Pelangi menyambut kedatangan kami di Kecamatan Angsana, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Tidak pernah terpikir aku akan berpetualang Jauh hingga menyeberangi lautan sampai ke pulau orang, tapi di tempat inilah aku dan suami belajar banyak untuk menjadi orang tua. Tulisan ini aku persembahkan untuk yang kucinta, anakku dan suami tercinta. Ini cerita perjuangan kehamilanku di perantauan.
Manusia hanya bisa berencana, sisanya pasrahkan pada Allah…
Tidak terasa, sudah satu bulan kami pindah tinggal di Angsana, selama itu pula kami banyak berdiskusi tentang masa depan kami. Berapa banyak anak yang kami inginkan, tatanan ruangan rumah idaman kami bahkan furnitur untuk ruang anak sudah kami bicarakan.
Sambil terkekeh membayangkan lucunya anak kami nanti bisa main di rumah sendiri, aku menyampaikan ke suami bahwa aku sudah telat datang bulan kurang lebih dua minggu. Suami gak ambil pusing, beliau menganggap aku kelelahan biasa karena baru pindah rumah. Aku juga mengiyakan karena jadwal datang bulan juga cukup berantakan, kadang maju satu minggu kadang mundur satu minggu.
Sampai masuk awal puasa, akhir april 2020, aku juga masih belum datang bulan, tapi lagi-lagi aku dan suami cuek. “Cuma kecapekan”, itu pembenaran kami. Kami tidak berani berharap tinggi, takut kecewa, lagipula kami berencana menunda untuk memiliki momongan dengan alasan belum siap mental, finansial dan belum siap jadi orang tua.
Hari berganti hari sampai puasa ramadhan sudah berlalu selama satu minggu. Hari ke-8 puasa ramadhan aku seperti anak kecil yang baru belajar puasa. Jam tiga sore sudah ribut kirim pesan nitip makanan dan takjil A B C D E. Saat itu aku sudah craving makanan pedas dan asin padahal aku paling tidak suka makanan pedas, apalagi asin.
Selain itu aku juga merengek ke suami lewat pesan, ingin membatalkan puasa karena tidak kuat menahan haus. Saat itu bener-bener hausnya seperti orang tidak minum air dua hari. Alhamdulillah masih kuat sampai maghrib. Selepas maghrib kami menyantap makanan yg dibawa suami dan makanan yang kumasak sendiri, semua dilahap.
Sampai suami kaget karena suami ngerti betul istrinya gak suka makan pedas dan asin tapi saat itu suami cuma mendiamkan. Hari ke-9 puasa ramadhan pun aku tetep seperti anak kecil, merengek minta gak puasa karena lapernya bener-bener ampun!
Akhirnya hari ke-9 aku, dengan ijin suami, gak puasa tapi tetep aja, nitip makanan dan takjil ABCDE ke suami dan tetep bikin sambel dengan 15 biji cabe (dua hari berturut-turut makan pedas). Hari ini suami udah wanti-wanti untuk tidak makan pedes karena takut perut istrinya kenapa-napa tapi ya karena ngidam banget, kalo gak makan pedes semua makanan terasa hambar.
Aku masih ingat sekali, sambel yang aku buat dua hari itu jumlah cabenya ada 15 biji! Suami yang doyan pedas aja bilang sambelnya pedas banget. Tapi aku nggak ngerasain apa-apa, enak aja gitu. Mulai saat itu suami curiga, dan akhirnya beliau menawarkan untuk beli test pack. Langsunglah kami keliling Angsana untuk cari test pack.
Cari testpack yang bagus seperti di Pulau Jawa susah. Yang banyak tersedia hanya test pack biasa dengan harga lima ribu rupiah (padahal kalo beli di Pulau Jawa dulu, cuma dua ribu). Kami beli 5 buah. Kami harap-harap cemas.
Feel-nya mau test pack dengan gejala ngidam ini mirip seperti mau akad nikah gitu. Deg deg ser rasanya. Perasaanku waktu itu bener-bener campur aduk. Di satu sisi kami masih belum siap tapi menghadapi kenyataan akan mendapat garis dua itu cukup menegangkan.
Setelah membaca instruksi penggunaan, kami mencoba. Percobaan pertama gagal, karena garisnya tak muncul, lalu percobaan ada 2 garis tapi samar, bahkan cenderung tidak terlihat. Aku yang denial pun meyakinkan suami kalau aku gak hamil meskipun suami sudah curiga dengan pola makanku yang gak biasa.
