Bagaimana seorang ibu bisa mengumpulkan kekuatan saat melihat anak sakit parah. Melihat anaknya mengembuskan napas terakhir dan kehilangan anak untuk selamanya?
Ketika saya melihat bagaimana ‘kuatnya’ para ibu yang mendampingi anak sakit parah, penyakit yang mematikan seperti halnya kanker, saya sering bertanya-tanya seberapa besar ia bisa menahan rasa ‘sakit’ yang dirasakannya?
Namun tentunya, ketika anaknya bisa pulih sedia kala, saya pun kemudian bisa membayangkan bagaimana rasa syukur dan bahagia yang dirasakan.
Bagi orangtua, kesehatan anak tentu saja menjadi hal paling penting dan prioritas. Itulah mengapa ketika anak sakit, para orangtua akan berusaha semaksimal mungkin, hingga titik darah penghabisan untuk melakukan apapun demi kesembuhan anak. Melihat anak tumbuh sehat, adalah kebahagian yang paling hakiki bagi orangtua.
Maka, ketika anak yang dikasihinya mendapat didiagnosis mengidap penyakit yang mematikan, tidaklah mengherankan jika ia menganggap dunia telah runtuh.
Sebagai orangtua, bahkan saya pun tidak berani untuk membayangkan bagaimana perasaannya.
Menghadapi mimpi buruk setiap orangtua, bagaimana perasaannya mengetahui bahwa bahwa anaknya sedang sekarat?
Kesedihan seperti apa yang menyelubungi hati dan jiwanya mengetahui bahwa mungkin ia tidak memiliki kesempatan untuk melihat anaknya tumbuh, sekolah hingga lulus, kemudian jatuh cinta dan menikah, hingga ia bisa meraih apa yang dicita-citakan?
Bagaimana dia mengatasi perasaannya? Menduga-duga apakah besok anak yang begitu ia sayangi masih bisa ia peluk? Desahan napasnya masih bisa dirasakan?
Hingga anak sakit parah akhirnya dijemput untuk kembali ‘pulang’ …. dari mana seorang ibu bisa mengumpulkan kekuatan untuk tetap hidup ketika kehilangan anak?
Saya tidak bisa membayangkan. Benar-benar sulit untuk membayangkannya.
Ya, mungkin saya tidak pernah mengetahui kisah secara detail. Saya tidak pernah tahu kedalaman rasa sakit dan kesedihan sebagai ibu yang kehilangan anaknya.
Mungkin, rasa simpati atau belas kasihan yang diperlihatkan oleh dunia tidak bisa mengobati rasa perih dan luka yang tengah Anda rasakan. Pun tidak bisa membuat anak yang Anda cintai menjadi lebih baik.
Atau… bisa membuat mereka kembali di pelukan Anda.
Tetapi sebagai seorang ibu, saya tahu bagaimana Anda begitu terluka, karena saya cukup memahami bahwa bagi seorang ibu, anak adalah segalanya. Napasnya. Tak mengherankan jika seorang ibu, orangtua merasa ‘berdarah’ secara emosional ketika melihat anak-anaknya sakit.
Setidaknya, saya pernah merasa begitu kalut ketika melihat anak sakit parah. Hampir tiga tahun lalu putra saya harus dirawat secara intensif di ruang ICU lantaran ia mengalami sakit demam berdarah untuk kedua kalinya setelah ia harus operasi usus buntu.
Ketika itu, melihat anak terbaring lemah, tubuhnya begitu lunglai, saya pun merasa limbung. Hanya mengucap doa, harapan untuk kesembuhan serta pikiran positif yang bisa saya lakukan.
Jika mendampingi anak yang tengah sakit dan harus dirawat di ruang ICU saja rasanya begitu berat, saya pun sulit membayangkan bagaimana perasaan ibu, para orangtua yang harus kehilangan anaknya?
Untuk terus melanjutkan hidup. Bagaimana jantung para ibu, orangtua yang telah kehilangan anaknya terus berdetak?
Maka, ketika ada teman atau sanak keluarga yang kehilangan anak, saya pun memperlajari bagaimana mereka butuh waktu untuk membenahi hatinya. Untuk menerima kondisi yang tengah ia alami. Hingga pada akhirnya mereka bisa benar-benar menerima rasa kehilangan yang begitu besar dalam hidupnya.
