Imunisasi adalah salah satu hal wajib yang perlu Parents lakukan pada si kecil, untuk mencegahnya terkena penyakit berbahaya. Pentingnya imunisasi ini tidak boleh diabaikan, karena jika dilakukan bisa menyelamatkan banyak nyawa. Itulah kenapa theAsianparent Indonesia bersama dr. Apin mengadakan kuliah Whatsapp dengan tema Kenapa Harus Vaksin?
Kuliah Whatsapp bersama dr. Arifianto dengan tema Kenapa Harus Vaksin
Kuliah Whatsapp ini dilaksanakan pada hari Selasa, 29 Oktober 2019 lalu. Sebanyak 250 ibu-ibu dari berbagai daerah di Indonesia mengikutinya. Dengan narasumber utama Dr. Arifianto, Sp.A, dokter spesialis anak yang juga menulis beberapa buku yang berkaitan dengan kesehatan dan tumbuh kembang anak.
Melalui kuliah Whatsapp ini, para peserta banyak belajar ilmu baru tentang pentingnya imunisasi dan kenapa harus vaksin. Agar Parents yang tidak bergabung dalam kuliah whatsapp tersebut bisa ikut belajar, maka theAsianparent Indonesia merangkum isi kulwap tersebut melalui artikel ini. Simak, yuk!
Kenapa bayi harus vaksin?
Dr. Apin menjelaskan, saat seorang bayi lahir, dia telah terputus dari perlindungan ibu yang didapatkan selama masih berada dalam kandungan. Tubuh bayi harus melawan sendiri virus dan bakteri yang ada di dunia luar rahim, karena itulah dia butuh perlindungan ekstra melalui vaksin atau imunisasi.
“Jangan sampai bayi sakit parah karena terkena virus atau bakteri yang sebenarnya bisa dicegah oleh vaksin,” tutur dr. Apin.
Dokter anak ini juga melanjutkan bahwa ada beberapa vaksin yang diberikan pada bayi baru lahir, terutama yang memiliki kondisi rentan terkena virus dan bakteri berbahaya.
Jadi, jelas ya Parents bahwa bayi diharuskan menjalani vaksin, karena setelah dilahirkan, imunitas yang diturunkan ibu ke anak sudah putus sehingga diperlukan perlindungan tambahan dari penyakit-penyakit berbahaya.
Selain itu, imunisasi terbukti telah menyelamatkan jutaan nyawa di seluruh dunia tiap tahunnya. Vaksin melindungi semua orang dari segala usia dari berbagai penyakit mematikan. Dan vaksin ini merupakan salah satu terobosan di bidang kesehatan yang paling berhasil dan cost-effective.
Sayangnya, masih ada 20 juta anak di seluruh dunia yang belum divaksin, serta berada dalam kategori unvaccinated dan under-vaccinated
Apa saja vaksin yang perlu diberikan ke anak?
Semua vaksin sebenarnya penting untuk diberikan pada si kecil, demi mencegah si buah hati terkena penyakit mematikan. Pemerintah sudah membaginya ke dalam kelompok vaksin bersubsidi dan vaksin non subsidi. Perbedaannya terletak pada tingkat urgensi si vaksin itu sendiri, dan tingkat penularan serta rasio kematian yang bisa terjadi jika penyakit tersebut tidak dicegah.
Penentuan jenis vaksin yang disubsidi pemerintah berdasarkan pertimbangan berbahayanya penyakit. Beberapa penyakit dapat menyebabkan kematian dan cacat total yang akhirnya membuat vaksin penyakit tersebut disubsidi pemerintah, selain juga pertimbangan dari sisi ekonomi.
Adapun vaksin tersebut ialah:
- Hepatitis B
- BCG (diberikan saat bayi berusia 1 bulan)
- DPT-HB-Hib (diberikan saat bayi berusia 2 bulan)
- Vaksin polio (diberikan saat bayi berumur 2-4 bulan, dan vaksin ulang saat anak usia 5-6 tahun)
- Campak (diberikan saat bayi usia 9 bulan, dan vaksin ulang saat anak usia 5-6 tahun)
Adapun vaksin tambahan yang tidak disubsidi dan perlu diberikan pada anak ialah:
- Japanese encephalitis (Tidak diwajibkan bagi mereka yg bukan berada di wilayah endemik)
- Dengue
- Hepatitis A
- Gondongan
- Rubella
- Cacar air
- Tuberkulosis
- Meningitis
- Pneumonia
- Tifoid
- Kanker serviks
- Influenza
Secara prioritas, demi kesehatan si kecil sebaiknya vaksin dilengkapi ya Parents, termasuk vaksin tambahan yang dianjurkan oleh IDAI.
