Berikut adalah pengalaman saya melahirkan anak kedua saya di tengah-tengah pandemi covid-19. Pengalaman melahirkan sesar ini sungguh tak terlupakan.
Sebelumnya saya melahirkan anak pertama saya dengan cara caesar atas saran dokter kandungan karena pada saat itu posisi bayi dalam kandungan saya sungsang. Jarak kehamilan dari anak pertama ke anak kedua adalah 3 tahun. Ketika saya berkonsultasi ke dokter kandungan bisakah saya melahirkan normal di kehamilan saya yang kedua ini, beliau menjawab tidak ada salahnya mencoba.
Pengalaman Melahirkan Sesar saat Pandemi
Bicara soal HPL alias Hari Perkiraan Lahir jika menghitung dari hari pertama haid terahir maka seharusnya HPL-nya tanggal 13 Maret namun ketika pemeriksaan USG pertama kali ke dokter kandungan di usia kurang lebih 11 minggu beliau menentukan HPL-nya tanggal 1 April, katanya sih dari ukuran janinnya yaudah lah kan beliau lebih tahu. Intinya saya punya 2 HPL pada saat itu.
Tidak ada masalah yang berarti ketika masa-masa kehamilan itu saya benar-benar menikmatinya. Mungkin karena ini bukan lagi pengalaman pertama. Ketika pergi pemeriksaan USG di usia kandungan 32 minggu seluruh pemeriksaan berjalan dengan baik dan hasilnya pun sangat baik. Posisi janin sudah bagus (tidak sungsang), berat badan dan ukuran janin sudah proporsional dan hanya tinggal menunggu hari H.
Waktu terus berlalu dan ketika melihat tanggal di kalender sudah tanggal 25 Maret saya mulai khawatir karena masih belum mules-mules juga. Namun mengingat HPL yang dokter tentukan masih belum terlewat saya masih bisa menenanngkan diri sendiri.
Kontraksi Pertama
Lalu, tanggal 30 Maret saya mengalami mules-mules dan dibawa ke puskesmas, namun bidan yang bertugas bilang baru pembukaan satu dan saya harus menunggu. Mengingat, karena riwayat caesar saya yang pertama membuat saya tidak bisa pergi melahirkan dengan normal di klinik dokter kandungan karena tidak bisa diberi induksi.
Sudah satu hari satu malam saya berada di puskesmas namun masih pembukaan 1 juga padhal mules-mules makin sering intensitasnya. dirujuklah saya ke dokter kandungan namun dengan syarat harus membawa hasil test swab antigen.
Singkat cerita hasil swab sudah di tangan dengan hasil negatif, bergegaslah kami ke klinik dokter kandungan tersebut. Ketika sudah melalui pemeriksaan USG dan menjelaskan yang terjadi beliau menjelaskan kalau air ketuban sudah terlalu sedikit dan bisa jadi berbahaya kalau didiamkan.
Berat badan janin berkurang dan mulesnya mules palsu katanya. Dirujuklah lagi saya ke rumah sakit untuk segera diambil tindakan caesar.
Tidak apa-apa, saya sudah mencoba untuk melahirkan dengan normal namun kalau memang harus di caesar lagi saya bisa menerimanya.
Proses melahirkan caesar yang pertama dan yang kedua tidak ada bedanya karena sama-sama di bius total. Saat inilah kesedihan dimulai, ketika sedikit demi sedikit saya mulai sadar dari pengaruh obat bius seluruh tubuh saya terasa dingin dan menggigil.
Mengalami Perdarahan
Salah seorang perawat mememriksa keadaan saya dan berkata ibu ini mengalami pendarahan. Perawat itu memanggil teman-temannya yang lain, seingat saya waktu itu ada sekitar 4 perawat yang sedang merawat saya namun salah seorang perawat dari pintu berteriak setelah menerima telpon “Hey kalian ibu itu IGG nya reaktif”. Sontak mereka menjauhiku.
Saya tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Dengan keadaan mengalami pendarahan dan tubuh yang menggigil, saya dikeluarkan dari ruang observasi ke ruangan kosong. Pikiran saya saat itu sangat kacau pendarahan saya belum berhenti dan saya sendirian dalam waktu berjam-jam. hanya ad slah seorang perawat yang mengambil smapel darah katanya. Saya sempat berpikir mungkin ini akhir hidup saya, dan itu membuat saya sedih dan menangis.
Entah sudah berapa lama, Suami saya bilang saya harus diisolasi. Saya jawab tidak apa-apa kalau memang harus begitu daripada saya tidak mendapat perawatan apapun. Lorong-lorong rumah sakit sangat sepi ketika saya dipindahkan ke ruang isolasi mereka yang mendorong ranjang pun memakai APD lengkap dan saya semakin sedih dan berpikir mereka pasti takut padaku dan apakah benar aku terpapar covid-19?
Sendirian di Ruang Isolasi setelah Melahirkan Bayi
Di ruangan isolasi itu saya sendirian, ditemani televisi yang tayangannya hanya semut yang bergulung-gulung saja. Malam itu saya tidak bisa tidur, pinggang saya mulai terasa panas karena posisi tubuh yang terus-terus terlentang. Mencoba menyamping namun luka jahitan masih sangat perih. Satu-satunya hal yang menghibur saya adalah jika ditelpon suami saya.
Besoknya saya berlatih menyampingkan tubuh saya, belajar duduk sendiri, dan mengisi daya handphone saya sendiri. sesekali perawat ber APD lengkap datang untuk pemeriksaan dan melakukan test swab (lagi). anehnya, tidak seperti pengalaman pertama saya yang kedua ini saya tidak bisa cepat buang angin jadi saya belum bisa minum atau pun makan. sehingga dokter meresepkan obat yang dimasukan (maaf) ke dubur saya. Barulah tidak lama dari itu saya mulai bisa buang angin dan malahan perut saya menjadi sangat-sangat mules, dan untuk buang air besar saya harus belajar berjalan sendiri tentunya.
Besoknya saya harus mejalani pemeriksaan rontgen dan harus swab (lagi) meskipun kata perawat hasil swab saya yang sebelumnya negatif. Saya belum bisa bertemu bayi saya, saya terus membayangkan bagaimana rupanya bagaimana dia menyusunya. Ternyata bayi saya juga diisolasi dan juga menjalani pemeriksaan swab sama dengan ibunya.
Hal itu sangat mebuat saya sedih bagaimana seorang bayi harus menjalani hal-hal seperti itu. Belum lagi jika mengingat kakaknya yang dititpkan ke uwanya di rumah selama ini kita tidak pernah terpisah jauh berhari-hari. Saya banyak menangis pada saat itu.
Barulah setelah 5 hari saya bisa keluar dari ruang isolasi dan bertemu dengan bayi saya dan kita akhirnya bisa pulang ke rumah.
itulah pengalaman saya melahirkan di tengah-tengah pandemi covid-19, sangat jauh berbeda dengan pengalaman saya sebelumnya dan sangat penuh drama. Semoga masa-masa pandemi segera berakhir.