Dunia sastra kini tengah berduka. Salah satu penulis perempuan dan pejuang kesetaraan dari Mesir, Nawal El Saadawi wafat pada Minggu (21/3/2021). El Saadawi meninggal dunia di usianya yang ke-89 tahun. Ia dikenal sangat berjasa dalam memperjuangkan hak-hak perempuan di Mesir. Berikut sosok dan profil El Saadawi.
Mengenang Sosok Nawal El Saadawi, Feminis dan Intelektual yang Menolak Sunat Perempuan
Selama dua hari terakhir, linimasa tengah riuh membicarakan Nawal El Saadawi. Ia adalah seorang dokter dan intelektual dari Mesir yang telah menerbitkan puluhan buku. Salah satu karyanya yang sangat populer berjudul Woman at Point Zero terbit pada tahun 1975 dan telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Perempuan di Titik Nol.
Bukan tanpa sebab, El Saadawi dikenal sebagai pejuang kesetaraan. Sepanjang hidupnya, ia telah melakukan berbagai upaya perlawanan untuk membela hak-hak perempuan. Ia dikenal sangat vokal dalam menentang praktik mutilasi alat kelamin perempuan atau Female Genital Mutilation (FGM) yang masih marak terjadi di Mesir.
Kesadarannya tentang feminisme telah tumbuh sejak ia masih kanak-kanak. Mengutip BBC, di usia 10 tahun, El Saadawi sempat dipaksa menikah namun ia berani menolak. Keputusannya ini didukung oleh ibunya yang berasal dari keluarga kaya raya.
Ia kemudian menempuh pendidikan kedokteran di Universitas Kairo dan lulus pada tahun 1955, lalu melanjutkan spesialisasi di bidang psikiatri. Pemerintah Mesir sempat mengangkat El Saadawi menjadi Direktur Kesehatan Masyarakat. Namun, pada tahun 1972, ia dipecat karena menerbitkan buku kontroversial berjudul Women and Sex yang berisi tentang penindasan seksual terhadap perempuan.
Pada tahun 1977, ia kembali menerbitkan buku berjudul Hidden Face of Eve, sebuah dokumentasi yang merekam pengalamannya sebagai dokter desa. Saat menjalani profesinya itulah, ia menyaksikan sendiri kasus-kasus pelecehan seksual, pemerkosaan, pembunuhan demi kehormatan (honour killing), dan jebakan prostitusi yang dialami oleh perempuan.
Baca juga: 7 Pesan inspiratif Oprah Winfrey untuk para orangtua dalam pidatonya di Golden Globes. Parents wajib baca!
Pernah Dipenjara dan Menulis dengan Pensil Alis Saat Dikurung
Usai dipecat, perlawanan El Saadawi tak berhenti begitu saja. Justru ia semakin vokal menyuarakan penindasan. Akibatnya, banyak yang membenci El Saadawi dan melayangkan berbagai macam tuduhan, salah satunya ia sempat dituduh sebagai penghasut dan penghancur budaya Mesir oleh kelompok agamis.
Pada tahun 1981, pemerintah Mesir di bawah rezim Presiden Anwar Sadat sempat menahan El Saadawi. Ia dipenjara selama 3 bulan dengan tuduhan pembangkang.
Namun, penjara tak menghentikannya berkarya. Ia tetap menulis berkat bantuan seorang pekerja seks yang menyelundupkan pensil alis ke dalam penjara. Ia pun menuliskan memoarnya selama ditahan di atas tisu toilet.
Setelah Presiden Anwar Sadat dibunuh, El Saadawi kembali dibebaskan. Namun, ia masih menerima berbagai tuduhan dan bahkan ancaman pembunuhan hingga dibawa ke pengadilan dan terpaksa pindah ke Amerika Serikat (AS) pada tahun 1993.
Baca juga: Emansipasi – Alasan Mengapa Perempuan Kurang Menonjol di Tempat Kerja Dibandingkan Laki-laki
Dianugerahi Berbagai Penghargaan karena Memperjuangkan Hak-hak Perempuan
“Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama.” Pepatah ini agaknya tepat untuk menggambarkan sosok El Saadawi. Ia meninggalkan rekam jejak yang gemilang sebagai seorang feminis, penulis, dan intelektual.
Berkat kegigihannya, ia pun diganjar berbagai penghargaan. Pada tahun 2005, ia dianugerahi Inana International Prize di Belgia setelah setahun sebelumnya menerima North-South Prize dari Council of Europe. Pada tahun 2020, ia juga tampil di sampul majalah Time dan masuk sebagai 100 perempuan berpengaruh.
Selama perjalanan hidupnya, pemikiran El Saadawi memang merentang hingga ke berbagai wacana. Mulai dari hak-hak perempuan, kolonialisme, hingga kapitalisme. Ia tak hanya mengkritik Islam sebagai agama mayoritas di Mesir, namun juga seluruh agama.
Ia juga berulang kali menegaskan keterkaitan antara feminisme dengan kapitalisme. Menurutnya, selama kapitalisme masih bercokol, maka pembebasan perempuan juga tak akan bisa diraih.
“Mereka tidak menyadari hubungan antara pembebasan perempuan di satu sisi dan ekonomi dan negara di sisi lain. Banyak yang menganggap hanya patriarki sebagai musuh mereka dan mengabaikan kapitalisme korporat,” ujarnya seperti dikutip dari Kompas.
Kini, ia telah pergi. Namun, karya-karyanya dan pemikirannya akan terus abadi. Mari kita doakan agar ia tenang beristirahat di alam sana. Selamat jalan dan terima kasih Nawal El Saadawi!
Baca juga:
Surat Terbuka Untuk Para Perempuan yang Kejam Terhadap Perempuan Lainnya