Dalam rangka hari Kesehatan Jiwa Sedunia atau World Mental Health Day yang diperingati setiap tanggal 10 Oktober, tak ada salahnya kita sama-sama belajar dan mengingat berapa petingnya menjaga kesehatan mental. Salah satunya dengan memiliki self awareness (kesadaran diri) yang baik dan dibangun sedini mungkin.
Sebab, seseorang yang memiliki kesadaran diri dinilai lebih percaya diri dan mudah meraih kesuksesan.
Sebelum membahasnya lebih lanjut, apakah Parents sudah paham tentang definisi dari kesadaran diri itu sendiri? Self awareness atau kesadaran diri sebenarnya bisa diartikan sebagai kemampuan mengenali diri sendiri, paham tentang kepribadian, termasuk kelemahan dan kekuatan diri sendiri.
“Bagaimana kita benar-benar memahami diri sendiri, mengetahui apa yang diinginkan dalam hidup ini, apa yang mau dilakukan. Mengetahui sebenarnya kita itu ingin menjadi orang seperti apa atau ingin menjadi seperti siapa,” kata dr. Sylvia Detri Elvira, SpKJ(K).
Artikel terkait : Awas, ini dampak negatif gadget bagi kesehatan mental anak!
Setelah memiliki kesadaran diri yang baik, barulah kita bisa memahami dunia luar, seperti memahami orang lain, bagaimana orang lain menerima, respons orang lain terhadap diri kita. Serta, perilaku dan respons kita terhadap mereka pada suatu saat.
Sayangnya, belum semua orang memiliki kesadaran diri yang baik, sehingga ia tidak dapat mengetahui apa kekuatan dan kelemahannya. Dari hal tersebut ternyata dapat memicu gangguan kesehatan mental seseorang, karena tidak mampu merawat dan menenangkan diri agar hidup sejahtera.
Tahapan membangun self awareness pada setiap orang
Berdasarkan teori Psychosocial, ada 8 fase perkembangan kepribadiaan, di antaranya :
- Bayi (Infant)
- Batita (Toddler)
- Usia sebelum sekolah (Pre-schooler)
- Anak usia sekolah (Grade-schooler)
- Remaja (Teenager)
- Dewasa muda (Young Adult)
- Usia dewasa menengah (Middle-age Adult)
- Dewasa tua (Older Adult)
Dari kedelapan fase tersebut, umumnya fase bayi hingga remaja menjadi fase penting yang harus diperhatikan. Hal ini dikarenakan pada saat itulah seseorang mulai belajar untuk mengenali dirinya sendiri dan membentuk identitas.
1. Fase Bayi
Fase pertama, yaitu ketika masih bayi (0-18 bulan), perkembangan anak dimulai dari diberi rasa kasih sayang, seperti disusui oleh ibu. Kemudian, anak juga mulai dikenalkan bahwa Bunda adalah ibunya, dia adalah anak Bunda, tapi terkadang di fase ini ibu dan anak masih terasa menjadi satu.
“Apabila anak melewati fase ini dengan optimal, maka ia akan tumbuh menjadi pribadi yang percaya orang lain dan punya harga diri baik. Namun, jika ia mendapat kekecewaan, ada kemungkinan dia akan tumbuh menjadi pribadi yang sulit percaya pada orang lain,” ujar Sylvia.
2. Fase Batita
Disebut dengan fase Autonomy vs Shame & Doubt. Sebab, di fase ini biasanya anak-anak sudah mulai berjalan dan berbicara, di mana dia juga akan merasa kagum pada dirinya sendiri karena bisa melakukannya, hal itulah yang dinamakan Autonomy.
“Anak-anak yang sedang belajar jalan pasti akan sering terjatuh, untuk orangtua supportive pasti akan bilang ‘nggak apa-apa, bangun lagi, kalau belajar jalan memang gitu, nak‘. Tapi, kalau tidak supportive, justru akan menyalahkan anak ‘jalan aja susah banget sih’, itu yang membuat anak akhirnya malu dan ragu,” lanjut Sylvia.
