Proses persalinan anak pertama menjadi salah satu momen yang tak terlupakan bagiku. Masih teringat jelas dalam benak, bagaimana perjuangan melahirkan Si Kecil. Bukan proses yang mudah, terlebih aku baru mengalaminya pertama kali. Pengalaman pertama melahirkan yang luar biasa dan mengharukan.
Tiga Hari Sebelum HPL
Sekitar pukul 13.00 WIB, aku mendapati lendir darah, tetapi belum merasakan kontraksi. Aku lapor kepada Suami. Kuutarakan kepada Beliau bahwa aku ingin ke bidan atau dokter untuk cek pembukaan. Awalnya ingin cek di praktik bidan dekat rumah, tetapi prosedurnya ternyata cukup rumit. Akhirnya, pukul 16.00 WIB memutuskan untuk cek pembukaan di Rumah Sakit (RS) tujuan persalinan.
Sesampainya di RS, langsung menuju ke Instalasi Gawat Darurat (IGD), tetapi saat itu tidak bisa dicek langsung. Dokter melihat catatan kesehatanku di buku KIA, ada riwayat aku pernah terpapar Covid sebulan sebelumnya. Aku harus menjalani swab antigen dan menunggu hasilnya sekitar 30 menit. Hasil swab antigenku, alhamdulillaah negatif. Jadi, sudah bisa pemeriksaan dalam, dan ternyata belum ada pembukaan, lalu diminta untuk pulang.
Dua Hari Sebelum HPL
Lendir darah masih keluar disertai kram seperti haid. Aku bingung, apakah aku harus cek pembukaan lagi? Akhirnya, aku konsultasi dengan Bidan Puskesmas melalui WhatsApp. Beliau menyarankan cek pembukaan kalau sudah ada kontraksi yang sering dan teratur. Kalau kontraksi belum teratur, sebaiknya ditunggu dulu supaya tidak menambah risiko infeksi karena sering dilakukan pemeriksaan dalam.
Aku diminta untuk terus observasi. Jika kontraksinya tambah sering, tambah lama, dan setiap 10 menit selalu ada, bisa segera periksa. Jika ketuban pecah, maka segera periksa. Baiklah, mari kita tunggu gelombang cinta itu datang!
Hari Kelahiran Tiba (Maju Satu Hari dari HPL)
Pukul 03.00 WIB, aku tidak bisa tidur, sering terbangun karena mulai merasakan kontraksi. Setelah sholat Shubuh, setiap kali merasakan kontraksi, kuhitung pakai aplikasi contractions. Ternyata sudah ada peringatan untuk segera ke RS. Ya, setiap sekitar 9 menit-an aku selalu merasakan kontraksi. Momen yang ditunggu-tunggu tiba. Bahagia, takut, cemas, semua jadi satu.
Pukul 09.00 WIB, aku dan Suami memutuskan untuk ke RS menggunakan transportasi online. Saat itu, bertepatan dengan hari raya Iduladha, jadi akses jalan tercepat menuju ke RS ditutup. Kami harus memutar lewat jalan lain, jarak dan waktu tempuh menjadi lebih lama. Alhamdulillaah, tidak macet. Selama di mobil, kontraksi semakin intens. Aku minta tolong Suami untuk memijat punggung & pinggangku untuk meringankan sakit yang kurasakan.
Kami tiba di RS. Pukul 09.35 WIB, cek pembukaan di IGD, ternyata sudah pembukaan 2 menuju 3. Aku dan Suami diminta untuk swab antigen, dan setelah itu aku boleh istirahat dulu di IGD sambil menunggu kamar ranap (rawat inap) siap. Sakitnya kontraksi masih bisa kutahan, dan aku tetap bergerak karena jadi tidak terlalu merasakan sakit.
Sekitar pukul 10.30 WIB, hasil swab antigen kami keluar dan alhamdulillaah negatif. Kamar ranapku juga sudah siap, lalu aku diminta untuk pindah ke sana.
"Mau pakai kursi roda atau jalan, Bu?" tanya Perawat padaku.
"Jalan aja, Mba," jawabku. Aku memilih jalan supaya cepat bertambah pembukaannya. Kamar ranapku juga dekat, dan sakitnya masih bisa kutahan.
