Ibu hamil pasti sudah mulai memikirkan bagaimana nantinya ia akan melahirkan walau usia kehamilan masih muda. Melahirkan secara prevaginam (normal) menjadi dambaan sebagian besar ibu hamil karena proses pemulihan yang lebih cepat daripada operasi caesar. Saya harus merasakan kehamilan pertama hanya berdua dengan suami karena tuntutan pekerjaan suami yang berada diluar Jawa, sedangkan kampung halaman kami di Jawa. Kami sepakat untuk melakukan proses persalinan di Jawa, maka dari itu, saya mulai mencari dokter dan rumah sakit tempat saya akan melahirkan bayi saya. Setelah pencarian panjang akhirnya saya pun memilih dokter di suatu rumah sakit di kampung halaman saya.
Minggu 33 usia kehamilan, saya baru bisa melakukan pemeriksaan kehamilan dengan dokter pilihan saya. Pemeriksaan kehamilan kali itu pun menjadi momen yang amat membahagiakan dan memuaskan karena beliau menjelaskan secara detail keadaan bayi dan kehamilan saya. Saya pun semakin lega karena bayi saya sehat dan perkembangannya baik, walaupun tensi saya tetap tinggi sejak usia kehamilan saya di akhir trimester 2. Berbagai macam cara telah saya lakukan agar tensi saya tetap normal atas saran dari tenaga kesehatan, baik itu di puskesmas maupun rumah sakit. Cek laboratorium pun menunjukkan hasil yang normal pada kehamilan saya, artinya kehamilan yang saya alami masih aman dan belum termasuk preeklamsia.
USG kedua tepatnya di usia kehamilan 35 minggu dokter memberitahukan bahwa jika tensi saya tetap tinggi di usia kehamilan 37 minggu maka dokter harus mengambil tindakan dengan melakukan proses persalinan, karena dikhawatirkan akan membahayakan bagi saya dan bayi saya jika kehamilan terus berlanjut hingga di atas 37 minggu. Saya pikir hal itu akan benar terjadi jika tensi saya belum normal, jadi saya tetap berpikir bahwa saya akan melahirkan jika saya sudah merasakan kontraksi.
Minggu 37 Kehamilan
Minggu ini menjadi kontrol terakhir dengan obgyn karena saya harus melakukan proses persalinan walaupun saya belum merasakan kontraksi. Alhamdulillah posisi bayi saya kepalanya berada di bawah, kepalanya pun sudah berada di jalan lahir. Dokter memberikan motivasi kepada saya untuk terus yakin bahwa saya dapat melahirkan secara prevaginam. Saya dan dokter setuju untuk melakukan persalinan prevaginam, maka dari itu untuk mencegah terjadinya kejang atau semakin tingginya tensi saya yang mengakibatkan harus dilakukan proses persalinan sectio caesarea (SC), maka saya pun harus mau untuk melakukan proses persalinan sebelum waktunya. Saya langsung mengabari suami dan keluarga saya karena memang kontrol di hari itu saya sendirian, suami saya masih harus bekerja di luar Jawa, sedangkan ibu saya masih mengurus hal lain tidak jauh dari rumah sakit.
Perawat langsung mengantar saya ke IGD untuk melakukan proses menuju persalinan. Saat itu covid-19 masih tinggi, jadi saya harus menjalani tes swab dan lab terlebih dahulu sebelum saya masuk ke ruang bersalin, setelah itu masih harus melakukan rontgen untuk memastikan bahwa saya tidak tertular covid-19.
Alhamdulillah, hasil swab menunjukkan hasil negatif. Karena saya belum membawa perlengkapan bersalin, saya ditinggal oleh keluarga saya untuk mempersiapkan perlengkapan bersalin. Jarak antara rumah saya dan rumah sakit sekitar 30 km jadi hingga prosedur yang dilakukan di IGD selesai pun keluarga saya belum kunjung datang. Akhirnya perawat mengantar saya ke ruang bersalin. Saya harus melahirkan tanpa didampingi suami karena memang belum memungkinkan bagi suami saya untuk pulang, akhirnya saya didampingi oleh ibu saya tanpa anggota keluarga lainnya karena kasus covid-19 masih tinggi sehingga rumah sakit hanya mengijinkan 1 pendamping bersalin.
Induksi Persalinan
Induksi pertama mulai dimasukkan oleh bidan melalui vagina di malam hari. Hingga pagi hari rasanya di perut masih terasa seperti saat saya sedang menstruasi, karena setiap menstruasi saya merasakan kram yang cukup menyakitkan. Bidan mengecek kembali ternyata sudah terdapat pembukaan 1, kemudian memberikan induksi kedua. Sembari menunggu pembukaan bertambah, saya sounding kepada bayi saya, sujud di tempat tidur, berjalan semampu saya didampingi oleh ibu. Hari itu saya mulai menghubungi keluarga dirumah memohon maaf dan doa agar persalinan saya dilancarkan, karena hal itu merupakan amanah dari ibu mertua saya.
Induksi ketiga pun sudah dilakukan, bidan berpesan bahwa jika nantinya pembukaan tidak menunjukkan kemajuan maka saya harus rela untuk bersalin secara SC. Malam hari setelah bidan menghubungi dokter obgyn saya, induksi dilanjutkan melalui infus, maka kontraksi akan semakin cepat begitu juga dengan pembukaan. Saya sudah tidak dapat menghubungi suami saya karena rasanya sudah tidak karuan, ibu yang selalu mengaji di samping saya pun akhirnya berhenti untuk mempererat pegangan tangan saya. Barakallah menjelang tengah malam, bayi saya pun lahir dengan sehat dan selamat.
Mengadzani Bayi Melalui Panggilan Video
Ibu saya langsung melalukan panggilan video dengan suami saya untuk mengabarkan bahwa anak kami telah lahir dan agar suami bisa mengadzani anak kami. Senang bercampur haru karena anak kami lahir namun kami tidak dapat bersebelahan untuk saling menguatkan. Saya dituntun bidan untuk melakukan IMD sembari mengeluarkan ari2 dan melakukan jahitan pasca melahirkan. Alhamdulillah, jahitan tidak banyak sehingga rasa sakitnya pun dapat teralihkan dengan melihat putri kecil saya yang memang saya idamkan selama ia masih di dalam kandungan.
Qadarullah perjalanan melahirkan yang saya alami saya rasa dimudahkan oleh Allah. Hal itu pasti tidak luput dari doa suami, ibu, dan keluarga saya. Pikiran yang positif sangat diperlukan untuk mendukung kehamilan dan persalinan yang lancar. Mendekatkan diri pada Allah tentunya menjadi hal yang harus selalu dilakukan dalam keadaan apapun. Menjaga hubungan baik dengan orang sekitar pun sangat perlu dilakukan dalam posisi apapun. Ridho dari suami dan ibu menjadi kunci kelancaran hidup kita, karena ridho beliau akan menjadikan Allah ridho kepada kita, maka urusan kita pun akan dilancarkan oleh Allah subhanahu wata’ala.
***
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.