Pagi itu saya terheran-heran membaca tweet teman-teman tentang PKN. Awalnya saya berpikir bahwa mereka PKN yang dimaksud adalah penghapusan pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, ternyata adalah Pekan Kondom Nasional. Dan jleg, saya ingat, hari itu adalah tanggal 1 Desember; hari AIDS sedunia.
Penyebaran AIDS di Indonesia memang sangat memprihatinkan. Jumlah penderitanya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dan sayangnya, hampir sebagaian besar penderitanya adalah para ibu rumah tangga. Hal ini memungkinkan terjadi karena ibu rumah tangga atau wanita (pekerja seks komersial) masih berada dalm posisi tawar yang rendah dibanding kan kaum lelaki. Inilah yang menjadi dasar awal program tesebut. Yaitu memberi kesadaran pada masyarakat beresiko (mereka yang hobi “jajan” di luar) untuk tidak tabu lagi membeli kondom.
Program ini memang seperti pisau yang bermata dua. Di satu sisi, mengajak masyarakat golongan beresiko untuk berperilaku seks (sedikit) lebih sehat dengan menggunakan kondom saat melakukan hubungan seks. Namun, di satu sisi, dikawatirkan seolah-olah seperti melegalkan seks bebas, terutama bagi mereka kelompok usia dengan tingkat kedewasaan yang belum matang.
Ketika kemudian program ini menuai protes yang sangat besar, disebabkan oleh besarnya acara yang diselenggarakan. Sebuah bus dengan pose seorang selebritis yang dikenal dengan kontroversi keseksiannya, berpose “menantang” pada bus tersebut. Selain itu juga selentingan bahwa ada pembagian kondom gratis pada beberapa titik di Jakarta, semakin menimbulkan reaksi protes yang semakin beragam.
Sebagai ibu, saya khawatir dengan Pekan Kondom Nasional
Mengapa? Seperti yang diungkapkan di atas, program Pekan Kondom Nasional ini seolah pisau yang bermata dua. Di satu sisi, bisa merupakan salah satu cara untuk membantu mencegah, sekali lagi hanya membantu mencegah penyebaran Virus HIV dan AIDS. Namun di sisi lain, saya kawatir bila kondom kemudian lebih mudah diakses bagi anak-anak, terutama remaja yang masih pada tingkat beresiko bila melakukan hubungan seksual terlalu dini. Kemudahan ini malah akan semakin meningkatkan resiko mereka melakukan dan terkena dampak dari seks bebas.
Siapa yang tak miris bila melihat banyakanya kasus video tak senonoh pelajar SMP yang heboh bberapa waktu lalu. Belum lagi beragam aneka kasus perkosaan yang dilakukan oleh anak-anak yang masih tergolong di bawah umur. Dari sini saya menilai, bahwa program sedemikian masih belum tepat sasaran. Masih ada banyak cara yang lebih penting untuk dilakukan tanpa harus menggencarkan Pekan Kondom Nasional.
Indonesia, di mana agama dan norma masih lebih diutamakan sebagai panduan dalam kehidupan; saya memandang pendidikan seks tidak hanya cukup pada tahap how to do a safe sex (seks yang aman). Namun lebih dari itu, bagaimana seorang anak sadar sedari dini untuk menjaga kesehatan reproduksi dan dirinya sendiri dari tindakan dan perilaku seksual yang tidak sehat dan berbahaya. Sehingga hasil akhir yang diharapkan adalah menghindari tindakan dan perilaku yang memicu terjadinya hubungan seksual yang tidak diharapkan. Menghindarinya jika merasa belum siap dengan semua konsekuensi dari adanya hubungan seksual.
Jadi, menurut saya akan lebih baik, jika pemerintah lebih menekankan pada hal seperti tersebut di atas. Selain itu, seperti banyak pakar kesehatan lansir, bahwa kondom sendiri tidak 100% aman melindungi pemakai dari HIV/Aids. Untuk itu akan lebih bijak jika pemerintah mengkaji lebih jauh program pencegahan peningkatan penyebaran virus ini; dengan jalan yang lebih baik dan lebih ramah untuk anak.
Bagaimana komentar Anda tentang Pekan Kondom Nasional ini?