Setelah itu kami beristirahat. Esok paginya aku yang penasaran cek ulang pakai test pack dan ternyata muncul garis dua! Iya test pack-nya garis dua! Aku dan suami cuma bisa diam ketika tau dua garis itu muncul. Diam bukan karena nggak terima kalau aku hamil, tapi lebih ke siap nggak sih kita jadi orang tua? Nanti anak kita bagaimana ? Kita aja masih banyak salahnya, jadi orang tua ?
Bener-bener kalut banget hari itu, baru pindah pulau, lalu aku hamil nggak siap dan nggak ngerti harus bagaimana menjalani kehamilanku di perantauan. Suami dengan tenang mengingatkan kalau kita manusia cuma bisa berencana, selebihnya Allah yang menentukan apa yang terbaik untuk kita. Malam sepulang kerja, kami ngobrol panjang dengan suami sampai akhirnya obrolan kami menjadi titik balik untuk aku dan suami yang saling berusaha untuk menjadi “rumah terbaik” untuk anak kami dengan cara berusaha memperbaiki diri tanpa nanti tanpa tapi.
Kehamilanku di perantauan kupandang sebagai perjalanan spiritual calon orang tua
Di Angsana, jarang ada rumah sakit, apalagi obgyn. Jadi kami harus ke kota terdekat untuk bisa ketemu obgyn. Perjalanan melewati hutan sawit, sungai pun kami lewati demi memberikan yang terbaik buat calon anak kami. Ini awal perjuangan kehamilanku di perantauan bersama suamiku.
Di awal kehamilan suami masih cuek bebek sama anaknya, masih cuma sekedar elus-elus perut atau malah dibiarkan saja. Sampai akhirnya minggu ke-14 suami boleh masuk ke ruang periksa (karena saat itu gelombang penyebaran covid-19 sudah mulai reda), pertama kalinya beliau lihat bentukan manusia kecil di monitor USG dan mendengar suara detak jantungnya. Sejak saat itu, perlakuan beliau ke aku dan calon anaknya berubah 360 derajat.
Beliau bener-bener berubah jadi perhatian ke anaknya. Disayang, perutku dielus tiap malem, ditanyai ngidam apa, diajak ngobrol debaynya. Terharu banget tiap liat suami begitu sayangnya ke utun. Gak mau kalah sama suami akupun terus berusaha menjadi “rumah terbaik” untuk utun dengan memberikan nutrisi serta mengupgrade pengetahuanku tentang kehamilan, persalinan dan menyusui.
Aku juga aktif ikut berbagai webinar parenting, senam hamil, kelas prenatal dan sebagainya. Suatu waktu ada kelas prenatal yang mewajibkan suami untuk ikut dalam kegiatan. Awalnya ragu mau ajak suami karena aku tahu kegiatan ini bukan tipe beliau, tapi kucoba ajak beliau demi utun.
Nggak nyangka, ternyata beliau setuju dan aktif banget di kelas. Beliau nggak sungkan untuk ikutan seminar prenatal yang aku ikuti. Senam hamil couple, benar-benar 100% beliau ikut andil dalam kehamilan ini. Bagiku, suami yang aktif dan punya inisiatif sangat amat membuat bahagia.
Kenapa? Karena di situ aku tidak merasa kesepian. Aku merasa nyaman menyampaikan kebutuhan dan kesulitanku saat hamil. Tidak selalu pelangi, kehidupan rumah tangga kamipun sering diterpa badai. Bedanya, semenjak kehamilan ini, kami belajar mengelola emosi lebih baik.
Dari awalnya yang ngomong dengan nada keras, sekarang lebih lembut. Dari yang biasanya langsung bereaksi dengan amarah sekarang menghadapi semua dengan lebih tenang. Obrolan kamipun tidak hanya sekedar tentang hobi kami sendiri, tapi lebih ke bayangan-bayangan dan andai-andai bagaimana jika sudah ada bayi nanti. Sungguh, kehamilan ini bagai perjalanan spiritual kami sebagai orang tua, kami yang awalnya bingung kini sangat optimis dan yakin kami bisa menjadi “rumah terbaik” untuk anak kami nanti.
Ikatan cinta dan perjuangan orang tua
Perlahan tapi pasti di akhir trimester 3 aku mulai banyak pikiran, alhasil sempat flek beberapa hari. Kami hampir kehilangan bayi kami, dan lagi-lagi proses ini memberi kami ruang untuk saling menguatkan bonding kami sebagai orang tua. Beruntung suami mendapat jatah cuti tepat saat akan lahiran, sehingga di minggu-minggu terakhir menjelang persalinan kami berdua fokus untuk mempersiapkan mental kami dengan mengikuti beberapa webinar.
