Si anak kupu-kupu, sebutan itu didapatkan oleh Jonathan Pitre, remaja asal Kanada yang menderita penyakit kulit langka bernama epidermolysis bullosa (EB).
Julukan anak kupu-kupu yang sekilas terdengar indah, ternyata adalah hal menyakitkan yang harus ditanggung oleh Jonathan sampai ia dewasa nanti.
Penyakit bawaan lahir ini, membuat kulitnya jadi sangat rentan terkelupas dan sobek. Kerapuhan kulit bagai sayap kupu-kupu inilah yang membuat ia mendapat julukan tersebut.
“Mimpiku tak muluk-muluk. Aku ingin, suatu hari aku bisa terbebas dari rasa sakit ini,” kata Jonathan pada TSN Tube.
Saat masih bayi, kulitnya yang rapuh sudah mulai banyak yang memerah dan tampak lecet. Padahal ia tak sedang melakukan aktivitas ekstrim apapun.
Kondisinya semakin parah ketika kulit yang awalnya tampak lecet tersebut, perlahan mulai mengelupas. Setiap kali kulitnya mengelupas, ia merasakan sakit bagai teriris pisau.
Karena kondisinya tersebut, ia tak dapat bermain ke luar. Namun, ibunya pernah memberi kesempatan padanya untuk mencoba bermain di lapangan Hoki, karena Jonathan sangat menggemari olahraga tersebut.
Siksaan saat melepas dan memasang perban
Untuk menutupi luka terbuka akibat kulit yang terkelupas ini, ia harus diperban. Perban tersebut harus dilepas satu persatu saat mandi dan diganti setelahnya.
Setiap detik kehidupan yang dijalani anak kupu-kupu ini, dipenuhi oleh rasa sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Mulai dari kaki hingga kepala.
Bahkan, aktifitas melepaskan perban juga merupakan hal yang menyakitkan baginya. Namun, yang ia rasakan ini baru permulaan. Karena ia masih harus masuk ke tahap rasa sakit berikutnya, yakni mengoleskan obat dan memasang perban.
“Hal yang paling sulit bagiku ialah, melihat anakku kesakitan saat melepas dan memasang perbannya. Ia sering memintaku untuk berhenti merawatnya, karena ia sudah tak tahan lagi dengan sakitnya. Tapi tidak. Aku tidak akan berhenti,” ungkap Tina, sang ibu.
Hingga kini, belum ada obat maupun perawatan khusus untuk dapat menyembuhkannya. Perawatan yang ada hanya berguna untuk mencegah terjadinya iritasi dan rasa sakit yang mendera seluruh tubuh.
Pemerintah Ottawa di Kanada sudah mengupayakan bantuan untuk pengobatan anak kupu-kupu ini. Penggalangan dana pun sudah dilakukan agar dapat membuat kondisi Jonathan lebih baik. Namun, perjalanannya masih panjang.
Pada 2016 lalu, ia menghentikan kemoterapinya. Bukan karena kondisinya lebih baik, tapi saat ini ia mencari alternatif pengobatan yang lain sambil terus menginspirasi orang lain agar terus berjuang dan tidak menyerah seperti dirinya.
Dokter menyatakan bahwa, pada umumnya pasien EB hanya hidup sampai usia 3o tahun. Mereka juga mengalami kelambatan perkembangan dan tak dapat menyerap makanan dengan sempurna.
Mayo Clinic mencatat bahwa kondisi EB juga berdampak pada kerusakan gigi, kerontokan rambut, sulitnya menelan makanan, dan sebagainya. Nyaris tak ada hal yang membuatnya bebas dari rasa sakit ini.
“Aku ingin Jonathan tahu bahwa kami berjuang untuknya sampai akhir,” tutur ibunya yakin.
Semoga cepat berkurang sakitmu, Jonathan…
Baca juga:
Terlahir dengan Dua Wajah, Bayi ini Dianggap Pembawa Berkah dan Reinkarnasi Dewa