3 Alasan Susahnya Mengajari Anak Bahasa Jawa Sebagai Bahasa Ibu

Buat aku yang tinggal di lingkungan masyarakat Jawa, ternyata melakukan hal ini pun tak mudah!

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Tinggal di Yogyakarta membuat saya sejak kecil diajari bahasa Jawa. Ya, bahasa Jawa adalah bahasa ibu saya. Meski bahasa Jawa krama saya tidak fasih, setidaknya masih bisa paham kalau mendengarkan obrolan simbah-simbah tetangga. Meski dalam percakapan sehari-hari kami antar orang dewasa di dalam rumah menggunakan bahasa Jawa, saya sendiri mengalami kesulitan untuk mengajari anak bahasa Jawa, terutama anak bungsu saya yang baru berusia 3 tahun.

Sekarang bermunculan kalimat aneh campur-campur yang kadang bikin saya geli sendiri. "Sini, sini, nanti ndak diseneni" (sini, sini, biar nanti tidak dimarahi), "iyo, maem nggo sendok nggak apa-apa" (iya, makan pakai sendok tidak apa-apa), "aja nakal, nanti dijiwit lho" (jangan nakal, nanti dicubit lho"), dll. Campur baur seperti ini sebenarnya sangat merusak bahasa itu sendiri.

Jika saya pikir dan renungkan, ada 3 hal yang menjadi alasan bagi saya orang Jawa mengajari anak Bahasa Jawa. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kurangnya percaya diri

Kami, sebagai orang tua Jawa tulen, memang sejak dulu berkeinginan mengajarkan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu terlebih dahulu ke anak-anak kami. Selain untuk melestarikan bahasa daerah yang kalau bukan kita siapa lagi, juga karena bahasa Jawa masih menjadi bahasa percakapan kami sehari-hari di sini. Masa asli Jawa, tinggal di Jawa, tidak bisa bahasa Jawa? Kan tidak lucu juga.

Kalau sudah menyentuh bau sekolah, tentunya mereka akan dengan sendirinya bisa berbahasa Indonesia, seperti saya dulu. Intinya, mengajari bahasa Indonesia pasti bakal lebih mudah, deh, karena menjadi bahasa pengantar pendidikan dan di televisi pun banyak bahasa Indonesianya.

Di tengah godaaan teman dan tetangga yang mengajari anak mereka bahasa Indonesia, terlihat lebih pintar dan gaul, kami bersikukuh pelan-pelan mengajari bahasa Jawa kepada anak kami. Sebuah ikhtiar dan tantangan yang sangat sulit di zaman serba digital sekarang ini. Padahal bahasa Jawa yang kami ajarkan juga bahasa Jawa ngoko, lho, bukan krama madya maupun inggil yang jauh lebih susah.

Saat mengajari anak Bahasa Jawa, kita juga harus konsisten dan percaya diri ya, Parent. Kita juga harus memberi contoh dengan menggunakan bahasa Jawa saat berbicara kepada anak. Kesulitan dan kebingungan saat mengajarkan bahasa Jawa ini terkadang membuat saya ingin menyerah, lho.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Artikel terkait: Parents, Ini Kosakata Bahasa Jawa untuk Percakapan Sehari-hari

2. Sudah Kenal gadget

Tidak dipungkiri, anak bungsu saya lebih sering mendengar lagu berbahasa Indonesia yang didapat dari tontonan YouTubenya. Mulai dari Super Jojo, Tayo, sampai Coco Melon, semuanya memakai bahasa selain bahasa Jawa. Kalau bukan bahasa Indonesia, ya bahasa Inggris. Maka, ia akan lebih sering mengucapkan "tidak" ketimbang "ora" atau "mboten".

Kadang kalau jatuh saat berlari, ia secara otomatis bilang "tidak apa-apa". Atau kalau melarang kakaknya, ia bilang, “No, no, no!” Tadinya saya pikir itu keren, tapi lama kelamaan kok “tidak pas” juga ya. Ah yang penting bisa ngomong saja dulu. Akan tetapi, lama kelamaan kok kosakata bahasa Indonesianya ternyata jauh kebih banyak dibanding bahasa Jawanya ya. Pusing sendiri jadinya.

