Saat ini, ada banyak berita hoax, tulisan dengan judul bombastis, satire, dan informasi yang membuat orang-orang panik. Jika ada banyak orang tua yang tersesat dengan berita hoax, bagaimana dengan anak-anak?
Mengajarkan anak-anak daya kritis sangat penting agar ia lebih bijak mengonsumsi informasi. Selain baik untuk anak, hal ini juga baik untuk mengingatkan orang tua agar tidak mudah menelan informasi mentah-mentah.
Sayangnya, melatih anak untuk dapat mencerna informasi yang sehat tidak mudah. Bahkan, orang dewasa pun masih rentan mempercayai berita hoax.
Memberikan pertanyaan akan melatih kekritisan anak. Selain itu, ada metode khusus yang dapat diterapkan agar anak dapat belajar kritis dalam bermedia.
Berikut cara mengajari anak untuk kritis dalam menggunakan sosial media.
1. Ajukan pertanyaan kritis padanya
Berikan pertanyaan berikut ketika anak menerima broadcast “dari tetangga sebelah” yang biasanya ada di whatsapp maupun berita-berita online yang bombastis.
- Siapa yang membuat berita ini?
- Siapa target pembaca?
- Siapa yang membayar untuk ini? Atau, yang dibayar jika kamu mengklik ini?
- Siapa yang akan diuntungkan atau dirugikan oleh pesan ini?
- Apa yang tersisa dari pesan ini yang mungkin penting?
- Apakah media ini dapat dipercaya dan apa yang membuat kamu berpikir bahwa media ini layak dipercaya?
2. Periksa sumber berita
Periksa alamat sumber maupun url berita. Misalnya, apakah berita tersebut berasal dari laman dengan alamat yang valid. Misalnya, ajarkan anak untuk membedakan akun berita yang asli maupun blog. Perhatikan alamat situs, apakah itu dari blogspot, .com, .io, dsb.
3. Mengetahui kualitas berita
Mencari tanda-tanda berita berkualitas rendah. Misalnya seperti judul berita maupun isi berita dengan huruf kapital semua, berita utama dengan kesalahan mencolok soal tata bahasa, klaim berani tanpa sumber, dan gambar sensasional (gambar editan). Ini adalah petunjuk bahwa Anda harus skeptis dari sumber.
Periksa bagian “Tentang Kami” pada bagian situs. Cari tahu siapa mendukung situs atau yang terkait dengan itu. Jika informasi ini tidak ada dan jika situs mengharuskan mereka untuk mendaftar sebelum dapat mempelajari apa-apa tentang para pendukungnya, maka anak harus bertanya-tanya mengapa mereka tidak transparan.
4. Cek ulang berita
Periksa Wikipedia, dan Google sebelum mempercayai atau berbagi berita yang tampaknya terlalu bagus untuk dibaca maupun terlalu atau buruk untuk menjadi kenyataan.
Pertimbangkan apakah media utama lainnya melaporkan berita yang sama. Jika mereka tidak, itu tidak berarti itu tidak benar, tapi itu tidak berarti Anda harus menggali lebih dalam.
5. Ajari kepekaan emosi
Periksa emosi Anda. Berita pencari klik dan hoax selalu berusaha untuk memberikan reaksi ekstrim. Jika berita yang anak baca membuat ia benar-benar marah atau super puas, itu bisa menjadi tanda bahwa Anda sedang dimainkan. Memeriksa beberapa sumber sebelum mempercayainya.
Bahkan, metode ini bisa juga diajarkan dari orang tua kepada anak dalam komunikasi verbal agar anak tak menelan mentah-mentah gosip dari teman yang ia dengar. Jadi tahap ini tak hanya berlaku soal berita di media.
Menjalankan tahap itu memang tak mudah. Hal ini juga hanya bisa diterapkan pada anak yang benar-benar sudah menjadikan internet sebagai sumber informasinya. Misalnya, anak usia 9 tahun sampai remaja.
Mengajarkan anak berpikir kritis dalam bermedia agar dapat mendeteksi berita hoax pada anak juga dapat menjadi pengingat bagi orang tua. Sekalipun sudah berhati-hati, kadang kita pun masih termakan oleh berita palsu, apalagi yang berhubungan dengan isu kesehatan maupun politik.
Semoga dengan ini kita lebih hati-hati dalam bermedia ya, Parents…
Referensi: CNN, Standard.
Baca juga: