Sindrom baby blues itu beneran ada, lho. Dulu ketika hamil, sudah berkeyakinan dan selalu memberikan afirmasi positif ke diri sendiri dengan harapan “aku nggak akan kena baby blues“. Namun ketika anak lahir, ternyata aku tidak bisa menghindarinya. Aku pun ikut merasakan pengalaman baby blues.
Anakku lahir di usia 38 weeks dengan berat 3.38 kg. Ketika itu, ASI tidak langsung keluar banyak. Sempat kepikiran namun dokter, bidan, dan perawat berkata itu wajar karena bisa saja asi keluar setelah dirangsang oleh bayi. Aku pun berusaha untuk tetap memberikan ASI ke anak walaupun puting sakit dan lecet-lecet. Saat akan pulang anak ditimbang kembali, beratnya turun menjadi 3.08. Bidan pun berkata masih normal dan tidak perlu dikhawatirkan.
Pulang dari rumah sakit aku langsung ke kos (ketika itu masih ngekos karena rumah belum jadi), di kos sudah ada mama yang menunggu. Ketika mendengar kabar lahiran, mama langsung berangkat ke kotaku dengan tujuan membantu merawat anakku di minggu pertama kelahiran. Namun, disinilah awal mula baby blues ku terjadi. Ketika afirmasi positif dari rumah sakit seketika buyar saat mendengar komentar dari mama yang bilang “kok asimu sedikit?”, ketika aku mencoba memompa dan hanya mendapat 10 ml. Itu pun berlanjut selama seminggu, tekanan-tekanan, perintah-perintah untuk memperbanyak ASI ku justru membuat aku semakin down. Mungkin karena aku juga tipe orang yang pemikir, jadi terus kepikiran, terlebih mengingat mama yang pasti lebih paham harusnya bagaimana ASI ketika anak lahir.
Mama akhirnya pulang, air mata tak henti-hentinya keluar, aku takut tidak dapat mengurus anakku dengan baik. Walau mama suka berkomentar soal asiku, tapi kehadirannya sangat membantuku. Aku bisa beristirahat dengan baik, meski tetap tidak bisa tidur karena memikirkan asi. Suami menenangkanku dan meyakinkan ku pasti aku bisa. Seminggu berikutnya keluarga suami datang, ramai memang, namun aku jadi tidak dapat beristirahat total. Karena kamar kos yang kecil dipakai untuk berkumpul di siang hari sehingga waktu istirahatku kurang, mengingat setiap malam masih beradaptasi dengan tangisan bayi. Memang sangat terbantu dalam mengurus bayi, tapi masalah asi masih menghantui.
Ketika keluarga suami pulang, air mata keluar lagi karena menjadi sepi dan ketakutan aku tidak bisa mengurus anakku dengan baik datang lagi. Pikiran itu terus muncul walau suami sudah mencoba memeluk dan menenangkanku. Aku sudah tenang pun air mata terus keluar, tak mengerti apa yang terjadi. Di Akhir minggu kedua ketika kontrol dengan dokter, ternyata anakku beratnya turun menjadi 2,94. Padahal seharusnya, normalnya berat anak akan naik. Seketika aku sedih dan berpikir ternyata asiku tidak cukup. Dokter memberi masukan untuk terus memompa asi dan menyusui bayi.
Segala cara sudah coba kulakukan, makan makanan bergizi, minum booster, dan memompa asi. Namun, asi belum keluar sesuai harapan. Terlebih saat mendengar komentar “kok anaknya kecil ya, harusnya nggak segini, asinya kurang, asinya ga bergizi, harusnya makan ini, harusnya minum ini”. Ternyata beneran ada, lho, orang-orang yang berkomentar seperti itu, mirisnya orang itu adalah seorang ibu juga. Tadinya kupikir orang-orang di sekitarku tidak akan seperti itu. Ingin rasanya nyeletuk “tanpa disuruh aku juga udah nglakuin, tanpa dikasih tahu aku pun juga tahu, yang kubutuhkan itu cuma dukungan dan semangat, sudah itu saja, tidak perlu komentarmu”
Tiap malam aku selalu menangis dan protes pada diri sendiri, kenapa kok asiku cuma segini, salahku dimana, kurangku dimana. Hal itu membuat aku tidak bisa tidur. Tiap melihat anakku menangis dan aku ikut menangis karena kupikir dia kelaparan dan berkata, “maaf mama belum bisa kasih asi yang banyak”. Begitulah seterusnya kurasakan hingga 1 bulan lamanya.
Saat kontrol 1 bulan kelahiran, berat anakku 3,3. Naik hanya 300 gram selama 2 minggu, alhasil pikiran negatif terus datang “asiku kurang, asiku kurang, asiku kurang”. Tidur kurang, pikiran kacau, mood swing terus kualami, nyeri bekas jahitan masih berasa, ditambah harus mengatur waktu antara memasak, mengurus diri, mencuci, memandikan anak, menyusui, memompa. Saat lelah aku cuma bisa menangis. Sampai pada akhirnya aku bisa beradaptasi dengan keadaan.
Anakku sekarang sudah 4 bulan, sebentar lagi 5 bulan, berat anakku kini terakhir menimbang hanya 5 kg. Naik sesuai standar, tapi masih kurang karena di awal sempat tidak naik. Kini, asi ku perlahan sudah cukup banyak, meski saat ini harus sedikit dibantu susu booster untuk menaikkan berat badan ke idealnya. Masih jauh ketinggalannya, tapi kami yakin bisa. Beruntung dapat dokter yang Pro ASI sekali dan pantang menyerah. Terlebih pula kini aku sudah sadar, ternyata selama ini aku salah. Makanan bergizi dan booster yang aku konsumsi tidak akan berguna dan membuat asiku banyak jika tidak diimbangi dengan istirahat yang cukup dan pikiran positif.
***