Bagaimana jika anak belum pernah vaksin sejak lahir?
Salah satu peserta Kuliah Whatsapp mengaku bahwa dia belum pernah memvaksin anaknya sama sekali. Diapun bertanya pada dr. Apin apakah ada batasan usia pemberian vaksin bila si anak belum pernah divaksin sama sekali, serta bagaimana cara memenuhi seluruh kebutuhan vaksin si anak yang belum terpenuhi sejak lahir.
Dalam hal ini, dr. Apin menjelaskan bahwa pada usia berapapun imunisasi bisa dilengkapi saat orangtua ingat dan ingin melakukannya.
“Misal saat anak usia satu tahun, bisa langsung dilengkapi vaksin BCG, Polio dan lain-lain. Kecuali vaksin rotavirus, paling telat diberikan pada usia tiga bulan atau 14 minggu 6 hari. Bahkan umur 8 tahun juga bisa dikejar vaksinnya, kecuali vaksin yang sudah tidak lagi dibutuhkan,” tutur dr. Apin.
Jadi menurut dr. Apin, semua vaksin yang terlewat bisa dikejar selama anak masih masuk usia rawan terkena penyakit tersebut. Vaksin ini bisa dilakukan secara simultan, dan bisa langsung berkonsultasi dengan dokter di puskesmas atau klinik tempat melakukan imunisasi.
Bagaimana soal vakin haram yang mengandung babi?
Kontroversi tentang vaksin haram adalah hal yang tidak pernah berhenti dibahas selama 10 tahun terakhir. Menurut dr. Apin, hal ini terkait dengan adanya komponen dari vaksin yang dianggap bersumber dari babi, dan juga terkait aturan dari badan BPOM.
“Ada beberapa vaksin, hanya sebagian kecil dan sebagian besar tidak. Jadi, ada sebagian kecil vaksin yang memakai komponen bernama enzim tripsin yang bersumber dari babi. Ada juga yang menggunakan gelatin, atau porsen dari babi.”
Dokter Apin menambahkan bahwa beberapa jenis vaksin yang menggunakan enzim tripsin ini adalah vaksin polio, rotavirus, dan vaksin yang mengandung polio yang tidak aktif atau mati.
“Sebenarnya tripsin ini tidak ada dalam produk akhir vaksinnya, namun ada dalam rangkaian proses pembuatan vaksin itu sendiri. Jadi saat vaksin virus polio dan rotavirus itu dibuat, pada saat pembiakkan virus di awal, virus ini dibiakkan di media yang berasal dari sel hidup. Kebetulan sel hidup tersebut diambil dari sel ginjal kera. Menggunakan teknik kultur sel, jadi bukan kita sengaja membunuh kera untuk membuat vaksin,” jelas dr. Apin.
Dengan teknologi biologi molekuler, kultur sel sebagai media pembiakkan dibuat. Kemudian untuk memisahkan virus dengan media tempatnya dibiakkan, maka dibutuhkan ‘alat pemotong’ yang bernama tripsin dari babi.
Tapi yang digunakan sebagai vaksin adalah virusnya, bukan ‘alat pemotong’ itu. Maka ketika virus sudah bisa dipisahkan dari media pembiakkan, dan masuk proses berikutnya sampai jadi vaksin itu sama sekali tidak melibatkan tripsin dari babi. Dan virus ini akan dimurnikan sedemikian rupa, sehingga pada produk akhir vaksin, ketika diuji dengan pemeriksaan DNA, maka tidak akan ditemukan DNA babi di dalam produk akhir ini.
“Masalahnya adalah, ada aturan dari BPOM untuk mencantumkan kata pada proses pembuatan yang bersinggungan dengan bahan bersumber babi. Tapi DNA babi ini tidak ditemukan pada produk akhir vaksin, jadi diharapkan menjadi jelas tentang hal ini,” tutur dr. Apin.
