KDRT meningkat selama masa pandemi, apa yang harus dilakukan?

Beragam masalah muncul selama masa pandemi COVID-19, tak terkecuali dalam hubungan rumah tangga. Parahnya, konflik rumah tangga ini hingga bisa berujung KDRT.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Selama masa pandemi COVID-19, seluruh masyarakat diimbau untuk di rumah saja, melakukan segala aktivitas di rumah. Mulai dari kerja dari rumah, sekolah dari rumah, hingga beribadah di rumah ketika bulan Ramadhan sudah tiba.

Rumah semestinya menjadi tempat paling aman, terutama bagi perempuan dan anak-anak, khususnya di masa pandemi COVID-19. Sayangnya, bagi sejumlah orang, tinggal di rumah justru sama berisiko dengan berkeliaran di luar rumah.

Kengerian itu pun terjadi dengan alasan yang kuat. Hal itulah yang dikisahkan oleh seorang ayah dari komunitas theAsianparent selama di rumah saja dalam masa pandemi COVID-19 ini, yang mungkin sama juga dirasakan oleh Parents lain.

Artikel terkait : Kisah Parents: “Jangan abaikan demam, bayi kecilku alami dengue shock syndrome”

Beragam aturan baru ditetapkan selama masa pendemi COVID-19

Virus Corona yang menyebabkan COVID-19 memiliki tingkat penularan tinggi. Untuk membatasi sepak terjangnya menjangkiti manusia, banyak negara mengambil kebijakan untuk membatasi mobilitas warganya di ruang publik. Sekolah dan universitas ditutup, fasilitas umum diblokir, serta kios, restoran, pusat perbelanjaan dilarang beroperasi. Kecuali sektor yang memasok kebutuhan dasar. Dampaknya, banyak bisnis pingsan, bahkan mati. Karyawan dirumahkan dan dipecat, dan bagi yang masih diperintahkan, mereka diharuskan bekerja dari rumah. Negara-negara seperti Italia, Spanyol, dan India menerapkan lockdown atau karantina wilayah. Tentu saja tujuannya untuk memutus mata rantai penyebaran kasus positif COVID-19. Selama lockdown, tempat umum, transportasi massal, dan kegiatan industri ditangguhkan sementara. Masyarakat diwajibkan tetap berada di rumah dan membatasi aktivitas di ruang publik. Pelanggaran atas aturan tersebut bakal berujung denda atau penjara. Sementara di Indonesia, sejumlah kota seperti Jakarta dan Bandung Raya, mulai memberlakukan semacam karantina tersebut, dengan beberapa modifikasi dan ketentuan khusus. Adapun istilah resminya yaitu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). “Apapun namanya, efek COVID-19 ke miliaran penduduk bumi nyaris serupa: bikin kehidupan orang jungkir balik. Dan pada titik tertentu, karakter dasar yang tersimpan pada masing-masing individu, mulai mengapung ke permukaan. Segala macam latihan keras untuk menjadi manusia, baik itu didapat di sekolah atau di keluarga, digerogoti pelan-pelan. Karantina berimbas pada bangkitnya monster yang terpenjara dalam diri,”.

Masalah pandemi belum usai, muncul masalah baru, yakni KDRT yang merajalela

Tersebarlah berita itu, tentang kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang meningkat di banyak negara, termasuk Indonesia, selama pandemi. Situasi ini hingga membuat Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres menyampaikan pesan melalui Twitter, berupa: “Semua pemerintah di dunia hendaknya memprioritaskan keselamatan perempuan saat menangani pandemi”. Di Jakarta, rata-rata angka KDRT mencatatkan rekor tertinggi untuk periode dua minggu, demikian kesimpulan LBH Apik. Kondisi lebih parah agaknya dapat menimpa rumah tangga yang memang sudah kadung akrab dengan kekerasan. Dalam situasi pra-COVID-19, intensitas KDRT bisa saja terganjal oleh mobilitas pasangan. Ada waktu ketika pelaku atau korban berada di luar rumah untuk beraktivitas, sehingga pemicu untuk melakukan kekerasan tidak selalu hadir. Sayangnya, di masa pandemi COVID-19, kemungkinan tersebut menipis. Apalagi jika pelaku dan korban tergencet secara ekonomi, akibat kehilangan penghasilan rutin—baik yang mengandalkan gaji bulanan, atau pemasukan harian. Ini jelas bukan masa yang baik untuk terkurung bersama-sama dalam waktu lama di satu tempat belaka. Tak begitu sulit membayangkannya. Parents telah bertahun-tahun menikah, dikaruniai buah hati sehat dan tak sering bikin repot, lancar membayar cicilan rumah, perkakas dapur, barang elektronik, atau kendaraan. Lalu salah satu dari Parents—atau bahkan keduanya−dirumahkan tanpa gaji, atau bahkan dipecat.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Jika pasar kerja tidak lesu, mungkin harapan untuk cepat dapat pekerjaan lagi masih menyala. Tapi, pasar sedang tak bergairah, kantor-kantor menunda perekrutan, dan peluang usaha menjadi begitu terbatas. Perlahan-lahan, tabungan pun terkikis. Pasangan yang sebelumnya begitu manis tiba-tiba jadi gampang senewen gara-gara urusan sepele, lantaran beban yang bertambah.

