Proses persalinan normal adalah dambaan semua calon ibu, proses alami ini dianggap bisa mengangkat derajat seorang ibu menjadi ibu yang sempurna. Ditambah lagi, persalinan memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh proses persalinan secara cesar.
Maka dari itu, tidak heran semua calon ibu ingin melahirkan anaknya lewat proses persalinan normal. Namun ternyata, tidak semua persalinan normal berjalan mulus tanpa kendala. Bahkan sebuah persalinan normal sekalipun bisa membekaskan trauma pada sang ibu.
Contohnya adalah kisah seorang ibu di India yang bernama Meenakshi Iyer. Dia menceritakan kisah proses persalinan normal yang ia jalani, dan jauh dari kata ‘normal’ maupun alami.
Ibu yang bekerja di Hindustan Times ini, membagikan kisahnya lewat kanal India Birth Project. Sebagai bahan renungan, dan dorongan kepada semua ibu bahwa mereka memiliki hak, untuk dipenuhi permintaannya oleh dokter saat sedang menjalani proses persalinan normal.
9 bulan yang kujalani terasa seperti angin yang cepat sekali berlalu, (tentu saja kita tidak menghitung bulan-bulan di trimester pertama, saat tubuh beradaptasi akan kehadiran manusia kecil di rahim. Baca; mual dan muntah di pagi hari, heartburn, kegelisahan parah, dan perubahan hormon yang begitu intens). Aku benar-benar merasa senang, karena bisa menjalani semua keinginanku hingga masa akhir kehamilan. Tubuhku sangat fit (terima kasih yoga), dan aku bisa menjalani hidup seperti biasanya. Singkatnya, selain perut yang semakin bertambah besar dan rasa lelah yang parah hingga akhir kehamilan, aku tidak mengalami banyak masalah kesehatan. Sudah berlalu 5 bulan sejak aku melahirkan putri kecilku yang cantik. Akan tetapi, aku belum sepenuhnya pulih dari trauma pasca melahirkan yang kualami. Aku masih ingat dengan jelas, malam tanggal 15 Desember 2016, sehari sebelum putriku lahir. Aku dan suami baru saja selesai makan malam, dan kami sedang mengobrol tentang apa saja yang kami lakukan di hari itu. Aku merasakan tendangan hebat pada pukul 21.30. Namun, aku mengabaikannya karena menganggapnya sebagai hal yang normal. Apalagi kunjungan kami ke dokter pagi itu mengkonfirmasi bahwa bayi kami tidak akan lahir dalam waktu cepat. Dia akan lahir dalam waktu 10 hari. Seiring malam yang semakin larut, aku merasakan tendangan di perutku semakin sering. Karena aku kesulitan untuk tidur, aku dan suami terus mengobrol hingga tengah malam. Pada pukul setengah tiga pagi, mata kami sudah mengatup dan tidak mampu lagi memahami apa yang dikatakan oleh pasangan kami. Malam itu, aku bermimpi air ketubanku pecah di dalam lift. Aku bangun dengan terkejut, dengan segera saya menyadari bahwa mimpi itu berubah menjadi nyata. Pada pukul 03.45 pagi, tempat tidurku telah dipenuhi oleh air ketuban. Dengan perlahan aku bangun dan pergi ke kamar mandi untuk memeriksa. Saat duduk di toilet, aku merasakan ada aliran yang memancar kuat dari tubuhku, dengan lapisan darah dan lendir. Saya tahu ini adalah waktunya untuk pergi ke rumah sakit. Aku tahu bayiku akan segera lahir. Sesampainya di rumah sakit, aku disiapkan untuk menjalani persalinan. Aku mulai mempraktekkan teknik pernapasan yang kupelajari di kelas yoga kehamilan. Ketika kontraksinya bertambah hebat, aku menggelar matras yoga dan mempraktekkan posisi unta. Aku sangat ingin melakukan proses persalinan normal. Sepanjang masa kehamilan, aku membaca cerita mengerikan dari para ibu yang mengalami kesulitan sembuh dari operase cesar. Saya membaca bagaimana rumah sakit di India, memaksa para ibu menjalani bedah cesar demi uang. Aku juga membaca tentang para ibu yang tidak pernah bisa menurunkan berat badannya, setelah menjalani persalinan cesar. Saya merasa proses persalinan normal adalah satu-satunya jalan agar aku bisa menjalani pengalaman paska melahirkan