Saat baru sampai di kamar, dokter kandunganku visit dan Beliau minta untuk langsung ke kamar bersalin karena ternyata sudah pembukaan 5. Di situ, aku benar-benar tidak kuat, rasanya lemas sekali. Jadi, aku pakai kursi roda menuju kamar bersalin.
Sampai di kamar bersalin, partus bed untukku sudah siap. Aku diminta untuk naik ke bed. Saat itu, merasa tidak berdaya untuk berjalan, apalagi harus naik ke bed. Jarak kontraksi semakin memendek, sekuat tenaga mengatur napas. Kuusahakan sekali untuk tidak teriak-teriak. Diminta makan supaya ada tenaga, tetapi tidak ingin makan, hanya ingin minum.
Waktu itu ternyata ketubanku belum pecah dan akhirnya sengaja dipecahkan. Perawat bilang kepala bayi masih agak jauh, jadi dibantu supaya lekas turun. Aku juga diminta untuk berbaring kiri supaya cepat menambah pembukaan.
"Mba, saya bisa lahiran normal kan, ya?" tanyaku kepada Perawat.
"Ya kita usahakan dulu ya, Bu," ujar Perawat. Aku tetap berpikiran positif bahwa bisa melahirkan secara pervaginam.
Sekitar pukul 11.00 WIB, dicek pembukaan ternyata sudah bukaan 8, ada rasa ingin mengejan yang kuat. Aku usahakan untuk tetap fokus pada nafas. Aku ingat betul, bagaimana Suami jadi sasaranku. Saking kuatnya dorongan ingin mengejan, aku remas tangan Suami hingga Beliau meringis kesakitan. Bayangkan saja, dorongan ingin mengejan begitu kuat tetapi tidak diperbolehkan mengejan karena pembukaan belum lengkap. Sekuat tenaga berjuang untuk menahannya.
"Dok, udah gak kuat…" ucapku lirih.
"Gak kuat kenapa, Bu?" tanya Dokter.
"Mau mengejan, Dok," jawabku.
Akhirnya, dicek sudah pembukaan lengkap dan boleh mengejan. Berkali-kali mengejan, Qadarullaah, kepala bayi tidak mau turun, hanya muter-muter. Aku sudah tidak kuat mengejan. Kata dokter kandunganku, kepala bayi tertahan di pintu pinggul tengah, jadi akhirnya diputuskan untuk operasi Caesar.
Operasi Caesar Darurat
Semua terburu-buru karena berpacu dengan waktu. Demi keselamatan ibu dan bayi. Ketika itu, aku masih merasakan kontraksi, masih ada keinginan untuk mengejan tetapi harus ditahan.
Setelah semua persiapan operasi Caesar selesai, aku mulai dibius di bagian punggung (tulang belakang). Saat biusnya bereaksi, perlahan kontraksinya menghilang dan bagian bawah tubuhku mati rasa.
Operasi pun dimulai. Operasi pertama dalam hidupku. Sepanjang proses operasi, aku menggigil, tetapi bukan karena dinginnya ruangan operasi. Merasa sedih juga karena Suami tidak diperbolehkan mendampingiku. Tak henti berdo'a kepada Allaah ta'alaa, memohon pertolongan-Nya agar operasi berjalan lancar dan semuanya dalam keadaan sehat selamat.
Pukul 12.30 WIB, alhamdulillaah lahirlah Si Kecil. Tangisannya begitu kencang. Aku terharu. Tidak sabar untuk melihat Si Kecil. Setelah dibersihkan, akhirnya Si Kecil dibawa kepadaku untuk Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Aku bersyukur karena bisa IMD walaupun hanya sebentar.
Alhamdulillaah, atas pertolongan Allaah ta'alaa, Si Kecil lahir dalam keadaan sehat dan selamat. Operasi Caesar berjalan lancar dan aku tinggal menjalani masa pemulihan.
"Apakah aku bukan seorang Ibu karena melahirkan secara Caesar? Aku tetaplah Ibu bagi anakku. Baik pervaginam maupun Caesar, di sana ada perjuangan seorang Ibu melahirkan anaknya. Aku tidak kecewa dengan apa yang terjadi. Insyaallaah, operasi Caesar menjadi jalan terbaik bagiku dan Si Kecil."
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.