Masyarakat Aceh terkenal sangat religius, dan memiliki budaya adat yang identik dengan Islam. Kehidupan budaya adat Aceh dengan Islam tidak dapat dipisahkan. Harmonisasi antara adat dan Islam ini berkembang dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Salah satu tradisi adat masyarakat Aceh yang masih dilakukan hingga kini adalah Tradisi Peusijuek.
Apa Itu Tradisi Peusijuek
Tradisi ini dilakukan pada hampir semua kegiatan adat dalam kehidupan masyarakat di Aceh. Misalnya ketika memulai sebuah usaha, menyelesaikan persengketaan, terlepas atau selesai dari musibah, menempati rumah baru, merayakan kelulusan, memberangkatkan dan menyambut kedatangan haji, kembalinya keluarga dari perantauan dan masih banyak lagi.
Pada kalangan masyarakat pedesaan di Aceh, peusijuek merupakan prosesi adat yang cukup biasa dilakukan bahkan untuk hal-hal yang kecil sekalipun misalnya ketika membeli kendaraan baru atau ketika hendak menabur benih padi di sawah. Sementara bagi masyarakat perkotaan yang lebih modern tradisi ini hanya dilakukan dalam kegiatan-kegiatan adat saja misalnya dalam prosesi adat perkawinan.
Berikut penjelasan lebih menyeluruh mengenai sejarah, filosofi dan tata cara prosesi tradisi peusijuek. Yuk, sama-sama kita simak di bawah ini.
Sejarah
Melansir dari Bobo.id, Awal dari tradisi ini adalah dimulai ketika Aceh menerima ajaran islam pada abad ke-7 oleh para pedagang dari Arab. Ketika proses pengenalan agama islam yang damai dan tanpa penaklukan, terjadilah pembauran suatu budaya, yaitu islam dengan budaya masyarakat Aceh. Ini menghasilkan suatu budaya baru, yaitu peusijuek.
Sebenarnya peusijuek ini sudah ada sebelum penyebaran agama islam di Aceh. Pada saat itu upacara peusijuk yang dilaksanakan masih menggunakan mantra atau doa-doa tertentu. Namun semenjak masuknya agama Islam di Aceh, tradisi tersebut kemudian diubah dengan memasukan unsur keislaman didalamnya seperti doa-doa keselamatan, shalawat, doa-doa dalam ajaran Islam lainnya.
Walaupun begitu prosesi pelakasanaan Peusijuek ini masih tetap dipertahankan hingga seperti bentuk yang sekarang. Pelaksanaannya pun masih dilakukan sampai sekarang baik oleh perorangan maupun berkelompok untuk mengucapkan rasa syukur pada Tuhan yang Maha Esa.
Filosofi
Kata “Peusijuek” sendiri diambil dari kata “sijue’”, yang dalam bahasa Aceh berarti “dingin”. Sehingga dapat juga diartikan mendinginkan atau menyejukan. Kata ini mengandung makna bahwa dengan mengadakan peusijuek atau menepung tawari diharapkan akan memperoleh berkat, selamat atau akan berada dalam keadaan baik.
Mengutip dari Situs Universitas Abulyatama, dalam budaya masyarakat Aceh, tradisi Peusijuek pada dasarnya difungsikan untuk memohon keselamatan, ketentraman, dan kebahagiaan dalam kehidupan.
Namun fungsi peusijeuk ini juga dibagi menjadi beberapa jenis, di antaranya:
- Peusijuek meulangga (saat perselisihan),
- Peusijuek pade bijeh (mulai menanam padi),
- Lalu Peusijuek tempat tinggai (menghuni rumah baru),
- Peusijuek peudong rumoh (membangun rumah),
- Peusijuek kaurubeuen (saat berkurban),
- Lalu Peusijuek kendaraan,
- Peusijuek naik haji,
- Peusijuek khitan,
- dan Peusijuek pernikahan.
Misalnya Peusijuek pernikahan (dara baro atau linto baro) misalnya dilakukan dengan harapan agar perkawinannya akan bahagia dan akan memperoleh keselamatan dalam kehidupan mereka. Demikian juga mengadakan peusijuek terhadap rumah baru dengan maksud supaya terdapat rasa aman dan nyaman tinggal di rumah itu, tanpa ada gangguan dari setan atau berbagai kekuatan jahat lainnya.
Hakekat tradisi ini sesungguhnya bagi masyarakat Aceh adalah upaya untuk memperoleh berkah dan ketenangan batin dan tujuan adat peusijuek itupun erat kaitannya dengan ajaran Islam. Yaitu untuk menyatakan rasa syukur, memohon petunjuk Allah Swt, mengharapkan kebahagiaan dan ketenteraman hidup, dan memohon maaf kepada sesama manusia serta menyatakan tobat kepada Allah Swt atas kekhilafan atau kesalahan tertentu.
Alat Perlengkapan Peusijuek
Berdasarkan Kompasiana, untuk melakukan upacara peusijuek perlu dipersiapkan alat-alat atau bahan-bahan tertentu pada macam atau bentuk upacara yang dilakukan. Ada 3 hal yang paling penting, yaitu perangkat alat serta bahan peusijuek, gerakan, dan doa.
Perangkat
Untuk perangkat dan bahan Peusijuek biasanya terdiri dari:
- talam atau dalong,
- bu leukat (ketan),
- u mirah (kelapa merah),
- breueh pade (beras),
- teupong taweue (tepung yang dicampur air),
- on sisikuek ( sejenis daun cocor bebek),
- manek manoe (jenis daun-daunan),
- naleueng samboe (sejenis rumput),
- glok (tempat cuci tangan)
- dan sangee(tudung saji).
Bagi masyarakat Aceh, setiap bahan Peusijuek ini memiliki filosofi dan arti khusus di dalamnya.