yang menyenangkan. Akan tetapi, tidak ada yang normal jika menyangkut proses persalinan normal di India. Jam delapan pagi, aku dibawa ke ruang bersalin. Aku sudah mengalami pembukaan sebesar 3 sentimeter dan merasakan sakit yang luar biasa. Saat itu, aku sudah menghabiskan 4 jam di rumah sakit. Disuntik dan diambil darah untuk berbagai tes, serta berada dalam pengaruh suntikan enema. Aku ingat memukulkan tangan pada besi di pembaringan ketika rasa sakitnya semakin bertambah parah. Aku juga ingat bahwa kaki saya menendang-nendang dengan sangat keras. Berharap bahwa rasa sakit yang aku rasakan di sekujur tubuh bisa berkurang. Akan tetapi, semuanya sia-sia. Semua bertambah buruk ketika dokter memberikan dosis pitocin untuk membantu proses persalinan, karena posisi bayiku tidak turun ke jalan lahir. Kontraksi bertambah hebat dalam hitungan menit. Namun kini aku mengalami rasa sakit tingkat 10. Aku menjerit dan berteriak, namun para perawat yang hadir sama sekali tidak bersimpati. Suamiku tidak diijinkan berada di dekatku. Sehingga dia hanya bisa melihat semua kesakitanku dari jauh. Dia berulangkali meminta untuk diijinkan menemaniku, namun tidak ada yang mendengarkannya. Dia hanya ingin memegang tanganku dan memberitahu bahwa aku akan baik-baik saja. Bahkan sebenarnya, dia telah diminta untuk meninggalkan ruang bersalin beberapa kali. Semua ini terjadi saat aku terbaring di sana, kesakitan, menangis, dan merasa sama sekali tak berdaya. Menjelang pukul setengah sepuluh pagi, tubuhku mulai melemah. Aku bisa melihat bahwa harapan untuk bisa menjalani proses persalinan normal tanpa intervensi, musnah di depan mataku. Karena dosis pitocin yang terlalu tinggi, tubuhku tidak bisa melakukan persalinan secara alami. Rasa sakit yang tak mampu lagi kutanggung, membuat aku meminta untuk disuntik epidural. Setelah beberapa menit tanpa rasa sakit dan mati rasa di tubuhku, aku mengalami kesakitan lagi. Kali ini, saya sudah mengalami pembukaan hingga 8 sentimeter. Akan tetapi, bayiku masih belum turun juga. Aku kembali diberikan dosis besar pitocin dan harus disuntik epidural lagi. Pada jam 11.15 siang, dokter mengumumkan bahwa aku mulai bisa mendorong. Tetapi, aku tidak bisa melakukannya karena tubuhku mati rasa dari pinggang ke bawah. Aku mulai mendorong, seperti melempar panah di kegelapan. Pada satu titik, dokter anestesi-yang beratnya mencapai 100 Kg- duduk di atas perutku untuk memberi tekanan. Aku terus mendorong, tanpa instruksi yang jelas. Akhirnya, pada jam 11.39 siang, aku mendengar suara tangisan yang samar. Saya menutup mata sebentar, dan dokter mengatakan dia akan menjahitku sekarang. Dokter harus membuat sayatan episiotomi agar putriku bisa keluar. Padahal aku telah berdiskusi dengan dokter pada kunjungan rutinku selama hamil, bahwa saya tidak mau episiotomi. Tetapi, aku diberitahu bahwa hal tersebut adalah prosedur standar di India. Saya berharap bahwa saya bisa memprotes lebih keras.
Artikel Terkait: Cara Menghindari Episiotomi, Sayatan Antara Vagina dan Anus Saat Melahirkan
Karena aku juga meminta untuk melakukan skin-to-skin-contact, bayiku ditaruh di dadaku selama 30 detik sebelum mereka mengambilnya untuk dimandikan.
Ibu Meenakshi ingin menegaskan bahwa, keinginan dan hak seorang ibu dalam menentukan proses persalinan normal yang ia jalani, seharusnya dihormati. Meski keadaan medis membuat keinginan itu tidak bisa dipenuhi, semestinya petugas medis tidak menjadikannya sebagai gurauan.
Kondisi psikologis ibu melahirkan juga sudah seharusnya diperhatikan, agar proses persalinan yang berat bisa ia jalani dengan lebih mudah. Seperti mengijinkan suami menemani, atau membiarkan bayi berada lebih lama di pelukan ibu setelah lahir.
Baca juga:
Efek Obat Bius Habis Saat Operasi Caesar Berlangsung, Ibu ini Alami Trauma Berat