Dulu awal menikah, permintaan saya kepada suami hanya tidak melarang untuk bekerja. Dan suamiku pun membiarkan saya tetap bekerja dengan syarat, jika dalam jangka waktu 1 tahun belum mempunyai anak, saya pun harus mengalah untuk berhenti bekerja.
Alhamdulillah setelah 3 bulan kami menikah, kami diberi kepercayaan oleh Allah SWT untuk mengandung anak pertama. Kami semua menyambut hal tersebut dengan penuh kebahagiaan, apalagi ibu, ayah dan adikku, mereka sangat bahagia karena di keluargaku ini adalah cucu dan keponakan pertamanya.
Proses kehamilan saya lewati dengan baik, hingga anak pertamaku lahir. Ketika itu saya pun masih terus bekerja karena saat itu saya berpikir, “Saya harus lebih rajin bekerja demi masa depan anakku”.
Hamil Anak Ke-2
Setelah anak pertamaku berusia 20 bulan, ternyata Allah SWT memberiku kepercayaan lagi mengandung anak kedua, Alhamdulillah. Saat itu perasaan saya dan suami campur aduk, antara bahagia dan nggak tega. Ya, maklum saya mengingat anak pertama kami masih terlalu kecil sehingga masih butuh banyak perhatian, tetapi langsung punya adik.
Saat perasaan dan pikiran kami campur aduk, bahkan saya sempat berpikir untung menggugurkan kandunganku (naudzubillah). Tapi alhamdulillah kami bisa melewati semua perasaan itu sampai akhirnya anak keduaku pun lahir dengan selamat.
Setelah saya memiliki 2 orang anak laki-laki, saya masih terus mengikuti egoku untuk tetap bekerja.
Sampai suatu saat anak pertamaku sakit dan dia harus dirawat di rumah sakit. Saat itu saya dan suami menjaga kakang (panggilan untuk anak pertamaku) di rumah sakit, sedangkan dede (panggilan untuk anak kedua) di rumah bersama ibuku.
Anak Kedua Menyusul Sakit
Hari kedua kakang dirawat, tiba-tiba ibu memberi kabar kalau dede demam dan muntah-muntah. Paginya saya langsung menyuruh suamiku untuk pulang. Malam harinya suamiku melaporkan kalau kalau dede nggak mau makan sama sekali. Saat minum pun akan dimuntahkan lagi. Akhirnya saya pulang ke rumah dan ibu yang menjaga kakang di rumah sakit.
Besok paginya saya dan suami membawa dede ke rumah sakit karena dia lemas dan sesak napas. Dokter memberikan diagnosis saat itu anakku sakit “BronchoPneumoni” atau radang paru. Dan karena setelah di nebulizer anakku masih sesak napas, dokter menyarankan untuk rawat inap.
Kamipun memutuskan untuk di rawat inap di rumah sakit lain. Qadarullah saat itu IGD rumah sakit negeri itu sangat penuh dan tidak ada DSA yang dinas karena memang saat itu hari minggu.
Kami pasrah menunggu ruangan dan DSA visit. Disaat kami memunggu, kondisi dede semakin drop, saturasi oksigen sudah di bawah 90. Karena kondisi dede yang sudah kian memburuk, ia harus dirawat diruang NICU karena harus memakai alat bantu napas.
Jujur saja, saat itu saya hilang arah, dan di rumah sakit tersebut ternyata tidak ada ruangan. Setelah telepin sana sini akhirnya kami dapat 1 ruangan di rumah sakit swasta.
Kami lansung membawa dede ke rumah sakit tersebut dengan kondisi dede sudah tidak sadar dan badan sudah dingin, saturasi oksigen semakin turun. Saat kami tiba, perawat lansung meng-intubasi (memasang alat bantu napas).
Memutuskan Resign Setelah Anak Meninggal
Setelah dede masuk ruangan, saya dan suamiku pergi mandi, karena dari pagi buta sampai malam itu kami belum mandi ataupun makan (rasanya hilang segala nafsu saat itu).
Setelah kami selesai bersih-bersih, kami mendapatkan telpon dari ruangan NICU agar segera datang ke ruangan. Saat saya datang, hancur hatiku melihat anakku sedang di CPR, seketika jantung serasa ikut berhenti bernapas.
Qadarullah, setelah kurang lebih 10 menit di CPR, Allah berkehendak lain. Ternyata Allah lebih sayang sama dede. Dede dipanggil pulang begitu cepat.
Rasa bersalah dalam diriku tak kunjung hilang. Saya menyalahkan diri sendiri, “Kenapa sih saya gak bisa jaga anakku? Kenapa harus dia yang sakit dan pulang duluan?”.
Tapi ini semua memang sudah ketentuan-Nya dan akupun harus ikhlas.
Sejak kepergian dede, saya meminta cuti selama 2 bulan karena saya tidak sanggup meninggalkan kakang.
Selama cuti dan menemani kakang di rumah, saya terus berpikir “Saya bekerja untuk mencukupi anakku, tapi juga saya juga mengorbankan anakku “.
Sampai akhirnya masa cutiku habis dan saya kembali bekerja selama 1 tahun dan memutuskan untuk KELUAR DARI COMFORT ZONE” alias resign. Saya ingin fokus untuk menjaga, merawat, mendidik kakang dengan tenaga dan diriku sendiri.
Keputusan resign setelah anak meninggal memang sudah bulat, dengan segala konsekuensi. Saya percaya, apapu keputusan yang dibuat seorang ibu, tentu saja telah melewati pertimbangan yang panjang.
Ditulis oleh Tica Pramesty, VIPP Member theAsianpartent ID
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.