"Menjadi Anak Broken Home Membuat Saya Tidak Ingin Memiliki Anak"

Pandangan dan informasi yang diceritakan di dalam artikel ini merupakan pendapat penulis dan belum tentu didukung oleh theAsianparent atau afiliasinya. TheAsianparent dan afiliasinya tidak bertanggung jawab atas konten di dalam artikel atau tidak bisa diminta pertanggungjawaban untuk kerusakan langsung atau tidak langsung yang mungkin diakibatkan oleh konten ini.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Saya berasal dari keluarga yang berantakan. Ya, diusia yangbegitu belia, saya sudah menjadi anak broken-home. Kondisi ini membuat masa kecil saya tidak bisa dibilang menyenangkan.

Orangtua saya memutuskan bercerai saat saya berusia 7 tahun. Masih terngiang dalam memori saya ketika ayah memberitahukan soal perceraian pertama kali. “Mama dan papa akan bercerai. Tapi kamu tidak usah khawatir. Semua akan baik-baik saja. Nanti papa belikan video game,” begitu katanya. 

Saya menjadi anak broken home, ketika itu saya pikir akan tidak banyak perbedaan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan secara berlebihan. Namun kenyataannya tidak demikian.

Perceraian kedua orang tua saya menelan proses yang panjang di pengadilan karena perebutan hak asuh anak. Dalam hari-hari penantian, mereka tetap tinggal di satu atap, yang artinya, penuh pertengkaran brutal yang tidak dapat saya lupakan.

Saya anak broken home, benar-benar tidak memahami mengapa orang tua tidak bisa menyelesaikan masalah dengan kepala dingin? Perceraian dan pertengkaran kedua orangtua saya melumpuhkan masa kecil saya, yang seharusnya bahagia dan ceria.

Menjadi Anak Broken Home, Membuat Saya Takut Memiliki Anak 

Menjadi anak broken homen, apa dampaknya bagi saya di kemudian hari?

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Meski tak terlihat dari luar, ada satu trauma mendalam bagi saya mengenai masa kecil. Saya merasa suatu hari nanti. saya tidak akan bisa menjadi orang tua yang baik. Sebab bagaimana seseorang dapat menjadi orang tua yang baik sementara ia tidak pernah merasakan, melihat, dan belajar dari masa kecilnya sendiri?

Kondisi ini pun membuat saya selalu takut untuk memiliki anak.

Setelah usia pernikahan saya yang ke delapan, kami belum dikaruniai anak. Mungkin, saya perlu bersyukur untuk hal ini, karena sejujurnya saya masih tidak yakin dapat menjadi seorang ibu yang baik. Saya menikmati masa-masa pernikahan tanpa anak, kami bebas melakukan apa saja. Melanjutkan pendidikan, mengejar karier, hang out dengan teman-teman.

Rasanya hidup sudah lengkap, meski tidak memiliki anak.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Oleh sebab itu ketika saya menerima kabar dari dokter bahwa saya hamil, saya merasa dunia saya runtuh. Tidak, saya belum mau meninggalkan hidup saya sebagai orang bebas. Karier saya masih panjang. Bahkan, saya sedang merencanakan untuk melanjutkan sekolah.

Semua terasa tidak tepat. Mengapa harus hamil? Mengapa sekarang? Lalu, kenapa saya?

Padahal saya memiliki banyak teman yang sangat ingin hamil, bahkan sampai melakukan berbagai program. Tapi, kenapa Tuhan memilih saya? Saya jelas tidak punya kriteria sebagai ibu yang baik. Saya juga ragu bisa membesarkan anak ini.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Apakah sebaiknya kehamilan saya diterminasi? Bukan satu kali hal ini terbersit dalam pikiran saya. Saya tidak percaya diri untuk menjadi orang tua. Sepanjang kehamilan saya, saya seringkali terbayang akan masa lalu saya, masa kecil yang tidak bisa dibilang bahagia.

Bagaimana kalau saya justru melahirkan anak ini ke dunia dan membuat anak ini menderita? Bagaimana jika saya melahirkan dia dan pada akhirnya tidak dapat menjadi orangtua yang baik?

Tidak Mudah, Tapi Kami Bisa Melewati Bersama-sama

Pernah suatu kali, saya terbenam dalam tangisan. Saya merasa betul-betul tidak sanggup lagi melanjutkan kehamilan ini. Terlalu banyak rasa khawatir, terlalu banyak tekanan. Saat itu, meskipun mungkin saya hanya berkhayal, saya mendengar suara spiritual dalam jiwa saya, seperti janin ini berkata kepada saya, “Saya percaya padamu, mama. Percayalah juga kepadaku. Kita akan melewatinya bersama-sama.”

Suara spiritual itu yang menguatkan saya melanjutkan kehamilan saya. Di trimester akhir, perasaan stress dan tidak percaya diri makin menghantui saya. Mau tidak mau saya harus melahirkan anak ini sekarang. Lalu bagaimana? Bagaimana jika saya kurang mencintainya? Bagaimana jika saya kurang sabar? Bagaimana jika saya merusak masa depan anak saya dengan perilaku saya?

Di tengah rasa kalut, lagi-lagi, suara itu berkata, “Saya percaya padamu, mama...”

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Sejujurnya ras khawatir tidak menghilang bahkan setelah saya melahirkan anak saya. Ketika saya melihat wajahnya yang cantik di dekapan saya. Ketika melihat senyumnya yang penuh damai. Saya merasa bahagia. Meski demikian, saya tetap bertanya-tanya sendiri,  bagaimana saya bisa membesarkan makhluk kecil ini dengan baik?

Tapi setiap kali kekuatiran itu merasuk, bayi dalam dekapan saya akan menatap saya dalam-dalam, dan dalam tatapannya, saya seperti diingatkan, bahwa bayi ini percaya pada saya, sebab hanya sayalah yang dimilikinya di dunia ini.

Tuhan Telah Mempercayakan Saya Jadi Seorang Ibu

Jikalau saya terus menerus khawatir dan tidak percaya diri, kepada siapa anak ini bisa mempercayakan diri? Oleh sebab itu, saya memutuskan untuk bangkit. Anak ini membutuhkan saya, dan ia mempercayai saya. Saya pun harus percaya pada diri saya sendiri, sebagaimana Tuhan telah mempercayakan anak ini kepada saya.

Memenangkan jeratan trauma masa lalu memang tidak mudah. Sampai hari ini ketika merawat anak saya, justru makin banyak memori pahit masa kecil yang kembali diputar di otak saya, seperti sebuah film yang jelas. Tetapi sama seperti ketika saya memutuskan untuk melanjutkan kehamilan saya dan melahirkan anak saya ke dunia, saya memutuskan untuk terus memberanikan diri.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Saya memberanikan diri untuk mengingat kembali memori masa kecil saya, dan belajar dari semua itu. Saya belajar untuk tidak melakukan apa yang buruk, saya memutuskan untuk tidak mengikuti rantai kekerasan. Saya menggunakan memori-memori pahit itu justru untuk tidak melakukannya pada anak saya. Saya juga belajar untuk percaya pada diri saya sendiri, bahwa usaha saya pasti membuahkan hasil.

Ternyata menjadi orangtua adalah sebuah pembelajaran. Tidak ada yang menjadi orangtua yang baik secara alamiah. Menjadi orangtua yang baik bukan sebuah bakat lahir, melainkan adalah sebuah proses. Meskipun saya berasal dari keluarga broken home, tapi saya bisa belajar bangkit dan percaya pada diri saya sendiri.

Semua masa lalu yang buruk, saya percaya diizinkan Tuhan dalam hidup saya, bukan supaya saya putus asa dan meratapi nasib, melainkan supaya hal ini tidak lagi terulang. Bagi para Parents di luar sana, kamipun butuh dukungan kalian. Jangan katakan bahwa anak broken home akan selalu mengulang takdir itu dalam rumah tangganya sendiri. Rantai kekerasan itu harus diputuskan. Dan saya siap memutusnya.

 

Ditulis oleh Jessica Layantara, VIPP Member theAsianparent ID