Sebut saja korban pelecehan seksual anak itu bernama Rina. Ia melewatkan masa kecil di kompleks elit di sebuah kota dan tak pernah punya teman bermain di rumah. Keluarga Rina saat itu belum punya rumah sendiri dan mereka tinggal bersama nenek Rina.
Ayah Rina selalu sibuk bekerja agar bisa punya uang untuk beli rumah. Sedangkan ibu Rina sibuk mengasuh adik Rina yang usianya terpaut dua tahun. Pada saat orang tuanya lengah itulah Rina menjadi korban pelecehan seksual anak.
Satu-satunya teman Rina di rumah adalah Pak Ribut, pembantu rumah tangga di rumah itu. Rina, yang saat itu berumur 5 tahun, merasa senang karena Pak Ribut sering mengajaknya bermain di luar rumah, menyuapinya dan bahkan memandikan dia.
Sampai suatu hari Pak Ribut mengajaknya tiduran di kamarnya. Ya, saya tahu Anda sudah bisa menebak kejadian selanjutnya : pelecehan seksual anak. Perbuatan itu terjadi hingga beberapa kali, dan berakhir ketika nenek Rina menyaksikan sendiri bagaimana pelecehan seksual anak itu terjadi – cucu perempuannya terhimpit kesakitan.
Nenek Rina murka dan ia memberhentikan Pak Ribut hari itu juga. Nenek khawatir nama keluarga akan tercoreng jika peristiwa pelecehan seksual anak itu terungkap, sehingga Rina dilarang menceritakan peristiwa itu kepada siapapun, termasuk pada ayah dan ibunya.
Beberapa tahun kemudian …
Beberapa tahun kemudian Rina bersekolah di SD swasta. Sekolah dan lingkungan baru membuat dirinya terhibur dan lambat laun melupakan peristiwa pelecehan seksual anak yang dialaminya.
Untungnya pelecehan seksuak anak yang dialami Rina tak membuatnya kesulitan dalam hal pelajaran di sekolah, karena ia senang menyendiri dan membaca buku. Namun ini membuat Rina remaja tumbuh menjadi gadis yang tertutup, asosial dan pembenci laki-laki.
Jika di masa kecilnya Rina menganggap anak laki-laki pantas dipukul dan dijambak karena nakal, di masa dewasa ia melampiaskannya dengan cara mendekati laki-laki kemudian meninggalkannya sesuka hati.
Ia menganggap kaum laki-laki tak punya perasaan, dan oleh karenanya mereka pantas disakiti. Kecenderungan ini tak berubah, bahkan ketika Rina menikah dan melahirkan anak laki-laki pertamanya.
Pelecehan seksual anak yang dialami Rina membuat rasa bencinya terhadap laki-laki tidak pernah hilang, termasuk pada suaminya sendiri.
Tak dinyana suami Rina tiada dalam sakitnya, meninggalkan Rina yang saat itu sedang mengandung. Bayi laki-laki kedua lahir beberapa bulan kemudian, dan pada saat Rina memeluk putra bungsunya dalam dekapannya barulah ia sadar bahwa tidak selamanya laki-laki dihadirkan untuk menyakiti.
Membangun Kembali Masa Depan
Saya dan Anda mungkin akan sama-sama sepakat mengatakan bahwa pelecehan seksual anak adalah kasus kriminal terburuk di muka Bumi. Meski demikian, itu tak menjadikan alasan bagi kita untuk didera galau berkepanjangan.
Semua anak memiliki masa depan, tak terkecuali bagi mereka yang telah mengalami tragedi semacam pelecehan seksual anak. Lalu, bagaimana kita memulainya?
1. Komunikasi
Korban pelecehan seksual anak, baik laki-laki maupun perempuan, tidak mengatakan rasa sakit yang dialaminya karena berada di bawah ancaman, atau rasa malu yang dirasakan keluarganya, berdasarkan kisah Rina di atas.
Mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang pendiam dan tertutup, bahkan ketika dewasa. Ajaklah ia bicara dengan menceritakan hal-hal ringan, misalnya film kesukaan atau tokoh kartun idolanya. Jangan menyerah meski ia bersikap tak mendengarkan Anda, atau tak bereaksi sama sekali.
2. Memaafkan
Pelaku pelecehan seksual anak biasanya orang-orang dengan pribadi yang sakit dan pernah mengalami pelecehan seksual anak. Mereka menyimpan dendam karena orang yang telah menyakiti mereka tak mendapat sanksi setimpal.
Akibatnya, mereka melakukan hal yang sama kepada anak lain, agar dendamnya terbalaskan. Pada kasus Rina, pembalasan dendam tidak dilakukan secara fisik, melainkan menyakiti perasaan lawan jenis. Ini karena ia tak mengerti cara memaafkan. Selalu waspada terhadap perubahan sikap anak karena ia cenderung menolak berbicara tentang perasaannya.
3. Ekspresikan
Ajak korban pelecehan seksual anak melampiaskan isi hati melalui aktifitas seni seperti menggambar atau menulis puisi. Dukung ia untuk melakukannya secara rutin dan perhatikan karya-karyanya agar Anda bisa memahami apa yang tersimpan dalam hatinya.
Melakukan aktifitas seni juga berguna untuk menumbuhkan kembali empatinya terhadap lingkungan,setelah sebelumnya rusak akibat mengalami pelecehan seksual anak.
4. Aktualisasi Diri
Korban pelecehan seksual anak biasanya akan merasa rendah diri dan tak bisa menghargai dirinya sendiri. Bangkitkan kembali rasa percaya diri korban dengan mengajaknya bergabung dalam berbagai kegiatan dan bertemu dengan banyak teman baru seusianya. Misalnya klub olahraga atau pramuka. Namun Anda harus sabar menunggu hingga ia benar-benar siap.
Apapun metode yang Anda terapkan untuk mengobati luka hati korban pelecehan seksual anak, selalu ingat untuk melakukannya dengan penuh kasih sayang. Biarkan ia mengetahui bahwa Anda dapat menjadi tempatnya berlindung kapan saja.
Referensi :
Ini Dampak Buruk Kekerasan Seksual Pada Anak – Republika.com
Kekerasan Seksual dan Pornografi Pada Anak – Vivanews.com