Rasanya bahagia sekali melihat hasil tes kehamilan bergaris dua. Apalagi ini adalah kehamilan pertamaku. Tetapi hamil di masa pandemi COVID-19 membuatku harus ekstra menjaga kesehatan. Tentunya aku selalu menerapkan prokes dengan ketat. Hingga pada bulan Desember 2020, tepat ketika kandunganku masih berusia 2 bulan, kami harus menghadapinya bersamaan. Aku positif COVID-19 saat hamil.
Bisa dibilang aku memang cukup rentan mengalami positif COVID-19 saat hamil suamiku bekerja sebagai perawat di salah satu RS swasta di kotaku. Tugas ini pun sudah ia emban sebelum aku dinyatakan hamil. Suami ditugaskan di bangsal isolasi COVID-19 sebelum aku hamil. Ada kemungkinan kami terpapar virus itu dari salah satu pasien yang dirawatnya.
Suatu pagi di bulan Desember 2020, aku merasa sangat mual dan lemas. Meski memang sedang mual-muntah karena awal kehamilan, tapi aku benar-benar tidak bisa menahan saat itu. Akhirnya suami membawaku ke IGD terdekat.
Seperti biasa, karena sedang pandemi, aku menjalani rapid test antibody dahulu sebelum mendapatkan penanganan. Badanku semakin lemas setelah tahu ternyata hasilnya positif. Akhirnya aku dipulangkan tanpa mendapatkan penanganan karena RS tersebut tidak memiliki APD yang memadai.
Aku dan suami kemudian menuju RS tempat suamiku bekerja. Kami langsung menjalani tes PCR. Waktu itu hasilnya baru bisa keluar dalam waktu 2 hari. Kasus positif COVID-19 sedang marak-maraknya membuat bangsal isolasi penuh. Karena positif COVID-19 saat hamil, aku terpaksa dirawat di rumah.
Dokter memberikan infus, sejumlah obat dan vitamin. Isolasi mandiri pun dimulai. Ketika hasil tes PCR keluar, kami berdua dinyatakan positif. Tentu saja kemungkinannya sangat besar suamiku juga positif karena kami selalu berdekatan.
Positif COVID-19 Saat Hamil, Penuh Tantangan
Akhirnya suamiku juga diberikan cuti 14 hari untuk isolasi mandiri. Kami pun mendapatkan surat keterangan menjalani isoman dari Puskesmas.
Positif COVID-19 saat hamil membuatku harus menjalani masa-masa ngidam lebih berat. Aku merasa mual setiap saat. Hampir semua makanan yang kukonsumsi kembali kumuntahkan. Akhirnya aku memillih lebih banyak makan buah, susu dan biskuit yang tidak terlalu membuat mual. Aku juga mengalami anosmia dan kehilangan fungsi indera perasa.
Asupan makanan yang kurang dan kondisi mual yang berlebihan membuat berat badanku turun. Dalam waktu seminggu, aku kehilangan berat 2 kg dan itu terus berlanjut. Aku baru berani memeriksakan kandungan setelah dinyatakan negatif.
Menyedihkan, oleh dokter, aku divonis Kekurangan Energi Kronis (KEK). Untungnya janinku tetap dalam kondisi sehat.
Untuk menjaga kehamilan, aku harus lebih banyak mendapat asupan gizi. Puskesmas memberiku BMT (Biskuit Makanan Tambahan) khusus ibu hamil. Aku harus menghabiskan 1 karton biskuit tersebut setiap bulan. Selain itu aku juga usahakan tetap makan meskipun kemudian kumuntahkan kembali.
Kehilangan 9 Kg di Trimester Pertama
Pada trimester pertama yang cukup berat itu, aku kehilangan total hampir 9 kg berat badan. Sedih sekali rasanya mendapati kondisi badan yang kurus padahal sedang mengandung. Tentu saja kekhawatiran akan keselamatan janinku selalu menghantui.
Aku mengalami HEG (Hiperemesis Gravidarum) sampai akhir trimester 2. Ketika kondisi positif COVID-19 saat hamil sudah berlalu, aku masih mendapatkan bonus parosmia. Beberapa bau menyengat seperti bau parfum, bawang, dan sabun membuatku mual. Karena berat badanku yang tidak kunjung naik, aku harus menjalani rawat inap.
Tentu saja aku juga mengalami asam lambung naik karena mual terus-menerus. Aku diberikan obat anti mual melalui infus karena obat minum sudah tidak mempan mengatasi mualku. Selama 2 malam berada di RS, kondisiku sudah cukup membaik. Aku diperbolehkan pulang dan bed rest di rumah.
Di usia kehamilan 28 minggu, aku sudah mulai bisa makan lebih banyak jenis makanan. Aku harus mengonsumsi makanan yang banyak mengandung karbohidrat dan protein untuk menaikkan berat badan dan meningkatkan energi. Daging ayam, bebek, ikan, daging sapi, keju dan es krim menjadi menu sehari-hari. Tenagaku perlahan mulai kembali. Hal ini aku manfaatkan untuk jalan pagi dan sesekali yoga sambil melatih napas.
Pada saat ANC (Antenatal Care) di usia kehamilan 36 minggu, dokter mengatakan perkiraan berat bayiku masih kurang. Saat itu dokter bilang beratnya baru sekira 2,3 kg. Paling tidak bayiku harus di atas 2,5 kg agar tidak masuk BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah) dan berisiko tinggi.
Parosmia belum juga hilang, aku tidak bisa makan sesuatu yang mengandung bawang, karena itu aku harus memasak sendiri makananku. Untung saja suamiku sangat sabar dan telaten membantuku menyiapkan makanan. Dia juga sering memasak untukku.
Mendekati HPL, aku berhasil menaikkan berat badan walaupun hasilnya hanya kembali sama seperti saat aku belum hamil, yaitu 45 kg. aku sangat bersyukur di pemeriksaan terakhir dengan dokter kandungan, taksiran berat bayiku sudah 2,6 kg.
Untuk mempersiapkan persalinan, aku mulai rajin power walk, yoga, bermain birthing ball, dan melatih napas. Aku tahu mungkin sudah agak terlambat, tapi aku tetap berusaha karena ingin bayiku lahir dengan lancar. Akhirnya pada usia kandungan 40 + 1 hari, bayiku lahir selamat dan sehat dengan berat 2,8 kg.
Bahagianya diri ini karena aku berhasil lulus dari KEK. Kini aku bisa merawat bayiku yang sudah berusia 1 bulan lebih. Aku, suami dan dedek bayi berhasil melalui cobaan COVID-19.
Harapanku, semoga teman-teman ibu hamil di manapun kalian berada juga bisa melalui segala cobaan selama kehamilan dengan baik dan melahirkan dengan lancar. Terima kasih sudah mau membaca cerita pengalamanku positif COVID-19 saat hamil. Semoga bermanfaat, ya.