapat Dokter!
Saya pun terus berusaha terus berpikiran positif. Kerap diiring cerita-cerita dari kerabat lain terkait hal serupa, misalnya ada yang bahkan merasa kesulitan lantaran sampai anaknya usia 3 tahun namun belum bisa makan dengan baik.
Tidak bermaksud untuk membandingkan. Namun setidaknya dari sini saya kembali diingatkan bahwa semua orangtua, khususnya ibu memiliki tantangan tersendiri.
Aku pun sangat bersyukur karena telah dititipkan seorang anak.
Tantangan Membesarkan Anak Pertama, Masih Membandingkan dengan Anak Lainnya
Namun, terkadang masih sering terbersit rasa kasihan melihatnya karena memiliki ibu yang banyak kekurangan seperti saya. Ketika melihat orang lain, terkadang juga muncul rasa iri melihat kebahagiaan para orangtua yang tidak memiliki masalah dengan tumbuh kembang anaknya.
Namun lagi-lagi, saya harus berpikiran jernih. Untuk apa terus mengeluh? Membandingkan tumbuh kembang anak sendiri dengan anak orang lain? Jika terus dilakukan tentu saja hanya mengundang banyak pikiran yang berujung membuat saya stress. Bisa-bisa korbannya, siapa lagi kalau bukan anak saya sendiri?
Ya, saya rasa, tak cukup membuatku mengeluh karena, toh, apa yang saya alami belumlah seberapa. Masih banyak orangtua yang mengalami kondisi yang mungkin lebih sulit dibanding saya. Dari sini saya pun berharap tidak terlalu santai dan terus waspada. Seperti yang diibaratkan dokter anak saya, untuk membayar utang.
Kini, saya hanya sedang menambah kehati-hatian untuk berusaha tidak seceroboh sebelumnya. Meski jadi nampak lebih tegang.
Sungguh, jauh sebelum jadi orangtua, saya tidak pernah membayangkan kalau urusan memenuhi nutrisi anak ini sangat rumit dan menguras pikiran. Selain dengan dokter anak, saya pun akhirnya sering mengadu pada Allah. Berharap bisa mendapatkan solusi makanan untuk buah hatiku.
Jika mengadu lewat aplikasi yang saya ikuti, sering kali tidak mendapatkan jawaban. atau malah tidak ada yang berkomentar. Saat melakukan konsultasi online, ada rasa tidak puas dengan penjelasan yang diberikan oleh dokter. Terkadang, saya merasa jawaban yang saya dapatkan belum bisa membantu masalah yang sedang saya hadapi.
Umumnya, diberi saran untuk memberikan susu untuk menambah nutrisi, termasuk pemberian vitamin vitamin, juga edukasi stimulasi secara umum. Kenyataannya, membuat anak bisa lahap makan memang tidaklah mudah. Siapa yang bisa menjawab dan membantu saya mengenai hal ini?
Memiliki teori ternyata tidak cukup karena memang pada praktiknya saya merasa kesulitan. Inilah yang menjadi salah satu tantangan membesarkan anak untuk saya.
Membesarkan anak, dan memenuhi kebutuhan nutrisinya ternyata memang mudah. Apalagi untuk saya yang memiliki anak dengan kondisi yang berbeda. Ya, anakku memang memiliki masalah jantung yang membutuhkan asupan kkal melebihi anak normal.
Artikel Terkait : Kelainan Jantung Bawaan pada Bayi
Tapi kondisinya, anak saya yang sudah mulai MPASI sejak usia 5 bulan atas rekomendasi dokter, belum juga bisa benar-benar makan.
Diiringi dengan doa, saya selalu berharap agar masalah ini bisa segera teratasi. Anak saya bisa tumbuh dengan sehat dan tumbuh kembangnya bisa sesuai dengan usianya. Entah bagaimana caranya, sebagai ibu tentu saja selalu mengupayakan yang terbaik buat buah hatinya.
*Ditulis oleh: Mirdhia Husnita
Baca juga :
8 Kiat Tingkatkan Kecerdasan Anak Sejak dalam Kandungan, Bumil Perlu Tahu!
"Tinggalkan Tradisi Setelah Melahirkan yang Salah," Pesan Seorang Ibu