“Mengurus rumah, membimbing anak menyelesaikan tumpukan tugas selama bersekolah dari rumah, memikirkan argo cicilan yang terus berputar, mudah berubah menjadi perasaan dongkol berlapis-lapis,”.

Kalau sudah begitu, emosi mudah terpantik, dan dalam situasi begini, sungguh enteng menanggapi emosi dengan emosi. Lama-lama, pertengkaran yang awalnya hanya berwujud adu cekcok bisa berujung kekerasan. Siapa bisa tahu? Tinggal menunggu ada yang memencet tombol itu. Tapi, masa, sih, tidak ada solusi atas masalah seperti itu? Saya tidak tahu. Mesti tanya sama ahlinya, dan memang harus konsultasi sama ahli jika sudah berkenaan dengan KDRT. Namun rasanya, dari sudut pandang awam, semua orang dewasa yang pandai menimbang dengan logika bakal sepenuhnya sadar bahwa saat berhadapan dengan masalah apa pun, jalan keluar akan semakin sulit terlihat kalau emosi menguasai akal sehat.

Menyiasati stres guna meminimalkan risiko masalah rumah tangga

Wabahnya sendiri sudah bikin stres tanpa harus menyertakan dampaknya ke perekonomian. Jadi, tiap orang, baik yang terang-terangan atau diam-diam, menyimpan ketakutan dan kegelisahan. Ini masa yang betul-betul menguji ketahanan di bidang apa pun. Termasuk juga ketahanan rumah tangga. Saya dengar kabar, di Cina angka perceraian naik tajam akibat pandemi. Apa boleh buat? Ketika pekerjaan sulit dicari gantinya, roda perekonomian rumah tangga pasti sulit berputar juga. Tetapi, di sisi lain, mungkin ini justru waktu yang baik untuk menguji cara Parents berkomunikasi dengan pasangan. Kecuali kalau memang punya bakat dalam membaca isi hati orang.

Komunikasi jadi kunci utama

Cara terbaik untuk cari tahu isi pikiran pasangan adalah komunikasi. Kapan waktunya? Terserah, yang penting bisa ngobrol dan tukar pikiran. Tidak masalah pula kalau sama-sama ketus, yang penting bicara. “Tak suka diganggu saat sibuk bekerja? Sampaikan. Tak suka dipaksa-paksa mandi sebelum ada conference call? Bilang.  Terganggu dengan porsi momong anak yang timpang? Kasih tahu. Masih suka belanja online meski duit cekak? Tegur saja. Diam tak selamanya emas,”. Dari pembicaraan kita, jadi bisa tahu tingkat stres pasangan masing-masing. Saya termasuk penganut mazhab biar berantem yang penting berkomunikasi. Verbal maupun nonverbal, lewat kata-kata atau isyarat tubuh. Terkadang teriak-teriak juga. Ya, tidak masalah. Yang penting pesan tersampaikan dan masalah tidak berlarut-larut. Meski tantangannya saat karantina ini juga tidak ringan. Sebab tiap orang sebenarnya jadi hidup dalam sangkar. Mau sangkar itu terbuat dari emas, titanium, beton, atau jalinan bambu sekalipun, ia tetap kandang. Sadar berada di sangkar saja sudah bikin stres, apalagi ditambah berhadapan dengan orang yang itu-itu saja selama berminggu-minggu—atau mungkin berbulan-bulan ke depan. Jadi, salah satu nasihat agama betul-betul terpakai dalam kondisi begini: redam ego, redam ego.

KDRT muncul karena ego yang ingin terus ditonjolkan sehingga melahirkan ketidaksetaraan peran. Suami merasa paling mulia karena posisi laki-laki konon tinggi. Istri merasa lebih bermartabat karena berpenghasilan lebih besar. Itu semua egoisme.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Membuka mata atau telinga terhadap stres yang dialami oleh istri juga bagian menurunkan ego. Biasanya kalau sudah tinggal bersama selama bertahun-tahun, ada bahasa nonverbal yang masing-masing pasangan sudah pahami. Bersikap cuek terhadap bahasa nonverbal itu biasanya akan bermuara pada komentar, “masa gitu aja nggak ngerti, sih, kita kan udah lama bareng”. Mengurus rumah bukan pekerjaan mudah. Apalagi ditambah dengan mengurus anak. Perkara bakal ruwet kalau istri juga orang kantoran. Bebannya semakin besar karena sulit bikin batas urusan rumah dan kantor ketika periode bekerja dari rumah seperti sekarang. Bakal ada perasaan bahwa tugas-tugas datang seperti tsunami, tidak habis-habis. Membersihkan kamar mandi, memasak, merapikan segala, meladeni anak ribut, mengurus orang tua sakit, dan lain sebagainya. Kantor yang pada hari-hari biasa menjadi ruang pelepasan atau jeda dari rutinitas di rumah kini justru ada di rumah. Tingkat stres jadi naik berlipat-lipat. Kalau sudah begitu, penting untuk merendahkan diri, mengakui bahwa ini seperti kondisi darurat dan merasa diri lebih dari pasangan takkan menyelesaikan persoalan. Justru, sudah saatnya mempraktikkan kata-kata yang selama ini cuma jadi jargon seperti kolaborasi atau pembagian peran. Masalahnya biasanya bukan tidak bisa, tapi tidak mau.

Tetap mengupayakan ‘me time‘ di tengah masa pandemi COVID-19

Masalah utama saat berada di rumah pada masa pandemi ini adalah kita tidak tahu kapan semua ini akan berakhir. Dengan begitu, kita jadi tidak tahu kapan masing-masing dari kita punya ‘me time’. Pada kondisi normal, ‘me time‘ seakan masih dalam jangkauan. Mungkin tidak mudah juga, tapi ada celah melakukannya. Kita belum kena batasan mobilitas, sehingga mau pergi ke mana saja, bebas. Dunia tak selebar daun kelor. Tapi, sekarang, di masa COVID-19, dunia sebatas daun kelor. Daya jelajah terbatas di rumah. Parents tahu bahwa ketika pikiran sedang keruh dan mentalitas sudah kacau-balau, kita hanya bisa menemukan obatnya di rumah, bukan lain tempat. Surga-neraka Parents ada di situ, bukan lain tempat. Tegangan dalam hubungan pasti datang, cepat atau lambat. Jika biasanya tegangan itu bisa dilampiaskan lewat pertemuan dengan teman atau saudara dekat, atau hobi, kini banyak Parents kehilangan sarana itu.

Segera ambil tindakan pencegahan timbulnya masalah rumah tangga

Mau tidak mau, kita mesti lebih kreatif dengan masing-masing pasangan mengenai cara berhubungan dan menghabiskan waktu bersama. Misalnya, mulai membatasi obrolan tentang COVID-19. Atau, tidak meremehkan kekhawatiran pasangan dengan cara menjadi pendengar yang lebih baik. Itu kadang alasan kita untuk datang ke sahabat, kan? Supaya didengar? Sudah saatnya juga untuk menentukan ruang mana yang akan dipakai untuk beraktivitas sehingga masing-masing pasangan merasa ada dalam ‘garis batasnya’. Mesti ada obrolan tegas mengenai kebutuhan dan pengharapan masing-masing pasangan tentang ‘garis batas’ ini pada masa bekerja dari rumah. Informasikan kepada pasangan tentang waktu saklek—dari pukul berapa hingga pukul berapa—yang tidak bisa diganggu gugat. Itu baru beberapa misal saja. Sebab, ada banyak hal yang dapat Parents tetapkan bersama pasangan tentang norma baru ini. Tujuannya adalah membuat masing-masing bisa berfungsi dengan baik, dan rumah tangga tetap berjalan. Ada sedikit marah-marah, itu biasa. Bumbu, kata orang-orang. Yang penting tidak berujung kekerasan.

***

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Itulah kisah seorang ayah dalam melihat situasi masa pandemi COVID-19 sekarang ini dan kaitannya dengan hubungan rumah tangga. Semoga Parents yang membaca bisa memetik hal positif dari sana.

Baca juga :

"Awalnya senang, lama-lama jenuh" curhat seorang ayah yang harus WFH selama pandemi

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan