Sebuah pernikahan yang bahagia bisa berawal dari hal sederhana. Misalnya, mengerti bahwa tak ada salahnya untuk memberikan kesempatan agar ibu yang butuh liburan diizinkan untuk pergi sendiri tanpa ada “buntut” di belakangnya.
Sayangnya, tak semua suami mengerti tentang hal itu. Sehingga banyak ibu rumah tangga maupun ibu bekerja yang mengalami depresi karena hampir tak punya waktu untuk dirinya sendiri.
Seorang ayah bernama Topan Pramukti menulis tentang istri sekaligus ibu dari anaknya yang pergi berlibur.
Kendati surat tersebut ditujukan kepada anaknya yang masih kecil yang bernama Sujiwo, surat tersebut juga sangat relevan untuk dibaca para ayah lain agar menyadari bahwa tak ada salahnya jika memberikan kelonggaran pada ibu yang butuh liburan untuk menikmati waktu demi membahagiakan dirinya sendiri.
Berikut tulisan ayah yang biasa dipanggil dengan nama panggilan Topan ini tentang istrinya tercinta, Pungky Prayitno yang awalnya ada di laman pribadinya..
Jiwo, ini bapak. Saat bapak menulis ini, ibu sedang berkemas, dia akan melakukan perjalanan ke luar kota, sendirian. Ini perjalanan ke tiga yang dia lakukan bulan ini. Bapak membiarkannya, meskipun tau, mengurus kamu tanpanya hitungan hari itu bukan hal yang mudah. Kenapa? Karena bagi bapak, membuatnya bahagia adalah membuat keluarga kita selalu bahagia. Tiga tahun lalu, bapak pernah kecolongan, ibu kena serangan Post Partum Depression. Depresi yang membuat ibu kamu kerap menangis dan menjerit tanpa alasan. Depresi yang nyaris menghancurkan keutuhan keluarga kita, andai saja Gusti tidak langsung ambil bagian. Kenapa bisa kecolongan? Karena dulu bapak membiarkan dia menjadi seorang ibu, tanpa mempersilakan dia menjadi dirinya sendiri. Ibu kamu itu senang plesiran, jalan jalan. Selain menulis, cara dia berbahagia adalah dengan naik kereta api, pergi jauh dan senang-senang sendirian. Bapak nggak ingin, kehadiran bapak dan kamu dalam hidupnya, membuat dia kehilangan cara-cara itu. Meskipun sudah jadi ibu, dia tetap berhak melakukan apa yang menurutnya menyenangkan. Bapak nggak mau, status pernikahan yang bapak kasih untuknya, membuat dia terkurung dan terkekang. Bagi bapak, pernikahan dan rumah tangga adalah kerja sama. Kerja sama untuk sama-sama bahagia. Kita bertiga itu satu tim, dalam rangka menyelesaikan misi seumur hidup, menjadi keluarga utuh dan mesra selamanya. Kalau akhirnya ibu terpaksa mengikat kakinya pada rumah tangga ini, tanpa bisa melakoni cara-cara bahagia yang dia suka, bapak akan merasa gagal menjadi pemimpin tim. Jadi selama keluyuran ibu nggak menganggu kondisi ekonomi keluarga kita, nggak juga membuat kamu kehilangan sosoknya, bapak akan memberi restu dengan senang hati. Dia boleh pergi kemanapun dia mau, melakukan apapun yang dia suka, dia bapak persilakan menempuh cara bahagia yang dia pilih. Ibu, juga kamu, adalah anggota tim yang merdeka. Jiwo, Dalam satu tahun, bapak punya jatah cuti 12 hari. Ditambah libur seminggu sekali, bapak punya waktu libur 60 hari dalam setahun. Itu karena bapak bekerja di kantor, dan kantor bapak nggak memperkerjakan karyawannya setiap hari. Di waktu libur itu, bapak bebas mau apa saja. Bapak bisa pergi main, tidur seharian sama Jiwo, atau utak atik mobil. Tapi beda dengan ibu. Menjadi istri dan ibu rumah tangga itu nggak ada cutinya. Kamu harus dijaga dan diurus 24 jam setiap harinya, seminggu penuh. Apalagi kalau salah satu dari kita sakit, ibu merangkap jadi dokter sekalian tukang pijat. Ibu jadi suster, jadi tukang bersih-bersih sendirian, jadi koki, jadi tukang cuci, jadi semuanya untuk kita. Jadi sesekali, bapak kasih dia cuti. Libur dan bebas dari urusan keluarga. Senang-senang dengan dirinya sendiri, kalau perlu bapak kasih sangu (ongkos -red) kalau bapak lagi ada rejeki lebih. Entah nongkrong di cafe sama teman-temannya, habiskan berjam-jam di salon, atau tamasya berhari-hari sendirian. Bapak percaya, kebahagiaan dia adalah kebahagiaan keluarga kita. Karena kalau salah satu anggota tim nggak bahagia, bagaimana bisa kita kerja sama menyelesaikan misi selamanya utuh dan mesra? Jiwo, Kamu jangan khawatir, kalau ibu lagi senang-senang sendirian, kamu sama bapak. Kita cuci mobil berdua sambil semprot-semprotan di halaman, kita ke Indomaret beli Thomas mumpung nggak ada yang cerewet larang-larang, kita mandi bareng yang lama, kita bakar sampah di belakang sambil kejar-kejar ayam, kita bikin jagung kukus pakai susu, kita nonton Cars berulang-ulang selagi tukang sinetron pergi jauh.
Kamu jangan takut, sesering apapun pergi, dia akan tetap menjadi ibu dalam keluarga ini. Tahun lalu, dia pernah dapat perjalanan gratis ke Bandung dan Lombok di waktu yang berdekatan. Kalau mau, dia bisa saja terbang ke Lombok langsung dari Bandung. Tapi ibu nggak ambil pilihan itu, dia nekat pulang ke Purwokerto dulu meskipun punya waktu nggak sampai 24 jam. Cium kamu dan memastikan semua keperluanmu masih dalam kondisi siap. Kenapa? Karena ibu adalah ibu. Jiwo, Bapak berjanji pada kalian untuk memberi kemerdekaan, merdeka memilih cara bahagia. Jadi kamu dan ibu juga harus janji sama bapak, bantu keluarga kita untuk utuh dan mesra selamanya. Hiduplah yang senang, Jiwo. Hiduplah yang senang.
Menurut Topan, jumlah hari libur libur seorang ibu tak dapat dihitung secara matematis seperti halnya pekerja kantoran karena hari-harinya yang sangat dinamis. Sehingga, sebagai suami sekaligus ayah, ia selalu berusaha memberikan izin kepada istri yang ingin menikmati waktu me time atau sekedar nongkrong dengan teman-temannya.
“Apalagi istri saya sangat menyadari tanggung jawabnya sebagai ibu dan istri,” tuturnya saat dihubungi oleh theAsianparents Indonesia.
Ia menyadari bahwa kebahagiaan istri adalah kebahagiaan keluarga. Karena ia pernah mengalami masa-masa sulit saat menemani istrinya yang terkena Post Partum Depression (PPD).
Topan juga berbagi pengalamannya menemani istri yang mengalami PPD di blognya agar para suami membaca dan membantu istrinya melewati masa-masa sulit paska melahirkan. Topan menyadari bahwa tak semua orang mengetahui ciri-ciri ibu yang mengalami PPD.
Keinginannya untuk berbagi pengalaman hadapi PPD tersebut juga ia tuliskan di laman pribadinya. Anda bisa membacanya di sini
“Menghadapi istri yang terkena PPD bisa dengan dua hal: Belajar dan Empati. Saya banyak belajar soal PPD dan tanya ke teman yang ambil studi psikologi. Tapi yang paling penting adalah empatinya,” bebernya.
Agar mampu hadapi semuanya, ia juga sempat curhat ke teman agar stresnya tidak menumpuk, “kalau nggak gitu, nggak akan sabar hadapi istri.
Kerja sama dan saling pengertian antar suami dan istri akan membuat rumah tangga bahagia. Jika ditanya seberapa pentingnya istri liburan demi menjaga kesehatan mentalnya, psikolog maupun penasehat pernikahan akan memberikan jawaban tegas, “Penting. Sangat penting!”
Tulisan ini awalnya termuat dalam laman pribadi yang ditulis bersama oleh pasangan suami istri Topan-Pungky yang sama-sama punya hobi dan profesi menulis. Di sana, Anda bisa menemukan cerita tentang kehidupan dan pemikiran mereka tentang segala sesuatu, terutama tentang anak mereka, Sujiwo Arkadievich.
Sila kunjungi blog mereka di www.sujiwo.com.
*Blog dan foto dikutip atas seizin penulis.
Baca juga:
Apakah Istri Anda Kelelahan? Kenali 9 Ciri Istri Butuh Piknik