Selain tripsin, ada pula gelatin dari babi yang digunakan pada beberapa vaksin seperti MMR dan varicella (cacar air). Kenapa harus pakai gelatin dari babi? Hal ini karena vaksin yang sudah dikemas dan akan diberikan pada manusia, maka vaksin ini harus dijaga tetap stabil.
“Nah salah satu bahan untuk membuat vaksin ini tetap stabil adalah gelatin dari babi ini,” kata dr. Apin. “Dari sekian puluh vaksin yang ada, hanya sedikit sekali vaksin yang menggunakan tripsin dan gelatin dari babi. Dan walaupun digunakan, hanya digunakan pada proses awal (tripsin) dan proses akhir (gelatin). Lagi-lagi, semua ini melalui rangkaian yang membuat vaksin ini sudah sangat berbeda dengan babi aslinya, diuji dengan teknik DNA pun sudah tidak ada.”
Dalam hal kaitannya agama Islam, MUI sudah mengeluarkan fatwa pada tahun 2016 dan 2018, yang menyatakan bahwa jika harus menggunakan vaksin yang dalam proses pembuatannya menggunakan bahan yang tidak halal, maka diperbolehkan selama belum ada alternatif pengganti yang lainnya. Juga pertimbangan al hajjah dan darurat, yakni ancaman penyakit yang besar dan darurat bila tidak diberikan bisa menimbulkan kematian.
“MUI sudah memberikan kelonggaran untuk menggunakan vaksin-vaksin tadi, sehingga tidak ada lagi keraguan untuk menanggapi soal kontroversi kandungan babi dalam vaksin tadi,” kata dr. Apin.
Benarkah vaksin MMR bisa menyebabkan autisme?
Ada yang menghubungkan vaksin MR atau MMR dengan autisme. Dalam hal ini dokter Apin dengan tegas menjawab bahwa hal tersebut sama sekali tidak benar.
“Isu ini bersumber dari sebuah tulisan dari seorang dokter bedah di Inggris bernama Andrew Whitefield di tahun 1997 yang mempublikasikan penelitiannya di jurnal bergengsi. Dalam tulisan itu menyatakan ada hubungan vaksin MMR dengan autisme. Penelitian ini terlanjur menyebar ke seluruh dunia, begitu penelitian ini tersebar maka langsung dilakukan penelitian lanjutan melibatkan ratusan anak dari berbagai tempat untuk membuktikan hal tersebut.”
Hasilnya, terbukti bahwa vaksin campak seperti MMR dan MR sama sekali tidak berhubungan dengan autisme. Bahkan, penelitian Andrew Whitefield tersebut terbukti memiliki kesalahan bahkan terindikasi adanya kebohongan yang dilakukan oleh peneliti, sehingga ditarik oleh editor jurnal yang menerbitkan penelitiannya dan dianggap tidak layak pakai.
“Sayangnya, tulisan Andrew yang menyatakan adanya hubungan vaksin MMR dengan autisme terlanjur menyebar sehingga masih sering menimbulkan keresahan. Hal ini juga membuat praktisi kesehatan kesulitan untuk menepis berita bohong tersebut satu persatu. Padahal, sudah sangat jelas dari banyak penelitian yang membuktikan bahwa tidak ada hubungan sama sekali antara vaksin MMR dengan autisme.”
Benarkah vaksin berkaitan dengan konspirasi barat dan yahudi?
Ada beberapa pihak yang menyebarkan isu bahwa vaksin merupakan konspirasi dari Barat atau Yahudi yang bermaksud melemahkan umat manusia, bisa menyebabkan kecacatan dan sebagainya.
“Ini adalah satu berita bohong atau hoax yang perlu diluruskan,” kata dr. Apin. “Vaksin sudah ada sejak abad ke-18 di Inggris, bahkan ada yang mengatakan bahwa sejak tahun SM pun sudah ada sebagian masyarakat di China yang melakukan praktek mirip vaksin. Artinya, ini suatu hal yang secara alami sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Dengan kemajuan teknologi, akhirnya vaksin bisa diproduksi secara sistemastis dan lebih aman, serta minim efek samping dibanding dengan vaksin-vaksin yang ada di jaman dahulu.”
Jadi sudah jelas ya, Parents bahwa vaksin sama sekali tidak ada hubungannya dengan konspirasi dari manapun. Justru vaksin telah terbukti bisa memusnahkan satu penyakit, misalnya cacar yang sudah hilang dari muka bumi, polio yang sudah hilang dari Indonesia, serta angka kematian yang jauh berkurang. Bahkan campak yang dulu sering jadi penyebab kematian tertinggi, kini sudah jauh berkurang.