Fase yang harus dilalui orangtua saat kehilangan anak untuk selamanya
Tahukah Anda, untuk bisa merasakan bahwa Anda benar-benar bisa menerima bahwa anak yang sangat dicintai telah berpulang lebih dulu, ada beberapa fase yang akan dilewati lebih dulu.
Jika memang hal ini yang tengah Anda alami, menangislah sepuasnya. Tak mengapa. Dengan begitu, Anda pun akan bisa memasuki fase menerima kiamat kecil yang tengah menimpa Anda dan keluarga.
Seperti yang dikatakan Zoya. D Amirin M. Psi, “Saat berduka, apalagi saat kehilangan anak tentu akan ada rasa sedih dan kehilangan yang sangat mendalam. Untuk meluapkan rasa yang ada di dada, menangislah. Menangis sepuasnya, karena dengan menangis beban akan jauh berkurang,” ujarnya.
Kemudian, perasaan yang sering kali dirasakan adalaf fase denial. Beragam pertanyaan akan menyerbu dalam benak di hari-hari pertama, di mana akan timbul perasaan denial atau pengingkaran akan hadir.
Oleh karena itu akan timbul pertanyaan seperti “Kenapa dia tega meninggalkan saya?” atau “Kenapa saya yang harus mengalami hal ini, kenapa bukan orang lain saja yang kehilangan anaknya?”
Tidak mengapa, fase seperti ini memang harus dilewati. Menurut Zoya Amirin, kondisi ini peran suami dan keluarga besar sangat dibutuhkan. Tentunya untuk memberikan dukungan sepenuhnya.
Selanjutnya adalah fase anger. Di mana, Bunda atau orangtua sering kali marah pada dirinya sendiri, marah dengan lingkungan, marah dengan keadaaan, bahkan ada kalanya timbul perasaan marah pada Tuhan.
“Kenapa Tuhan begitu tega terhadap saya”,
“Jika saya bisa mengurus anak lebih baik lagi, tentu hal ini tidak akan terjadi,”
“Seandainya saat itu saya tidak memilih untuk pergi, pasti kecelakaan yang merenggut anak saya tidak akan terjadi.”
Dalam kondisi seperti ini Bunda memang akan menyalahkan siapa pun karena masih timbul rasA penyesalan apa yang telah terjadi.
Hingga pada akhirnya, fase acceptance pun bisa dirasakan
Di mana setelah Bunda merasakan masa yang begitu sulit, fase untuk menerima kenyataan pun bisa dirasakan.
Untuk sampai pada fase menerima, memang membutuhkan waktu yang tidak terbilang pendek. “Biasanya para orangtua harus lebih dulu bisa bernegosiasi dengan apa yang telah terjadi. Setelah itu, baru akan datang fase menerima. “Ya, saya memang harus mejalani seperti ini.”
Di fase inilah, para orangtua yang bisa kembali melanjutkan hidup yang normal seperti sedia kala.
Namun yang pasti, kenangan kebersamaan dengan anak tentu saja akan terus dikenang sepanjang hayat. Bagiamana orangtua bisa mengenang masa-masa indah bersama anak yang begitu disayangi.
“Saya tahu anak saya pun ingin saya melanjutkan hidup ini dengan bahagia. Saya tahu anak saya tidak ingin ibu dan ayahnya terus berduka. Saya tahu anak saya ingin ibu dan ayahnya bisa menjalani hidup dengan normal tanpa ada rasa penyesalan. Kenangan yang saya miliki darinya adalah kebahagiaan murni dan itulah bagaimana saya akan mengingatnya selamanya. Itulah bagaimana saya ingin dia diingat. Bukan dengan kesedihan. Bukan dengan rasa sakit. Bukan dengan penderitaan,” ujar Lydia, seorang ibu yang harus kehilangan puteranya.
Sebagai seorang ibu, saya begitu kagum dengan semua ibu yang begitu kuat menjalani kehidupan ini. Bagamana mereka bisa menerima cobaan besar dalam hidupnya. Sebagai seorang ibu, saya pun ingin belajar akan keberanian dan kekuatan cinta seorang ibu untuk anaknya.
Disadur dari artikel Nalika Unantenne, theAsianparent Singapura
Baca juga :
Foto viral; Momen sedih kakak ucapkan selamat tinggal pada adik yang sekarat