- Talam mengandung makna bahwa orang yang dipeusijuek tetap bersatu dalam lingkungan keluarga yang ditinggalkan.
- Clok (calok) mengandung makna bahwa orang yang dipeusijuek itu tetap berada dalam lingkungan keluarga yang di lingkungan keluarga (persatuan) dan berhemat.
- Tudung saji (sangee) mengandung makna yang diharapkan untuk mendapatkan perlindungan dari Allah swt dari segala tipu daya yang menyesatkan.
- Beras padi mengandung makna bahwa orang dipeusijuek semakin tua semakin berilmu, juga merupakan makan pokok atau benih untuk menghasilkan.
- Tepung tawar mengandung makna bahwa tepung berwarna putih merupakan perlambang kebersihan dan kesejukan jiwa bagi orang yang dipeusijuek.
- Di manek-manoe mengandung makna bahwa sesuai dengan deret bunga diharapkan digalang persatuan dan kesatuan serta keteraturan.
- Di sisikuek mengandung makna obat penawar/ kesejukan meresap kalbu.
- Naleung Samboe mengandung makna dengan sifat yang kokoh sulit untuk dicabut, pelambang sebagai kekokohan pendirian dan etika, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun agama.
- Bu leukat mengandung makna zat perekat, pelambang sebagai daya tarik untuk tetap melekat dalam hati orang yang dipeusijuek semua ajaran dan nasihat ke jalan yang diridhai oleh Allah swt.
Tata cara Pelaksanaan Peusijuek
Pelaksanaan ritual Peusijuek biasanya dilakukan oleh tokoh agama atau tokoh adat yang dituakan oleh masyarakat. Hal ini diharuskan karena tradisi Peusijuek merupakan ritual yang dianggap sakral, sehingga untuk melakukannya haruslah orang yang paling mengerti tentang doa-doa dan prosesi dalam ritual tersebut.
Apa bila orang yang diPeusijuek adalah kaum laki-laki, biasanya adakan dilakukan oleh Teungku atau Ustadz. Sedangkan apabila yang diPeusijuek adalah kaum perempuan, maka akan dilakukan oleh Ummi atau seorang wanita yang dituakan oleh masyarakat.
Beda Tempat Beda Tata Cara Pelaksanaannya
Mengenai tata cara pelaksanaan upacara peusijuek masih terdapat perbedaan antara satu tempat dengan tempat lain di dalam masyarakat Aceh. Ada yang sesudah membaca Basmalah mendahuluinya dengan sipreuek breuh padee atau ada juga yang memakai breuh kunyeit. Dan ada pula yang memulainya dengan teupong tabeu/tawueu, malah ada juga yang memulainya dengan menggunakan bu leukat kuneng.
Jadi dalam hal urut-urutan pelaksanaan peusijeuk itu dalam prakteknya belum ada keseragaman antar daerah. Adanya ketidakseragaman itu terutama disebabkan orang yang melakukan peusijuek tidak mengetahui bagaimana cara yang sebenarnya.
Begini cara yang benar menurut penuturan tokoh adat masyarakat Aceh: sipreuk breuh padee ke seluruh badan melampaui kepala orang yang dipeusijuek, sebanyak tiga kali setelah mengucapkan Basmalah. Lalu memercikkan air tepung tawar pada kedua telapak tangan dan ke badan melewati kepala orang yang dipeusijuek, sebanyak satu kali (hanya sekedarnya saja, jangan sampai basah).
Langkah berikutnya adalah menyunting bu leukat kuneng (nasi ketan kuning) pada telinga sebelah kanan. Dan terakhir teumeutuek (bersalaman sambil menyelipkan amplop berisi uang) kepada orang yang dipeusijuek.
Mengenai tempat peusijuek dapat dilakukan dimana saja asal bersih dari hadats dan kotoran najis. Bisa dilakukan di meunasah (surau), masjid, rumah, balai desa, atau tempat lainnya yang dianggap cocok.
Biasanya orang yang dipeusijuek dalam posisi duduk bersimpuh atas tilam meusugou (tilam kecil untuk duduk yang diberi sarung yang disulam) dengan bantal meutampok (pada ujung-ujung bantal yang berbentuk guling dipasang kain, 4 segi yang disulam dengan benang emas) dengan menengadahkan tangan seperti untuk berdoa yang diletakkan diatas paha.
Atau dapat juga dengan duduk sambil menegakkan lutut sejajar dengan kepala dan kedua tangan diletakkan diatas kaki, untuk menerima taburan breuh padee (1-3 kali) dan percikan tepung tabeu (1-3 kali) sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat desa tersebut.
Setelah selesai pembacaan doa, maka selesailah acara peusijuek dan selanjutnya bersalam-salaman untuk meminta maaf satu sama lain, khususnya antara kedua orang yang berselisih (mereka yang dipeusijuek). Sebagai acara penutup diadakan makan bu leukat kuneng, ayam panggang, tumpoe u mirah, yang telah disediakan sebagai bagian dari perlengkapan peusijuek.
Nah, demikian tradisi upacara peusijuek khas masyarakat Aceh yang semula mengandung nilai sakral dan dipandang sebagai suatu keharusan kini sudah dipandang hal yang tidak lagi memberikan pengaruh bila dilakukan atau tidak dilakukan. Namun hendaknya dapat dilestarikan agar anak cucu kita nanti masih bisa melihat tradisi ini ya, Parents.
Baca juga:
Mengenal Sekura, Tradisi Idul Fitri Asal Lampung yang Pererat Persaudaraan
Bebaskan dari Marabahaya dan Kesialan, Begini Asal Usul Tradisi Ruwatan
Mengenal Tradisi Masyarakat Bali Jelang Dewasa dengan Potong Gigi