“Jangan mudah termakan berita seperti itu, karena itu terbukti tidak benar,” tegas dr. Apin.
Siapa saja yang bisa menunda tidak vaksin?
Kondisi tertentu yang diperbolehkan menunda vaksin, misalnya si anak punya alergi akut terhadap kandungan vaksin yang bisa mengancam nyawa seperti sesak nafas. Lalu, kondisi tertentu seperti anak yang sedang panas tinggi juga disarankan menunda terlebih dahulu pemberian vaksin. Konsultasikan ke dokter Anda terkait alergi dan kondisi kesehatan si kecil sebelum diberikan vaksin.
Selain alergi, apabila anak sedang dalam perawatan medis tertentu yang membuat sistem kekebalan tubuhnya menurun, seperti kemoterapi kanker, maka ia diperbolehkan tidak melakukan vaksin atau menunda sampai kondisi tubuhnya sehat kembali.
Kondisi penyakit yang membuat anak tidak boleh diimunisasi:
- Leukimia, penderita menjalani kemoterapi, hal ini bisa berbahaya jika diberikan vaksin.
- HIV yang membuat daya tahan tubuh penderita rendah, sehingga tidak boleh diberikan vaksin.
Kondisi sementara yang membuat anak boleh menunda vaksin:
- Pneumonia hingga sesak napas
- Demam tinggi
Bagaimana menghadapi kondisi anak demam setelah menerima vaksin?
Parents perlu perhatikan hal berikut bila anak mengalami demam setelah divaksin:
- Orangtua tidak boleh panik
- Buat anak menjadi lebih nyaman
- Pakaian anak dilonggarkan
- Beri minum banyak untuk mencegah dehidrasi
- Dikompres dengan air hangat
- Tidak harus diberikan obat penurun panas.
“Demam pasca imunisasi biasanya tidak lama, hanya sekitar 24-48 jam. Namun bila demamnya lebih dari 48 jam, maka harus cek ke dokter. Karena bisa jadi si anak mengalami demam karena sebab lain yang bukan dari vaksin, hal lain ini kebetulan bertepatan dengan pemberian vaksin,” tutur dr. Apin.
Summary kulwap “Kenapa Harus Vaksin”
1. Sangat penting untuk memberikan vaksin kepada anak sejak dini sesuai dengan rekomendasi usia.
2. Vaksin si kecil sesuai jadwal, terutama untuk vaksin dasar yang disubsidi pemerintah, mengingat pentingnya menekan penyebaran penyakit yang beresiko kematian atau catat tetap.
3. Lengkapi imunisasi anak dengan vaksin-vaksin rekomendasi IDAI mengingat hampir semua vaksin bersifat urgent.
4. Vaksin sudah terbukti halal dan bukan merupakan konsipirasi Barat/Yahudi.
5. Tidak ada korelasi antara vaksin MMR dengan Autisme.
6. Hanya ada kondisi tertentu di mana anak tidak diperbolehkan vaksin, seperti saat demam tinggi (ditunda) atau sedang dalam pengobatan yang menurunkan sistem imun seperti kemoterapi.
7. Demam setelah vaksin masih wajar, jika demam lebih dari 3 hari dianjurkan cek ke dokter segera.
8. Vaksin juga diperlukan sebelum bepergian ke luar negeri, jenis vaksin tergantung negara yang dituju.
9. Parents tidak perlu khawatir karena saat ini vaksin yang beredar sudah dipastikan resmi, apalagi jika vaksin didapat dari posyandu dan puskesmas.
Itulah rangkuman kuliah Whatsapp mengenai Kenapa Harus Vaksin bersama dr. Apin dan theAsianparent Indonesia. Semoga informasi yang diberikan bermanfaat dan menjadi pencerahan mengenai pentingnya vaksin untuk anak.
Informasi lebih lengkap mengenai vaksin dapat Parents akses di https://www.instagram.com/kenapaharusvaksin/
Parents bisa bertanya di kolom komentar atau DM.
Sampai jumpa di kulwap selanjutnya!
Love,
theAsianparent Indonesia, Kenapa Harus Vaksin, dan dr. Apin
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.