Berbeda dengan adiknya, pengajaran bahasa Jawa ke kakaknya dulu terasa jauh lebih mudah. Interaksi anak dengan keluarga, termasuk kakek neneknya, menggunakan bahasa Jawa. Tak ada tontonan YouTube maupun gadget lainnya semarak sekarang.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Kalaupun menonton video, dulu ada Timmy-nya Shaun The Sheep yang tanpa dialog bahasa apapun. Selain itu, mungkin lagu-lagu anak berbahasa Indonesia standar, macam Balonku Ada Lima, Cicak-cicak di Dinding, dll. Yang jelas, gempuran video anak berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris tidak sedahsyat sekarang.

Artikel terkait: 150 Nama Bayi Perempuan Jawa Beserta Maknanya yang Indah

3. Lingkungan yang Heterogen Membuat Kegiatan Mengajari Anak Bahasa Jawa kian Menantang

Sebenarnya saya cukup bingung dengan situasi pertemanan anak saya. Masih di desa wilayah Yogyakarta, bukan kota yang notabene jauh lebih heterogen lho, temannya kebanyakan ya anak desa yang beberapa sudah masuk PAUD. Teman anak saya sudah masuk PAUD dan sudah lancar berbahasa Indonesia, setidaknya kalau dibandingin anak saya yang bahasanya campur-campur.

Kadang kalau mereka main, saya bingung harus membahasakan mereka bahasa apa. Kalau bahasa Jawa, ada beberapa anak yang tidak paham. Akan tetapi, kalau berbahasa Indonesia kok seperti mengusik nurani, semacam “Ini kita di Jawa bukan, sih?”. Sedih ya, Parents.

Maka, yang tadinya geli mendengar bahasa campur baur dari orang lain, saya akhirnya juga ikut mencampur bahasa Indonesia dan Jawa juga. “Pelan-pelan ya, nanti ndak tibo” (Pelan-pelan ya, nanti jatuh!) adalah kalimat yang sering saya ucapkan. Geli sendiri jadinya. Tapi, ya mau bagaimana lagi?

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Sebenarnya kasihan juga ya ke anak-anak yang baru pertama kali belajar berbicara tetapi sudah dihadapkan pada perbedaan dua bahasa atau lebih. Mungkin akan terjadi masalah dalam pemerolehan bahasa anak tersebut.

Mengutip jurnal Pemerolehan Bahasa Pertama Anak Menurut Tinjauan Psikolinguistik yang ditulis Suci Rani Fatmawati (2015), pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak anak-anak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya.

Pemerolehan bahasa bagi anak memang menjadi persoalan tersendiri bagi para orang tua. Memang akan lebih mudah kalau orang tua dan lingkungan sekitar sama bahasanya ya, Parents. Jadi, kalau memang masih ingin mengajarkan bahasa Jawa ke anak sejak kecil setidaknya memang membutuhkan siasat yang harus dahsyat. Mengurangi gadget, memaksa orang di rumah memakai bahasa Jawa, misalnya.

Atau memperdengarkan lagu anak berbahasa Jawa “Gundul gundul pacul” misalnya. Yang jelas, kalau sejak kecil sudah memilih pada bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu, mungkin besarnya nanti akan menyesal saat bertemu orang Suriname yang jauh lebih jago bahasa Jawanya.

Kalau Parents, tim bahasa daerah atau bahasa nasional untuk bahasa ibu anaknya?

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Ditulis oleh Primasari N. Dewi, UGC Contributor theAsianparent.com

Artikel UGC lainnya: 

id.theasianparent.com/anak-sering-garuk-telinga-hingga-lecet

id.theasianparent.com/mama-tomo

id.theasianparent.com/mengajak-anak-autis-berwisata-ke-ciwidey

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan