Hati saya mencelos begitu membaca berita terkait seorang cleaning service yang jadi korban kekerasan karena dianiaya lima orang siswa SMPN 2 Gelesong Selatan, Sulawesi Selatan.
Tak hanya dipukuli, tenaga honorer ini pun mendapat kekerasan verbal karena dimaki-maki dengan kata-kata kasar oleh siswa yang rata-rata masih berusia 12 tahun ini.
Adalah Faisal Daeng Pole (38), seorang cleaning service mendapatkan luka di kepala karena menjadi korban kekerasan fisik dan verbal. Seperti yang telah diberitakan Detik News, peristiwa ini terjadi di lingkungan sekolah beberapa hari lalu, 9 Januari 2019.
Kepada Detikcom, Kapolres Takalar AKBP Gany Alamsyah menjelaskan saat itu Faisal sedang membersihkan sampah, tiba-tiba saja datang 5 orang anak yang mengejeknya dan mengatakan bahwa Faisal adalah ‘pengawai anjing’ dan ‘pegawai najis’.
Mendapatkan perlakukan yang tak menyenangkan, Faisal pun segera menegur siswa tersebut. Sayangnya, para siswa justru tetap melakukan aksinya hingga memancing emosi Faisal hingga ia mendatangi salah satu siswa dan menamparnya.
“Saya datangi mereka. Lalu saya bilang, saya ini bukan anjing. Saya ini orang baik-baik. Tetapi kemarin ini sudah keterlaluan. Guru-gurunya saja sudah banyak mengeluh dipanggil anjing sama mereka,” ujar Faisal yang telah menjadi korban kekerasan.
Setelah peristiwa penamparan tersebut, para siswa pun segera pulang. Siapa sangka, peristiwa tak berhenti sampai di sana. Salah seorang orangtua siswa, Muhammad Rasul, justru kembali ke sekolah dan ikut menampar Faisal, sang cleaning service. Muhammad Rasul bahkan memerintahkan para siswa untuk mengambil sapu ijuk bergagang besi dan mengeroyok Faisal.
Saat ini, status para siswa dan orangtua pengeroyok tenaga honorer sekolah ini masih dalam pemeriksaan polisi.
Anak fotocopy orangtua
Pernah mendengar istilah chidren see, cildren do? Atau pepatah yang mengatakan bahwa buah tak jatuh jauh dari pohonnya?
Kondisi ini juga terkait dengan tindak kekerasan seperti kasus yang dialami Faisal, sang cleaning service. Peristiwa ini seakan menegaskan biar bagaimana pun, orangtua memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan karakter anak.
Anak merupakan mesin foto copy orangtua, sehingga apa yang dilakukan anak sering kali menjadi cerminan orangtua.
Para psikolog menegaskan perilaku dan perkembangan anak memang dipengaruhi beberapa hal.
Mulai dari faktor nature, yaitu orangtua mewariskan genetik, dan faktor nurture, ketika perilaku anak juga dipengaruhi lingkungan terdekat. Artinya, interaksi orangtua ataupun lingkungan terdekat anak dapat membentuk pola berpikir dan sikap anak di kemudian hari.
Kepada theAsianparent Indonesia, psikolog anak dan remaja Roslina Verauli M. Psi menandaskan bahwa seseorang bisa melakukan tindakan bullying sebenarnya sangat kompleks. Tidak hanya profil indvidu bersangkutan, riwayat pengasuhan juga memiliki peran sangat besar.
Oleh karena itulah, psikolog anak dan remaja yang praktik di RS. Pondok Indah ini mengingatkan bahwa anak perlu mendapatkan contoh konkret dari orangtuanya. Dalam hal ini pola asuh yang dibutuhkan anak adalah pola asuh yang hangat dan ekspresif secara emosional termasuk dalam memberikan kasih sayang.
Ia mengatakan, “Saat orangtua memberikan peraturan pada anak, tentunya perlu dengan jelas dan tegas. Jangan membuat peraturan yang membuat anak ketakutan. Orang tua juga harus terbuka sehingga anak secara emosional dekat dengan orang tuanya karena ini yang paling dibutuhkan anak untuk mencegah anak menjadi pem-bully.”
Sudahkah kita menjadi contoh yang baik untuk anak-anak?