“Orang Tua Bunuh Anak Karena Susah Belajar Daring”. Begitu sebuah tajuk berita belum lama ini. Saya bergidik ngeri. Hal yang terdengar ‘gila’ memang sangat rawan terjadi dalam situasi pandemi. Apa sebenarnya yang terjadi? Apakah karena faktor orangtua yang belum merdeka dari luka lamanya?
Perasaan saya campur aduk.
***
Orangtua yang Belum Merdeka dari Luka Masa Lalu
Teringat sebuah Sabtu pagi, saya mengikuti sebuah zoominar parenting. Temanya sangat relevan dengan apa yang saya butuhkan saat ini. “School From Home, Bagaimana ORTU menikmatinya bersama anak”. Menarik kan? Maklum saja, saya ibu beranak tiga dan sekolah semua.
Pembicaranya adalah pakar parenting yang sudah terkenal di mana-mana. Ibu Elly Risman. Moderatornya seorang Psikiater sekaligus pengusaha yang kebetulan adalah kakak kelas saya saat S1 dulu. Dokter Dhea namanya. Semangat saya jadi semakin menggebu.
Alih-alih memberikan tips and tricks bagaimana cara agar SFH bisa menjadi menyenangkan, ibu Elly justru membuat kami para peserta menangis tersedu dan tergugu. Saya sendiri menghabiskan banyak sekali tissue saat itu.
Ibu Elly membantu kami para orangtua menyelam dalam sekali ke kalbu. Menyadarkan bahwa beberapa dari para peserta, bisa jadi hampir semuanya, ternyata adalah orangtua yang sebenarnya memiliki masalah, tetapi tidak menyadarinya. Hingga tak timbul rasa salah dan penyesalan.
Beberapa kita adalah orangtua yang terluka jiwanya. Sayangnya, kita pun ikut menciptakan luka. Luka-luka baru kepada mereka yang kita elukan sebagai buah cinta. Terluka dan membuat luka. Begitu siklusnya. Berputar bagai roda.
Masa Pandemi, Saat yang Tepat untuk Refleksi Diri
Kondisi pandemi telah menyuguh paksakan ajang refleksi hingga ke seluruh ujung-ujung sendi dan nurani. Merenungi diri.
Salah satu refleksi yang hadir dalam keluarga adalah refleksi tentang pengasuhan. Pekerjaan utama sebagai orangtua. Pekerjaan paling penting di dunia yang selama ini sering diabaikan.
Banyak pasangan menyandang status mulia sebagai orangtua hanya semata karena hadirnya buah hati di antara mereka. Bukan karena kesiapan mentalitas yang dilandasi ilmu sebelumnya.
Tanpa sadar, berkeluarga hanya dianggap sebagai salah satu tahap kehidupan. Layaknya setelah lulus SD kita akan melanjutkan ke SMP dan begitu seterusnya. Umum dilakukan jika saatnya telah tiba. Dan kini hukum tebar tuai telah berbicara. Kondisi belajar dari rumah membuat banyak orangtua bertemu lebih lama dengan anak-anak. Terutama orangtua dengan anak usia sekolah. Tentu bukan sesuatu yang mudah.
Bahkan, semua terasa serba salah.
Bisa jadi di awal masa pandemi, anak dan orangtua menikmati momen kebersamaan ini. Berkumpul bersama dalam waktu yang lama. Terasa bahagia. Namun tak bisa dipungkiri, berkumpul saat ini tentu tak sama dengan liburan apalagi lebaran. Ini pandemi, Kawan.
Semakin sering bersama, gesekan-gesekan mulai terasa. Tak jarang amarah terpercik kemana-mana.
Terkurung bersama dalam ketidakpastian, anak-anak belajar seolah tanpa panduan. Banyak ayah kehilangan pekerjaan. Para bunda pun semakin mudah menjadi baperan.
Kondisi sulit mendorong emosi meletup ke permukaan. Luka lama yang terkubur dalam seperti dibongkar tanpa sadar. Menganga. Itulah luka akibat pengasuhan yang diwariskan di masa silam. Sadari bahwa merdeka dari luka amat diperlukan.
Sadari Masih Ada Luka yang Perlu Disembuhkan
Kita tidak sedang membicarakan tekanan akibat ketidakmampuan orangtua menjadi guru dadakan. Kita memang tidak akan mampu menjadi guru pendidikan formal secara instant. Bahkan yang berprofesi guru sekalipun tentu mengalami kesulitan.
Kita sedang membicarakan apa yang terjadi pada diri kita di masa silam. Apa yang membuat kita saat ini tak berdaya menurunkan nada bicara. Apa yang membuat kita saat ini menjadi mudah merasa putus asa mengasuh anak-anak kita.
Kita terluka, teman….
Kita belum merdeka dari luka masa lalu…
Kehidupan orangtua kita di masa lalu yang (mungkin) begitu sulit membuat mereka tidak ingin kita merasakan hal yang sama. Cukup kami yang menderita. Begitu kata mereka. Ironisnya, disitulah berawalnya luka.
Orangtua kita berusaha keras memperbaiki kehidupan yang terasa sulit. Ekspresi cinta nampaknya. Namun mereka jadi tergesa-gesa dalam mengasuh kita. Mereka tak punya banyak waktu untuk mendengar, mengenali keunikan, apalagi perasaan kita.
“Kaan.. Apa mama bilang?” “Gitu aja kok ga bisa sih ?!”“Coba tuh liat kakakmu. Juara satu.” “Ntar mama buang, loh, mainannya!” “Capek papa ngasi tahu kamu!” “Eeeh, tumben anak bunda jam segini sudah mandi.” “Memangnya kamu aja yang capek? Ibu juga capek!”
Asingkah kalimat di atas di telinga, Anda? Jika ya, MasyaAllah Tabarakallah.
Gaya pengasuhan semacam itulah yang telah menoreh luka. Tak jarang tumbuh rasa dendam dan benci karenanya. Sialnya, kenangan membuat kita melakukan lagi hal yang sama pada anak keturunan kita. Mengulang kembali kata-kata serupa meski tak sama.
Merdeka dari Luka, Bagaimana Tidak Mengoreskan Luka yang Sama untuk Anak-anak?
Mengendaplah, Ayah.
Istirahatlah, Bunda.
Mari duduk bersama.
Sadarilah sebenarnya bukan anak kita yang bermasalah. Kita sendirilah yang mesih memiliki masalah. Basuh bersama luka-luka lama. Sembuhkan dengan memaafkan orang tua kita sebagai langkah pertama.
Maafkanlah, lalu minta ampunkanlah untuk mereka. The power of forgiveness. Bukankah Dia, Sang Pemilik jiwa adalah Yang Maha Pemaaf?
Merdekakan diri kita dari rasa sakit yang telah lama kita pendam dalam diam. Rasa sakit yang bekasnya melekat erat dalam jiwa. Rasa sakit yang kita teruskan pada anak-anak, meskipun kita sendiri membencinya. Merdekalah, Ayah dan Bunda.
Jika kita tidak bisa melakukannya seorang diri, tak ada salahnya meminta bantuan ahli. Mungkin kita butuh diterapi. Mari menolong diri sendiri agar selanjutnya bisa menolong si buah hati. Putus mata rantai itu sampai di sini.
Adaptasi kebiasaan baru akibat pandemi tidak hanya meliputi norma baru (new normal), tapi juga perilaku baru (new behavior) serta budaya baru (new culture). Begitu penjelasan Dr. Hermawan, seorang pakar kesehatan masyarakat kita.
Beliau benar. Tak hanya itu, kita pun harus lahir sebagai orang tua baru (new parent). Orang tua yang lebih sehat jiwanya. Tak harus sempurna. Cukup lebih sehat dari sebelumnya. Saya pun sedang berusaha. Saya ingin merdeka dari luka lama.
***
Ditulis oleh Rizka Aziza