Lika-Liku Hamil Pertamaku, Alami Muntah Hingga Berwarna Hitam Sepanjang Kehamilan

Pandangan dan informasi yang diceritakan di dalam artikel ini merupakan pendapat penulis dan belum tentu didukung oleh theAsianparent atau afiliasinya. TheAsianparent dan afiliasinya tidak bertanggung jawab atas konten di dalam artikel atau tidak bisa diminta pertanggungjawaban untuk kerusakan langsung atau tidak langsung yang mungkin diakibatkan oleh konten ini.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Senang dan bahagia. Itulah bentuk emosi yang muncul ketika mengetahui hasil testpack menunjukkan garis dua. Bahagianya luar biasa walaupun mungkin dia dengan ekspresi wajah datarnya. Ya, suamiku termasuk yang tidak begitu ekspresif, cukup kesulitan untuk menggambarkan di wajahnya seperti apa bentuk emosinya pada saat itu.

Sebenarnya bukannya tidak senang pada akhirnya hasil testpack garis dua, namun lebih ke khawatir apakah aku bisa jauh lebih tenang? Apa bisa mengendalikan berbagai macam bentuk emosi negatif? Apakah bisa lingkungan sekitarku mendukung dan menjalankan kehamilanku sesuai dengan yang aku mau dan dianjurkan oleh bidan dan Sp.OG-ku?

Kekhawatiran itu pun sempat terus memuncak mengingat keluargaku dan keluarga suami punya pandangan yang unik dan berbeda mengenai cara memperlakukan ibu hamil. Keluargaku yang lebih condong mengikuti apa yang dianjurkan oleh bidan dan obgyn, sedangkan keluarga suami lebih ke berdasarkan apa yang sebelumnya pernah dilakukan. Tentunya hal itu pun membuatku sempat stres dan sering marah-marah ke suami saking overthinking. Namun, syukurlah semua itu hanyalah kekhawatiranku saja, dan suami pun bisa membentengi hal tersebut mengingat aku yang sejak kecil senang sekali membaca dan kritis terhadap segala sesuatu hal.

Apakah selesai sampai disitu? Tentu saja tidak.

Sekitar 9 minggu pertama mulailah menunjukkan gejala seperti ibu hamil pada umumnya. Tidak suka aroma bumbu, minyak, parfum yang menyengat, parfum aroma buah, sampai bau badan suami ketika selesai mandi pun sampai memicu rasa mual dan ingin muntah. Ya, emosi mulai swing, kadang up kadang down. Banyak selera ingin makan ini dan makan itu atau minum ini dan minum itu, tapi selalu keluar lagi alias muntah.

Sampai akhirnya menyerah tidak ingin makan atau minum lagi. Pernah satu hari nyaris tidak makan dan minum saking lelahnya muntah-muntah terus. Saat itu, masih menganggapnya wajar karena banyak juga yang mengalami hal serupa jadi masih bisa bernapas sedikit lega. Beberapa hari kemudian, walaupun sudah sarapan biskuit, lemper, dan teh manis hangat, lagi-lagi muntah. Namun, kali ini agak sedikit berbeda muntahnya. Bukan warna kekuningan lagi, tapi merah darah segar. Tentu saja panik karena mengalami hal tersebut dan takut terjadi apa-apa. Lagi-lagi, aku dituntut harus tenang dan mengendalikan emosi ditambah juga mertua yang menganggap ini hal wajar.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Kali ini, aku tidak bisa tenang dengan kehamilanku yang aku anggap bermasalah pada saat itu. Aku pun memaksa suami untuk WFH dan mengantarkan ke dokter saat itu juga. Namun tetap saja aku tidak bisa melakukan hal tersebut, karena logikaku selalu bermain dan membantu mengendalikan emosi negatif yang datang menghampiriku. Setelah selesai mengantarkanku ke dokter aku meminta suami untuk tetap pergi ke kantor, karena urusan di kantor jauh lebih membutuhkan suami daripada aku. Aku pun berusaha menenangkan suami bahwa aku akan baik-baik saja apalagi saat itu aku ditemani orangtuaku, kakakku, juga keponakanku.

Ternyata kekhawatiranku selama ini terjawab sudah. Setelah periksa ke dokter, sudah menunjukkan gelaja hyperemesis gravidarum. Banyak sekali obat serta vitamin yang diresepkan untukku, bahkan sebenarnya akupun merasa bosan meminum semua itu. Namun, aku menanggapnya itu adalah coklat terpahit di dunia tapi aku sangat menyukainya, sehingga aku pun tetap mengonsumsi sesuai dengan anjuran dokter. Bahkan ketika kontrol bulanan, bidan pun berpendapat hal yang sama sehingga mulailah disiapkan rujukan kontrol dan rujukan untuk rawat inap di rumah sakit tempat biasa aku kontrol dengan obgyn.

Apakah aku menyerahkan kedua rujukan tersebut? Tentu saja tidak, hanya menyerahkan rujukan kontrol saja. Dokter Sp.OG pun berpendapat kalau aku positif hyperemesis gravidarum dan memang sebaiknya melakukan rawat inap. Namun, aku menolaknya dan merasa sangat yakin kalau masih bisa dilakukan perawatan di rumah.

Semi home care pada akhirnya yang dipilih, jadi pihak anggota keluarga semuanya dilibatkan untuk melakukan perawatan tersebut. Mulai dari memerhatikan asupan makanan, minuman, snack, obat, dan juga vitamin semuanya benar-benar diatur sedemikian rupa sesuai dengan jadwal. Bahkan, suamiku pun berubah menjadi sosok yang posesif dan sempat agak sedikit pusing karena mood swing-ku yang cepat sekali berubah dan juga tidak ingin makan ini dan itu. Ini terus terjadi hingga memasuki kehamilan trimester kedua.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Trimester kedua memang sudah mulai membaik, tapi tidak signifikan. Aku hanya bisa makan yang serba dipanggang, dikukus, atau direbus. Bumbu yang digunakan pun hanya garam dan merica saja. Sesekali mertua bawakan makanan pun bisa dibilang tidak dimakan sama sekali karena terlalu kuat aromanya atau terlalu asam sehingga mengundang rasa mual dan kembali muntah lagi.

Muntahnya pun bukan berwarna merah lagi, tapi hitam. Namun, saat itu aku sudah mulai bisa menerima kondisi kehamilanku seperti ini. Sangat berat karena harus mengalami hyperemesis gravidarum. Saat itu pun aku mulai sering ajak berbicara janin dalam kandunganku, aku berikan beberapa sugesti dan afirmasi positif sehingga aku pun menjalani kehamilan jauh lebih tenang dan berharap hyperemesis yang aku alami pun bisa benar-benar menghilang. Walaupun baru jauh lebih membaik ketika menjelang melahirkan. Sudah mulai enak bisa makan ini dan itu tanpa langsung terasa mual dan muntah, ya walaupun masih tetap ada rasa itu.

Menjalani kehamilan pun jauh lebih bisa menikmati setiap detiknya. Mulai bisa jalan kaki berkeliling di komplek rumah, kadang lari-lari kecil mengejar tukang jualan apapun yang lewat rumah. Mulai bisa ikut suami pergi ke sana kemari, bahkan suami pun selalu mengagendakan ketika weekend harus pergi jalan-jalan, walaupun hanya pergi makan bakso dipinggiran jalan.

Anjuran Meminum Air Rumput Fatimah

Lebaran 2021, adalah minggu minggu menegangkan. Di mana inilah masa-masa menentukan. Harus menstabilkan berat badan janin yang terdeteksi di USG dan berat badan ibunya. Mengontrol asupan makanan jangan terlalu banyak makan yang tidak disarankan. Vitamin tetap harus masuk. Kontrol emosi untuk menjaga kesehatan mental pun juga sangat diperhatikan sekali.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Sekali lagi, keluarga dari suamiku masih sangat kental dengan apa yang pernah dilakukan oleh terdahulunya dan sekali lagi suami pun selalu menjadi bentengnya. Namun, ada satu masa yang membuat aku dan suami ribut besar. Ya, apa lagi kalau bukan karena rumput fatimah. Banyak sekali seminar dari dokter Sp.OG, artikel-artikel yang pernah aku baca, terutama di theAsianparent, bahkan setelah diskusi dengan bidan dan obgyn-ku, tentang bahayanya rumput fatimah. Sampai terucaplah kalimat seperti ini pada suamiku,

“Kalau kamu masih tetap ingin aku ada di sini, temani kamu sampai akhir hayat, dengarkan apa yang sudah aku pelajari dan konsultasikan. Dengarkan juga apa yang disampaikan oleh bidan dan Sp.OG. Kecuali kalau kamu ingin kita selesai dan tidak akan pernah bertemu denganku lagi setelah melahirkan, baru aku akan minum air rebusan rumput fatimah itu. Tapi pesanku, rawat anakku dengan baik seperti aku merawatnya dan jangan pernah menyesali karena kamu memintaku untuk meneguk air rebusan itu.”

Memang ada sedikit kalimat ancaman, namun aku berharap setelah pengalaman kehamilan pertamaku ini cukuplah aku yang diperlakukan seperti itu. Adik dari suamiku jangan pernah mengalaminya juga (kebetulan adik suamiku perempuan dan kita cukup akrab). Dari situlah aku dan suami jalan masing-masing sesuai pemahaman kami. Cukup tegang dan dingin sekali, seperti tinggal di tempat terpencil dan sangat dingin, terlalu menusuk hingga relung hati. Aku pun tetap menjalankan kewajibanku melayani suami dan tidak pernah menuntut hakku.

Namun, ternyata situasi itu hanya bertahan sebentar, sekitar seminggu setelah lebaran. Saat itu aku mulai panik karena aku pikir aku ngompol dan tidak bisa ditahan sama sekali. Flek! Ya aku pun mulai panik dan memaksa suami agar segera membawaku ke rumah sakit. Namun, ibuku berusaha untuk menenangkanku dan menghitung interval kontraksi. Ba’da subuh barulah kami pergi segera ke rumah sakit karena saking paniknya. Sampai harus jalan-jalan ke beberapa rumah sakit terlebih dahulu. Rumah sakit A membolehkan aku untuk pulang dikarenakan pembukaan masih sangat sedikit, selain itu juga karena bed sudah penuh, rumah sakit B sudah mulai mempersiapkan proses persalinan dengan induksi, namun sayang ketika cek ruang rawat inap sudah full. Di situ mulai putus asa dan entah harus ke mana lagi. Namun, tim medis dari rumah sakit B berusaha membantu semaksimal mungkin mencarikan rumah sakit yang masih tersedia bed-nya. Dapatlah di rumah sakit C dan di rumah sakit itulah pada akhirnya aku melahirkan anak pertamaku. Ya, sesulit itu mencari bed yang tersedia ketika aku melahirkan, apalagi saat itu kasus Covid sedang naik-naiknya.

Hal kecil yang pada akhirnya bisa aku benar-benar pahami bukan hanya sekadar dengan pikiran, melainkan juga dengan hati. Masa kehamilan setiap orang tentu berbeda-beda, begitu juga melahirkan. Mungkin orang lain ada yang lebih ringan ketika hamil, tapi saat melahirkan terasa berat. Atau sebaliknya, saat hamil terasa begitu berat, namun saat melahirkan begitu dimudahkan.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Melalui alur yang seperti apapun ketika hamil, percayalah kita sudah menjadi orang pertama yang melindungi anak kita. Seperti kita menghadapi sebuah ujian hidup, lebih sederhananya bisa dilihat dengan cara seperti itu. Kita diberikan alur saat hamil seperti itu karena Tuhan yakin akan kemampuan kita dan kita sanggup untuk melewati alur tersebut. Kalau diberikan ke orang lain belum tentu orang lain itu akan sanggup menghadapinya.

Oleh karena itu, apapun dan seperti apapun serta bagaimanapun alur kehamilan yang kita jalankan, percayalah bahwa itulah yang terbaik untuk kita, karena kita adalah orang terpilih. Sanggup dan kuat untuk melewatinya.

***

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan