Beberapa tahun ke belakang saya sering merasa ngeri saat membaca komentar atau postingan di sosial media yang sering kali bernada menghujat. Hingga timbul pertanyaan, di mana sikap empati mereka? Apakah memang sudah hilang?
Bahkan, di penghujung tahun 2018 kemarin, saat ada pemberitaan yang terkait dengan korban meninggalnya Tsunami di Banten, masih saja ada komentar bernada negatif yang dilayangkan untuk korban. Belum lagi dengan body shaming yang kerap dituliskan di kolom komentar akun sosial media.
Kenapa dewasa ini jari-jari mudah untuk menuliskan hujatan? Bukankah apa yang ditulis bisa menggambarkan isi kepala? Kondisi ini seakan memperlihatkan hilangnya sikap empati.
Sebagai orangtua, kondisi seperti ini membuat saya khawatir. Takut, jika anak saya tumbuh tanpa sikap empati. Takut, jika ke depannya anak saya memiliki perilaku yang serupa. Mudah melayangkan hujatan, meskipun hanya lewat sosial media. Apalagi jika mengingat anak-anak tumbuh di era digital.
Beberapa waktu lalu, saya membaca penjelasan Devi Sani, M.Psi, seorang psikolog anak yang mendirikan Rainbowcastle terkait dengan hal ini.
Sebagai psikolog anak sekaligus orangtua, ia merasa ikut bertanggung jawab mencari cara mencegah anak-anak tumbuh jadi netizen yang mudah memuliskan kalimat negatif. Dengan demikian anak bisa tumbuh dengan sikap empati yang baik.
Seperti yang Devi katakan bahwa orangtua memiliki peran besar agar anak bisa tumbuh menjadi netizen yang baik dan sopan. Dengan sikap empati yang dimiliki, anak bisa memposisikan dirinya lebih dulu menjadi orang lain sehingga bisa berpikir ulang atas apa yang ingin ia sampaikan.
Berikut 3 cara yang bisa dilakukan untuk mencegah anak menjadi netizen yang kerap menghujat seperti yang saya kutip dari akun sosial media
Melatih anak memiliki sikap empati #1: Menjadi role model
Berikan anak role model terbaik dalam berinteraksi di dunia nyata. Terdengar umum, tapi tanggung jawab orangtua-lah untuk memilih lingkungan terbaik untuk anaknya.
Melatih anak memiliki sikap empati #2: Membuat anak merasa aman
Kedua dan yang paling akar dan bisa dilakukan sejak calon netizen masih bayi adalah memupuk kelekatan yang aman.
Pastikan di dua tahun pertama, bayi merasa bahwa ia hidup di dunia yang peduli akan kebutuhannya dan “meladeni” tangisannya dengan memberi ketenangan. Bukan dunia yang “cuek” pada tangisannya. Ini adalah langkah awal membangun attachment yang aman dengan bayi.
Melatih anak memiliki sikap empati #3: Menempatkan diri pada posisi orang lain
Penutup, sesungguhnya kami merasa kasihan pada para netizen penghujat ini. Ada beberapa kemungkinan alasan mengapa mereka begitu.
Pertama yang mereka lakukan sebenarnya “a cry for help”. “Lihat aku nih, aku nyinyirin dia”. Mereka jadi senang jika ada yang memerhatikan meskipun perhatiannya dalam hal negatif.
Kedua, komen negatif ini bisa jadi kompensasi. Karena di dunia nyata mereka tidak pernah punya kesempatan mengutarakan amarah mereka, atau tidak ada yang peduli dengan perasaan marah mereka, jadinya mereka melampiaskan amarah mereka di dunia maya dengan cara yang negatif.
Ketiga, mereka bisa jadi memiliki masa kecil yang menyakitkan. Meskipun semua kita sebenarnya punya luka masa kecil tapi perlahan akan “sembuh” jika ada empati yang diberikan orang lain pada kita.
Empati adalah menempatkan diri pada posisi orang lain tanpa ikut terlalu “drama”. Disitulah awal kita akan merasa berhak menyakiti orang lain dan berhak TIDAK berempati dengan orang lain karena berpikir “Toh tidak ada yang berempati padaku, ngapain aku harus berempati pada orang lain?”.
Dengan 3 langkah yang telah dipaparkan psikolog Devi Sani, semoga kita semua bisa sama-sama belajar menumbuhkan sikap empati agar anak bisa menjadi netizen yang baik.