Artikel terkait : 5 hal ini merupakan gejala gangguan mental pada anak-anak
3. Fase usia sebelum sekolah
Di usia 3-6 tahun, anak-anak sudah mulai ada super ego, mulai ada rasa inisiatif dan rasa bersalah (Initiative vs Guilt). Pada fase inilah orangtua mulai menanamkan nilai untuk tidak mengambil barang milik orang lain, meskipun terlihat sangat bagus.
“Anak mulai memasukkan nilai-nilai itu ke dalam dirinya. Jadi, nanti kalau tidak ada orangtuanya, dia tidak pernah mengambil, karena sudah punya superego, sehingga kalau mau mengambil pasti ada guilty feeling,” ungkap Sylvia dari Departemen Medik Ilmu Kedokteran Jiwa, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.
4. Fase anak usia sekolah
Disebut sebagai fase Industry vs Inferiority. Pada fase ini, biasanya orangtua mulai mendaftarkan anak-anaknya untuk mengikuti kursus atau les tertentu, agar suatu hari diharapkan sang anak memiliki kemampuan lebih.
“Kalau anak itu punya prestasi, dia akan menjadi percaya diri, maka fase industry nya tercapai. Tapi, kalau dia mendapat juara 3, terus bilang ke ibunya dan sang ibu bilang ‘kenapa ga juara 1?‘, di sana anak merasa gagal, ia akan menjadi orang yang rendah diri dan tidak percaya diri,” imbuh Sylvia.
5. Fase remaja
Kemudian memasuki fase remaja, di mana ini menjadi fase yang sangat penting karena waktunya pembentukan identitas anak. Namun, identitas anak juga tetap dipengaruhi oleh perjalanan dia di fase-fase sebelumnya.
Saat remaja, anak cenderung lebih nyaman berada dengan teman-teman dekatnya daripada orangtua atau keluarganya sendiri. Sebab, sering kali orangtua dianggap terlalu mengekang apa yang ingin anak inginkan.
“Sering kali orangtua melarang anak-anaknya dalam berbagai hal, seperti tidak boleh ke pesta, menginap di rumah teman atau bersama teman-temannya, jadi dia merasa sebal. Sedangkan saat bersama temannya, dia eksis,” jelas Sylvia.
“Fase ini juga sering kali yang membuat anak tergelincir, gangguan jiwa juga mulai pada fase ini. Sebab, pembentukan identitas sangat amat penting,” tambahnya saat ditemui di Seminar Umum Prevent Suicide by Loving Yourself.
Imbauan untuk Parents dalam membantu anak membangun self awareness
Oleh karena itu, orangtua sangat berperan penting untuk mengetahui apa saja yang dibutuhkan anak dari fase ke fase untuk membangun kesadaran diri mereka. Sehingga, jika anak memiliki kesadaran diri atau self awareness, berarti dia juga memiliki konsep diri yang matang.
“Kemudian, anak akan memiliki citra diri yang baik, misalnya saya ini cantik, rapi. Lalu, punya identitas diri, seperti saya ini siapa, mengetahui tujuannya ke mana, sudah tahu cita-citanya menjadi apa. Serta, persepsi diri, seperti di dunia ini saya orang yang happy, gembira, atau tertutup, menyadari tentang diri sendiri,” ucap Sylvia.
Sembari membangun kesadaran diri, orangtua juga perlu mengajarkan anak untuk berinteraksi. Misalnya, interaksi secara hangat, membacakan buku cerita dan diskusi.
Setelah terbiasa berinteraksi dengan orangtua di rumah, mulailah anak untuk belanjar interaksi dengan lingkungannya, seperti teman-temannya di sekolah. Biarkan dia membiasakan diri untuk menjalin komunikasi yang nyaman dengan teman-temannya.
Dengan demikian, sang anak lebih memiliki self awareness yang baik, di mana ini akan membuatnya percaya diri, sehingga akan menjaga, merawat dan memerbaiki diri sendiri. Kalau sudah begitu, gangguan kesehatan mental pun dapat dihindari.
Baca juga :
Demi Kesehatan Mental Anak, Jangan Lakukan 7 Hal ini Pada Mereka