Setelah mengandung sembilan bulan lamanya, kelahiran Si Kecil merupakan momen yang ditunggu-tunggu. Rasa bahagia dan haru, semua bercampur jadi satu. Itulah yang aku rasakan. Sejak saat itu, aku menyandang status baru, menjadi seorang Ibu.
Berbagai tantangan baru hadir seiring dengan bertambahnya peranku sebagai seorang Ibu. Sungguh sangat bahagia diriku tatkala menjadi seorang Ibu baru, namun perjuangannya juga tidaklah mudah. Perjuangan yang sesungguhnya baru saja dimulai.
Hari pertama menjadi seorang Ibu, tentu saat itu aku masih di RS untuk pemulihan setelah operasi Caesar. Aku belum terlalu mengalami kesulitan mengurus Si Kecil karena masih ada bantuan dari perawat bayi di RS dan bantuan dari sepupu Suamiku. Ketika Si Kecil sudah boleh rawat gabung denganku, peranku sebagai seorang Ibu dimulai yaitu menyusui Si Kecil.
Sewaktu masih hamil, aku sudah mempelajari tentang ilmu menyusui (pelekatan yang benar, tanda kecukupan ASI, dan lain-lain), tetapi saat dipraktikkan, memang tidak selalu mudah. Aku belum percaya diri saat menyusui Si Kecil, banyak hal berkecamuk di pikiranku saat itu. Alhamdulillaah, perawat bayi mengajariku bagaimana posisi menyusui untukku yang saat itu bahkan belum belajar duduk, miring kanan dan kiri. Aku juga diajari bagaimana harusnya posisi bayi saat menyusu, durasi menyusui, dan frekuensi menyusui Si Kecil.
Sudah berusaha mencari tahu tentang ilmu menyusui saja masih kebingungan, bagaimana kalau tidak mempelajari sama sekali? Terkadang terlalu fokus dengan kehamilan sampai lupa dengan perjuangan yang akan dijalani setelah melahirkan, salah satunya ya menyusui ini. Ada penyesalan karena aku tidak mengunjungi konselor laktasi saat masih hamil (bermodalkan baca-baca di Instagram, artikel, berbagi pengalaman dengan teman, dan lihat YouTube, hehe). Ini menjadi pelajaran bagiku, bahwa perlu juga mengunjungi konselor laktasi saat masih hamil, untuk mendukung kelancaran pemberian ASI eksklusif bagi Si Kecil nantinya.
Pengalaman Beradaptasi Menjadi Ibu Baru
Setelah rawat inap selama 3 hari 2 malam, aku dan Si Kecil sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Saat itulah perjuanganku benar-benar dimulai. Bukan hanya aku, tetapi juga Suamiku. Ya, kami merawat Si Kecil hanya berdua karena memang dari awal sudah berkomitmen seperti itu, terlebih masih pandemi dan kami tidak ingin mengambil risiko.
Aku dan Suami belum memiliki pengalaman merawat bayi. Sebelum hamil, aku pernah ikut belajar tentang perawatan bayi baru lahir. Alhamdulillaah merasa terbantu dengan hal tersebut, setidaknya ada gambaran bagaimana cara merawat bayi baru lahir. Saat di RS pun, kami sudah bertanya kepada perawat bayi bagaimana cara memandikan bayi, membedong, dan lainnya. Untuk perawatan Si Kecil, Suamiku yang lebih banyak menanganinya. Pun dengan tugas rumah tangga, Suami juga yang menanganinya. Aku hanya sesekali membantu, tugas rumah tangga yang tergolong ringan masih bisa kulakukan.
Banyak yang berubah setelah melahirkan dan memang merawat bayi itu bukan suatu hal yang mudah. Selain itu, tentu rutinitas sehari-hari menjadi berbeda dengan sebelumnya. Serba-serbi menjadi Ibu baru yang sungguh luar biasa bagiku. Begitu banyak hal yang membuatku harus beradaptasi dengan cepat.
Beberapa hal yang menjadi pengalamanku menyesuaikan diri menjadi seorang Ibu baru antara lain:
1. Begadang
Ya, begadang menjadi rutinitas baruku. Alasannya karena Si Kecil harus tetap menyusu di malam hari. Tantangan sekali karena harus menahan rasa kantuk. Tiap 2 jam sekali saat malam sampai dini hari pasti jam wekerku berbunyi, sebagai alarm bagiku yang harus bangun untuk menyusui. Selain menyusui, alasan begadang lainnya adalah harus mengganti popok Si Kecil. Aku dan Suami memang memutuskan untuk memakaikan Si Kecil popok kain tali sepanjang hari, supaya kami bisa memantau frekuensi BAK (Buang Air Kecil) Si Kecil. Jadi, kalau Si Kecil BAK saat malam hari, otomatis dia akan terbangun dan menangis karena popoknya basah. Maka, kami harus segera mengganti popoknya dan kembali menimang Si Kecil sampai ia tertidur lagi.
Tetapi, pada akhirnya, demi menjaga kewarasanku, kami memutuskan untuk memakaikan Si Kecil popok sekali pakai saat malam hari.
2. Hampir mengalami baby blues
Sebenarnya, aku tidak tahu pasti apakah yang terjadi padaku itu yang disebut baby blues? Saat itu,aku sering menangis diam-diam. Rasanya sedih, lelah, cemas, kewalahan, dan menjadi lebih sensitif. Aku sering begadang, durasi tidurku berkurang, dan saat pagi hari aku sering uring-uringan. Yang aku ingat, pada satu hari aku merasa tidak kuat, tidak ingin memegang Si Kecil dulu. Suami yang lagi-lagi mengurus Si Kecil. Saat itu aku dibiarkan untuk istirahat, tetapi aku malah menangis diam-diam. Akhirnya Suami tahu dan tangisku justru pecah. Aku bilang ke Suami untuk minta bantuan orang lain atau mempekerjakan ART (Asisten Rumah Tangga) sementara waktu. Tetapi, kami juga bingung siapa yang bisa kami mintai bantuan karena kami takut jika ada yang berkunjung ke rumah, apalagi saat itu kasus Covid-19 sedang meningkat. Setelah mengutarakan gejolak di hati, aku merasa lega. Pada akhirnya, kami meyakinkan diri, insyaallaah kami mampu merawat Si Kecil berdua saja.
3. Belajar menjadi pribadi yang lebih peka
Bayi baru lahir tentu lebih banyak menangis, karena memang itu cara komunikasinya. Aku belajar untuk mengenali dan memahami makna tangisan Si Kecil. Selain itu, aku juga harus menyiapkan mental agar terbiasa mendengar tangisan Si Kecil, karena tak jarang merasa bingung, sedih, atau panik ketika Si Kecil menangis. Jangan sampai malah jadi stres bahkan merasa terganggu dengan tangisannya.
Si Kecil menangis karena berbagai macam penyebab, misal popoknya basah, kolik, lapar, mengantuk, kedinginan, kegerahan, dan lain-lain; masing-masing penyebab ada cirinya. Pada awalnya aku masih cukup kesulitan untuk mengenali sebab tangisan Si Kecil, tetapi seiring berjalannya waktu, alhamdulillaah bisa lebih memahami dan peka dengan ciri-cirinya, sehingga bisa memberikan respon yang dibutuhkan Si Kecil.
4. Menjadi Ibu pengamat
Sejak kehadiran Si Kecil, aku benar-benar menjadi pribadi yang suka mengamati. Awal-awal kelahiran Si Kecil, aku sering mengamati seperti apa konsistensi, warna, bau, dan frekuensi BAB (Buang Air Besar); frekuensi dan warna BAK Si Kecil, apakah Si Kecil ada alergi ketika aku makan yang pedas atau konsumsi produk turunan susu, dan banyak lagi. Hasil pengamatan kucatat di note gawaiku, termasuk juga apa yang aku makan pada satu hari itu. Jadi, ketika aku merasa ada yang tidak beres, bisa kutanyakan ke DSA (Dokter Spesialis Anak).
Bukan hanya itu, aku juga sering mengamati kalau Si Kecil sedang tidur, terutama bagian perutnya; aku mengamati bagaimana pernapasan Si Kecil saat tidur. Sampai saat ini, walaupun Si Kecil sudah bukan bayi lagi, aku masih rajin mengamati dan menulis apa yang dimakan, pola BAB dan BAK Si Kecil, apakah Si Kecil ada alergi ketika konsumsi makanan tertentu, serta tahap demi tahap pertumbuhan dan perkembangannya.
Begitulah sekelumit pengalamanku beradaptasi sebagai seorang Ibu. Semua butuh waktu untuk berproses, butuh adanya dukungan dan semangat dari keluarga, terutama Suami sebagai support system yang utama. Sebab, menjadi seorang Ibu baru tidaklah mudah.
Aku ditempa untuk menjadi pribadi yang lebih sabar lagi bahkan hingga saat ini. Menjadi seorang Ibu memang tidak ada kata "libur". Tak dipungkiri, rasa lelah pasti sering menghampiri. Tetapi, aku menikmatinya, menikmati saat aku bisa menemani dan membersamai Si Kecil.
Aku sangat bersyukur dan bahagia saat melihat Si Kecil yang semakin bertumbuh dan berkembang. Waktu berjalan begitu cepat, Si Kecil kini bukanlah bayi lagi. Kehadiran Si Kecil memberikan warna dalam hidupku dan Suamiku.
Semoga Allaah ta'alaa senantiasa memberikan kekuatan, kesabaran, serta kemudahan dalam merawat dan mendidik anak-anak.