Menjadi seorang ibu tidaklah mudah, apalagi bagi ibu baru yang belum berpengalaman. Sayangnya, di tengah perjalanan belajar menjadi orangtua, tak jarang kita temui komentar-komentar bernada mom shaming yang ditujukan pada ibu dan bayi.
“Loh, ibunya masih saja kerja kantoran? Anaknya nanti sama siapa, kasihan sekali nanti jadi nggak keurus.” “Aduuh… sudah umur 7 bulan, kok badannya kecil banget? Berat badan dedeknya berapa, awas stunting, lho, Bun.”
Familiar dengan alimat-kalimat seperti di atas? Atau jangan-jangan pernah melontarkannya pada ibu lain? Ketahuilah, bahwa ungkapasn seperti itu merupakan contoh dari perilaku mom shaming pada ibu dan bayi.
Mom shaming sendiri bisa diartikan sebagai kondisi saat seseorang mengkritik, mempermalukan, atau meremehkan ibu dan bayi lain karena pilihannya dalam menjalani peran sebagai ibu berbeda dengan pilihan Anda.
Fenomena mom shaming tidak hanya terjadi di lingkungan rumah atau tempat tinggal tapi juga di dunia maya. Lebih-lebih di era media sosial seperti sekarang. Siapa pun bisa dengan mudah mengomentari dan menghakimi orang lain dengan jemarinya tanpa merasa bersalah.
Artikel terkait: Jadi korban Mom Shaming, 7 artis ini punya cara jitu menghadapinya!
Survei: Mom Shaming Sering Dilakukan oleh Orang Terdekat
Melansir Klikdokter, pada tahun 2018, JAKPAT melakukan survei pada 574 ibu yang memiliki anak. Tujuannya, untuk melihat pendapat para ibu dan cara menyikapi mom shaming dalam kehidupan sehari-harinya. Mereka difokuskan pada dua topik, yaitu ibu yang punya pengalaman diperlakukan atau dikritik atau menjadi korban mom shaming, atau ibu yang berperan sebagai pelaku alias mom shamer.
Temuan yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
- Pada ibu yang punya pengalaman mom-shaming, perilaku tersebut paling sering didapat dari orang-orang terdekat seperti teman, keluarga, bahkan dari orang tua.
- Topik yang sering dijadikan pembahasan tersering adalah tentang asupan makanan anak (50,2 persen), pemilihan susu formula atau ASI (49 persen), metode mendisiplinkan anak (48,8 persen).
- Sebanyak 72,65 persen responden mengatakan mom shaming terjadi melalui pembicaraan secara langsung.
- 64,9 persen responden mengalami pengalaman dipermalukan di media sosial.
- Sebanyak 57,3 persen ibu yang mengalami mom shaming mendorong mereka lebih aktif mencari informasi mengenai pola asuh.
- Sebanyak 55,23 persen tidak terpengaruh terhadap kritikan yang mereka terima, bahkan membuat mereka lebih kuat terhadap pilihan metode parenting yang mereka pilih.
Waspadai, ini tanda-tanda Anda melakukan mom shaming pada ibu dan bayi lain
Disadari atau tidak, mungkin Parents pernah melakukan mom shaming. Seringkali pelaku mom shaming (mom shamer) tidak merasa bahwa dirinya telah berbuat sesuatu yang menyakiti hati orang lain. Untuk itu, sebaiknya Parents lebih berhati-hati lagi dan menghindari pertanyaan atau komentar seperti di bawah ini.
- Menceramahi tentang menyusui. Mendukung pemberian ASI eksklusif pada bayi itu baik. Namun, perlu diketahui bahwa tidak semua ibu bisa (dan mau) melakukannya. Sudah sepatutnya kita memahami keterbatasan dan menghargai pilihan orang lain.
- Bertanya tentang tumbuh kembang bayi. Setiap bayi memiliki milestone perkembangan yang berbeda-beda, ada yang lebih cepat dan ada yang lebih lambat. Membanding-bandingkan mereka hanya akan membuat si ibu resah dan bersedih.
- Berkomentar tentang pilihan ibu untuk bekerja di luar atau tinggal di rumah. Mau menjadi working mom atau stay at home mom, tidak ada yang salah dan tidak akan mengurangi derajatnya sebagai seorang ibu. Selalu ada alasan di balik setiap pilihan.
Artikel terkait: Dampak mom shaming hanya bikin Bunda depresi, Baca 10 tips ini untuk mengatasinya
- Mengoreksi gaya parenting ibu lain dan memaksakannya mengikuti pilihan Anda. Ada orangtua yang sangat protektif pada anaknya. Ada pula yang lebih santai. Biarkan saja mereka menjalani pilihannya masing-masing karena tidak semua keluarga cocok dengan gaya parenting kita.
- Mengomentari tubuh ibu dan bayi lain. Ini sama dengan body shaming, hanya saja ditujukan pada ibu dan anaknya. Karena bentuk tubuh adalah hal yang sensitif, jangan pernah menanyakan ini ya, Parents.
- Menanyakan pilihan melahirkan. Melahirkan secara normal atau caesar, dengan bidan atau dokter, dengan bantuan epidural atau tidak, di rumah sakit atau di rumah, semuanya bebas memilih sesuai dengan kondisi masing-masing. Kita tidak punya hak untuk mengkritik pilihannya.
- Mengkritik bagaimana ibu lain menghabiskan waktu luang. Sebagaimana hobi dan kesukaan orang berbeda-beda, setiap ibu punya cara sendiri untuk menghabiskan waktu luang atau “me time”. Menyempatkan diri ke salon untuk perawatan atau sekadar menghabiskan waktu sejenak nonton Netflix tidak apa-apa kok. Menjaga keseimbangan hidup itu perlu agar tetap waras, jadi tidak usah dikomentari.
Merasa menjadi korban mom shaming, Ini yang Perlu Dilakukan
- Tak perlu merespon. Jika Bunda mengalaminya di dunia nyata, cukup tersenyum dan segeralah pergi. Jika itu terjadi di media sosial, jangan dibalas dan hapus saja komentarnya. Namun, jik abanyak komentar serupa di postingan Bunda, pertimbangankan untuk menonaktifkan komentar atau menghapus postingan.
- Jangan terobsesi menjadi sempurna. Hanya karena satu dua komentar yang mempermalukan, jangan membuat Bunda terobsesi hingga ragu melakukan apapun karena takut dikomentari.
- Positif thinking. Dunia belum berakhir hanya gara-gara mom shaming. Tetaplah berpikir positif bahwa Bunda bisa melewatinya.
- Move on. Menjadi korban mom shaming memang dapat menguras emosi. Alih-alih meratapi diri, lebih baik segera move on dan alihkan perhatian ke hal lainnya.
- Jangan melakukan mom shaming pada pelaku atau orang lain. Jika Bunda sudah tahu betapa tidak enaknya menjadi korban mom shaming, maka jangan lakukan itu pada ibu dan bayi lainnya, sekalipun pada pelaku. Jangan terjebak dalam lingkaran setan mom war yang jelas tidak ada manfaatnya.
Semoga kita terhindar dari perilaku mom shaming pada ibu dan bayi. Tidak menjadi korban, apalagi pelakunya.
Baca juga:
Hati-hati! Dad shaming seringkali dilakukan istri, ini 5 cara mencegahnya