Maafkan Bunda
Anakku tersayang,
Bunda akan mengatakan sesuatu yang penting:
Maafkan Bunda.
Kamu telah diajarkan dan terus-menerus diingatkan untuk mengucapkan maaf setiap kali kamu membuat kesalahan.
Namun, Bunda tak pernah mengatakannya padamu. Selalu saja kebalikannya: Bunda memaksamu minta maaf untuk hal-hal kecil.
“Ayo minta maaf karena kamu numpahin jus!” “Bilang maaf karena lupa membereskan mainan yang berantakan di lantai!” “Bilang: Maaf Bunda, adek udah ngancurin lipstik Bunda!”
Dan sekarang Bunda yang mengatakan padamu: Maafkan Bunda.
Karena Bunda sering ngomel dan cepat marah.
Bunda galak, tegas, dan tidak sabaran. Bunda berteriak dan memarahimu di depan umum, bahkan meremas pergelangan tanganmu (kadang-kadang terlalu kuat hingga membuatmu kesakitan).
Bunda ingat di suatu sore saat Bunda dikalahkan oleh emosi Bunda tiga kali dalam waktu dua jam. Kita sedang pergi ke mal ketika itu, dan kamu menjadi dirimu yang biasanya, kamu menyilangkan kedua kakimu sambil melompat, memainkan permainan khayalan sendirian.
Ketika kamu kesandung dan jatuh, Bunda langsung berteriak, “Bunda udah bilang kan kalau jalan yang bener. Nanti kamu jatuh terus luka!” Bunda langsung menarik tanganmu menyuruh untuk bergegas berdiri.
Tak lama setelahnya Bunda berkata dengan pedas kepadamu di dalam toko furnitur. Kamu memanggil, “Bunda, lihat! Ballerinanya berputar di dalam kotak perhiasan!” sebelum kamu mengangkat dan tak sengaja menjatuhkannya, membuat kaki ballerina patah, dan menggores cat di bagian luar.
Setelah Bunda membayar kotak perhiasan yang kamu rusak itu, Bunda berteriak padamu, “Bunda bilang jangan sembarangan pegang-pegang barang yang bukan punya kamu!” di depan para pegawai toko.
Dan sekali lagi Bunda membentakmu saat kita makan malam di restoran. Dengan jari manis terangkat saat memegang gelas, kamu berpura-pura menjadi seorang putri yang sedang minum.
“Ups! Bunda, aku numpahin air,” kamu berbisik mengaku. Kamu tahu pasti Bunda akan marah lagi, dan tentu saja Bunda pun spontan membentak, “Berapa kali Bunda bilang, kalau minum pegang gelasnya dengan dua tangan! Sekarang lihat deh jadi berantakan, kan?”
Bunda tidak peduli. Bunda terlalu sibuk membuatmu memahami bahwa kamu telah berbuat kesalahan dan tidak boleh mengulanginya lagi.
Tapi, setiap kali Bunda berbicara kasar padamu, Bunda melihat binar di wajahmu sedikit meredup.
Saat kita pulang dari mal hari itu, Bunda lesu dan uring-uringan, sementara kamu tetap ceria dan santai seperti biasa. “Horeee… sudah sampai rumah!” kamu berteriak kegirangan, sementara Bunda mengaduh, lalu melangkah ke kamar tidur dan menjatuhkan diri langsung ke kasur.
Saat itu, Bunda ingin sekali rehat darimu, istirahat sejenak dari kecelakaan-kecelakaan kecil yang kamu buat, berhenti membentakmu karena kesalahan-kesalahan yang kamu buat.
Beberapa menit kemudian, kamu berbaring di samping Bunda. Kamu tersenyum dan masih menginginkan kehadiran Bunda meski hari ini Bunda menunjukkan wajah bete dan memarahimu terus menerus.
Terhibur oleh sikap ceriamu, Bunda bersyukur memiliki anak yang semangatnya tak mudah dipatahkan. Dan kemudian Bunda menyadari, bahwa jeda yang Bunda butuhkan sebenarnya adalah jeda dari diri Bunda sendiri.
Bunda tak ingin menjadi seorang ibu yang pemarah, tidak sabaran, dan selalu berteriak sepanjang waktu.
Bunda tak ingin perilaku buruk karena yang Bunda lakukan menjadi contoh yang kamu lihat sehari-hari dan menerima bahwa begitulah sikap seorang ibu. Tidak, Bunda tidak mau. Maafkan Bunda
Mulai sekarang Bunda akan berhenti bersikap arogan dan mengingatkan diri sendiri (terus-menerus) bahwa kamu hanyalah anak-anak yang masih berusia empat tahun. Pada usia ini, wajar jika kamu melakukan kesalahan dan sering menguji ambang batasmu sendiri, bahkan jika itu berarti juga menguji batas kesabaran Bunda.
Bagaimana lagi caranya kamu mengetahui perbedaan apa yang benar dan apa yang tidak bisa diterima? Apa cara terbaik untuk belajar konsekuensi dari setiap tindakanmu jika kamu tidak diijinkan melakukan kesalahan kecil dan menghadapi beberapa kemalangan?
Sebagai Parents tentu saja kami ingin melindungi anak-anaknya dari bermacam-macam bahaya. Namun terkadang kami tidak menyadari bahwa justru kami semakin membahayakan anak-anak jika kami tidak belajar membiarkan anak melakukan dengan caranya sendiri.
Meski Bunda sering tidak sabaran dan cepat marah, namun perhatian yang Bunda berikan sebenarnya bertujuan baik. Tapi tentu saja Bunda juga harus belajar untuk lebih santai.
Alih-alih spontan mengucapakan, “Nah, kan! Bunda udah bilang apa…”, seharusnya Bunda bertanya: “Kamu baik-baik saja?”
Tapi sekarang, Bunda ingin mengucapkan tiga kata penting:
“Nak, maafkan Bunda.”
Dan tak peduli berapa kali Bunda kehilangan kesabaran, ingatlah tiga kata yang jauh lebih penting ini, Nak, tiga kata yang mengekspresikan hati, pikiran, dan jiwa Bunda:
“Bunda mencintai kamu.”
*surat ini ditulis oleh Carla Perlas, seorang ibu dengan dua putri, untuk theAsianparent Singapura.
Baca juga:
Surat terbuka dari bayi baru lahir untuk para orangtua agar selalu kuat