Webinar terakhir yg kami ikuti kalau tidak salah tentang persalinan dengan kondisi khusus pada tanggal 19 Desember 2020 jam 10 pagi. Lalu, tidak lama setelah mengikuti webinar, aku mengalami kontraksi dan ketuban rembes. Bersyukur kami mengikuti webinar tadi, jadi kami tidak panik.
Dengan sangat tenang suami membawa perlengkapan bersalin yang sudah aku siapkan sebelumnya. Bahkan, kami masih sempat jajan dan beli nasi bungkus buat persiapan menginap di rumah sakit nanti. Jam dua siang kami masuk ke UGD dan benar saja, kami tidak diizinkan pulang karena ketuban rembes dan ternyata sudah bukaan dua. Aku hampir menitikkan air mata saat itu. Waktu kami bertemu dengan sikecil semakin dekat.
Waktu demi waktu berganti. Jam tujuh malam aku masuk ruang bersalin bersama suami yang siap siaga menemani. Sambil menggenggam dan mencium keningku suami memberikan semangatnya.
“Mimi habis ini kita ketemu ndutie (panggilan sayang kami untuk utun) kita pasti bisa melewati ini,” tuturnya.
Ah, air mataku sudah menetes, lalu kami saling pandang dan kemudian mengingat-ingat masa awal perkenalan hingga bisa menikah. Bukaan 2, 3, 4, 5, 6 kami lewati dengan tenang, kami masih sempat makan, nyemil dan ngobrol ngalor ngidul serta berencana checkout beberapa barang bayi yang belum terbeli.
Sampai akhirnya gelombang cinta dahsyat datang. Rasanya benar-benar tidak bisa diungkapkan dengan kata. Yang kuingat hanya aku yang berusaha tenang dengan mengatur nafas dan suami cheerleader-ku yang selalu memberi semangat. Kata-kata yang sama terus beliau lontarkan sampai bukaan sembilan, bahkan sampai aku mulai kehabisan nafasku beliau tetap menyemangatiku dengan penuh kasih.
Suster mengisyaratkan bahwa kepala bayi kami sudah terlihat dan aku hanya perlu terus mendorong dan mendorong. Aku yang sudah kehabisan nafas hanya bisa geleng-geleng sambil sesekali melihat ke arah suami. Suami tetap menggenggam tangan dan menyemangatiku tapi kali ini beda, suara beliau mulai parau dan aku melihat wajahnya mulai gelisah.
Aku benar-benar kelelahan dan kehabisan nafas, hingga suster harus membantu mendorong bayi kami keluar. Dengan segenap sisa tenaga serta semangat dari suami yang tiada henti, aku mendorong sekuat tenaga hingga akhirnya, anak kami lahir.
“Alhamdulillah, mi ndutie udah lahir,” kata suamiku.
Lalu beliau memelukku sambil menangis “Kamu hebat banget, Alhamdulillah, terimakasih sayangku”. Aku yang sudah kehabisan tenaga cuma bisa nangis, terharu dengan proses persalinan ini. Tidak pernah kusangka persalinan anak pertama kami akan benar-benar menguras tenaga dan emosi. Menciptakan ikatan cinta baru untuk kami tidak hanya sebagai sepasang suami-istri tapi juga sebagai orang tua dan “rumah terbaik” untuk penerus kami.
“Terimakasih nak, kamu sudah memilih kami sebagai orang tuamu. Maafkan kami karena di awal kehadiranmu kami ragu untuk memilikimu. Percayalah nak, kini kami merasa menjadi orang tua yang paling beruntung karena memilikimu. Dunia terasa begitu berbeda karenamu, penuh cinta, penuh tawa, penuh kasih dan suka cita. Harapan ami, semoga kelak kamu menjadi orang yang bijaksana, cerdas dan bersahaja”.
Salam cinta dari mimi dan abi. Semoga cerita kehamilanku di perantauan menjadi inspirasi untuk ayah bunda yang sedang merencanakan dan menanti kedatangan malaikat kecil di kehidupannya. Semoga Allah selalu memberi rahmat dan perlindungan untuk kita semua. Salam cinta dan kasih dari kami untuk semua pembaca.
Ditulis oleh Shiela Novelia, UGC Contributor theAsianparent.com
Artikel UGC lainnya: