Kemarin, sebuah video yang memperlihatkan lima siswa melakukan pelecehan seksual menjadi viral. Ada yang melihat videonya, atau setidaknya membaca beritanya seperti saya? Mengikuti berita seperti ini lantas membuat saya bertanya-tanya, mengapa ada anak lelaki bisa melakukan tindakan senonoh seperti itu? Bukankah idealnya sosok pria sejati bisa menghargai perempuan?
Perundungan yang dilakukan terhadap seorang siswi SMA di Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara ini dilakukan oleh teman-temannya sendiri.
Dalam video terlihat seorang perempuan dalam posisi terlentang dengan kedua tangan serta kaki dipegang temannya. Tidak hanya bullying, pelaku juga melakukan tindak pelecehan seksual. Mirisnya lagi, pelaku melakukannya sambil tertawa-tawa dan mengatakan alasannya tidak hanya bercanda saat jam pelajaran kosong dan tidak ada guru.
Membaca beritanya, saya marah, kesal, sedih, sekaligus khawatir.
Sebagai perempuan, saya geram dan marah saat melihat ada perempuan yang mendapatkan perlakukan yang tidak semestinya, apalagi sampai mendapatkan pelecehan seksual seperti korban.
Sedih. Karena saya tidak sanggup membayangkan bagaimana rasa trauma yang tersisa dan harus dirasakan oleh korban. Termasuk perasaan orangtuanya saat mengetahui anak perempuan yang disayang dan dijaga mati-matian, malah mendapatkan tindakan tak pantas dari teman-temannya.
Sebagai seorang ibu yang memiliki seorang anak lelaki saya pun jadi khawatir dan kemudian mencoba untuk berkaca.
Apakah sebagai orangtua, saya ataupun suami sudah memberikan bekal cukup untuk anak saya agar ia tumbuh menjadi sosok lelaki yang bisa menghargai perempuan? Tidak merendahkan perempuan, karena toh, posisinya memang sama dengan laki-laki?
Saat ia tumbuh besar dan kelak menjadi seorang pria sejati, jadi suami yang mampu bertanggung jawab dan melindungi keluarganya?
Kegelisahan saya ini pun akhirnya ‘membawa’ saya untuk mencari tahu, apa yang perlu orangtua lakukan untuk membantu putranya tumbuh menjadi pria sejati.
Membantu anak tumbuh jadi pria sejati
Agstried Elisabeth Piether, seorang psikolog anak dan pendidikan yang memiliki minat yang besar terhadap pola pengasuhan pada usia dini dan kaitannya terhadap keberhasilan anak di kehidupan pun membantu saya memberikan ‘pencerahan’.
Menurut psikolog dari Rumah Dandelion ini, ada 5 hal yang perlu diingat dan dilakukan oleh orangtua untuk membantu putranya untuk memiliki respek pada perempuan.
“Ya memang benar, menanamkan kepada anak lelaki untuk bisa respek perempuan memang perlu dimulai sejak dini. May we teach our sons to do so….”
1. Stop bilang: “Anak lelaki tidak boleh menangis, seperti perempuan saja!”
Apa salahnya menangis? Bukankah menangis merupakan salah satu bentuk luapan emosi yang bisa diperlihatkan oleh siapa saja? Artinya, wajar saja jika menangis, termasuk jika anak lelaki yang melakukannya.
Hal inilah yang diingatkan oleh Agstried, menurutnya hal yang paling mendasar, sebenarnya orangtua perlu memberikan kesempatan anak laki-laki untuk menangis.
“Mengijinkan anak laki-laki menangis justru bisa membuat mereka lebih jujur dengan emosi dan kondisi dirinya. Dan membuat mereka tidak mengaitkan menangis dengan kelemahan, jadinya mereka bisa lebih empati dengan lingkungan.”
2. Ingin anak tumbuh jadi pria sejati, sudahkah orangtua menjadi role model yang baik bagi anak?
“Yang tidak kalah penting dan utama, tentu saja bagaimana orangtuanya bersikap. Ayah respecting ibu. Di rumah tidak ada pembagian peran karena gender. Ibu memasak bukan karena ibu perempuan, tapi karena ibu yang bisa. Kalau ayah bisa memasak, ya ayah yang memasak.”
“Dan tidak menggunakan kata perempuan sebagai ejekan, misalnya dengan menggunakan kalimat, ‘Ih masa gitu aja nggak bisa, seperti perempuan aja, atau kalimat seperti ‘anak perempuan saja bisa melakukannya, masa kamu nggak bisa?'”.
3. Membantu anak jadi pria sejati, jangan pernah mengkotak-kotakkan
“Intinya sih, let him be him. Janganlah kita orangtuanya yang mengkotakkan dunianya, memisahkan jadi yang ini buat cowok, dan itu buat cewek. Sebagai contoh, dari pemilihan warna, mainan, buku, cita-cita. Semuanya itu harusnya nggak ada bedanya.
Terus terang saja, saya pun paling gemes sama orang yang menolak kasih benda pink apapun ke anak cowoknya. Alasannya, takut jadi kayak perempuan.
Padahal, warna itu netral. Kita saja yang suka memberi makna sendiri. Sayangnya, memang kondisi ini masih ada. Bahkan saya pernah bertemu dengan orangtua yang tidak mau anaknya minum susu kotak rasa stroberi karena kemasannya pink.”
Artikel terkait: “Aku Ingin Membesarkan Anak Lelakiku Seperti Anak Perempuan”
4. Beri contoh sosok perempuan yang kuat dan mandiri
“Coba sambil ngobrol sama anak, berikan contoh juga beberapa sosok yang dikenal ‘strong independent woman‘. Kasih lihat ke anak bahwa superhero itu nggak harus laki-laki, atlet nggak harus laki-laki. Scientist, engineer, atau profesi lainnya juga banyak dilakukan oleh perempuan. Dari sini, anak juga bisa belajar kalau perempuan punya peluang, kesempatan, dan mampu.”
5. Ajarkan untuk menerima kata tidak atau penolakan
“Ini penting, bagaimana kita, sebagai orangtua perlu mengajarkan anak untuk bisa menerima kata tidak. Ini yang agak susah. Terkadang, nih, terutama anak-anak di usia 3-4 tahun masih mau cium atau peluk temannya. Kalau temannya bilang tidak, ya tidak. Jangan yang menolak dibujuk untuk jadi iya.
Termasuk saat kita orangtuanya yang ingin mencium dan memeluk anak. Sangat penting untuk mengajarkan anak supaya paham tidak adalah tidak. Kalau kita mau cium, ya kita bilang saja dulu, kalau mama cium, boleh tidak, kak?”.
Dari sini sebenarnya juga bisa mengajarkan pada anak, bahwa otoritas tubuhnya adalah dirinya sendiri, dan ini berlaku bagi anak lelaki atau pun perempuan.
Terakhir, Agstried Elisabeth Piether juga mengingatkan, selain lima hal di atas, masalah pembentukan karakter ‘keras’ sebenarnya ini akan didukung dan dipengaruhi oleh lingkungan.
“Misalnya, kalau anak laki-laki berantem banyak dibilangnya boys will be boys, saat kompetisi kalah lalu marah juga dianggap demikian. Tapi kalau perempuan, berapi-api saat kompetisi dianggap tidak pantas atau dianggap perempuan terlalu ambisius,” pungkasnya.
***
Semoga informasi ini bermanfaat.
Baca juga:
5 Pelajaran Hidup yang Harus Diajarkan Ayah pada Jagoan Kecilnya