Inilah ceritaku, terkait dengan kehamilan yang tidak disangka- sangka. Adakah Bunda yang lain punya pengalaman serupa?
Sudah 2 minggu setelah Idul Fitri, Lebaran pertama dikala pandemi, dan sudah 2 hari aku terbaring sakit. Makan nggak enak, bawaannya mual melulu, pusing berkepanjangan dan hanya bisa tidur untuk meredakan mual.
Mungkin karena beberapa hari sebelumnya aku sering telat makan atau mungkin juga dikarenakan ingin datang bulan, begitu pikirku. Paginya di hari ketiga badanku semakin lemas, dan ulu hatiku nyeri terus-menerus, akhirnya suamiku menyarankan untuk minum obat maag terlebih dahulu, kemudian sorenya baru ke dokter untuk periksa.
Mendapat Diagnosi Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)
Pukul 5 sore, pak suami menemaniku ke dokter langganan kami. Untung saja antrean tidak begitu banyak, karena perutku sangat nyeri jika hanya duduk saja. Kami bergegas masuk ke ruangan dokter setelah namaku dipanggil, pak dokter mulai menanyakan siapa yang sakit dan apa saja keluhannya.
Aku pun menjelaskan bagian-bagian yang sakit, dari hari apa aku sakit dan sudah minum obat apa sebelum ke dokter. Setelah semuanya kujelaskan, dokter menyuruhku untuk berbaring di ranjang pemeriksaan, dengan perlahan pak dokter menekan bagian perutku yang sakit.
Lalu aku kembali duduk dan beliau mulai mendiagnosis keadaanku. Kata beliau aku mengalami Gastroesophageal reflux disease (GERD), gangguan pencernaan yang ditandai dengan refluks asam lambung berulang dalam jangka panjang. Kondisi ini terjadi ketika asam lambung mengalir naik kembali menuju kerongkongan.
Asam lambung yang naik tersebut mengikis dan menyebabkan iritasi pada bagian dalam kerongkongan. Akibatnya, timbullah sensasi nyeri ulu hati yang terasa panas seperti terbakar. Mulut terasa asam, mual dan muntah yang kurasakan juga merupakan gejalanya, hal seperti inilah yang membuatku jadi kehilangan nafsu makan.
Akhirnya, untuk mengatasinya diberilah aku antibiotik dan juga obat nyeri oleh pak dokter, dan menyarankan untuk kontrol kembali di hari ketiga atau ketika obatnya habis.
Hasil Test Pack Negatif
Lima hari kemudian, obatku telah habis, tapi nyeri ulu hatiku kadang masih muncul. Keluarga menyarankan untuk pengobatan herbal saja agar aku tidak terlalu banyak mengonsumsi obat-obatan. Akhirnya, suamiku setiap malam membuat jamu dari temulawak dan kunyit. Setiap pagi dan malam aku rutin minum jamu tersebut selama 2 bulan.
Dan selama 2 bulan itu aku tidak menstruasi, ibu mertuaku pun bilang agar aku melakukan tespack. Pertama aku tespack di malam hari tapi hasilnya negatif, kemudian di pagi harinya aku test pack lagi tapi tetap negatif. “Berarti memang efek dari jamunya jadi nggak haid,” begitu kataku.
Kemudian aku kembali fokus pada pekerjaanku, hingga pada akhir bulan September aku mulai sakit-sakit lagi. Berat badanku naik dan perutku sedikit membesar. Aku selalu bilang ke suami bahwa aku cukup istirahat sehari lalu balik kerja lagi.
Suatu malam aku mengobrol dengan suami, bertanya kenapa perutku membesar, “Yang, perutku kok gede, ya? Jangan-jangan emang hamil ya.”
“Bukannya waktu itu negatif, kurang olahraga itu,” jawabnya. “Iya sih, karena kebanyakan duduk juga ini jadi ya buncit, heheh” timpalku lagi sambil tertawa pelan.
Kehamilan yang Tidak Disangka, Aku Dinyatakan Berbadan Dua
Awal bulan Oktober, timku mendapat giliran untuk WFH. Tanggal 5 Oktober, aku mendapat shift jam 6 pagi. Karena malamnya aku sempat meriang aku jadi telat bangun, aku pun tak ikut briefing. Awalnya berjalan baik-baik saja, lancar, jam 7 pagi aku sarapan sambil memantau monitor.
Pukul 8 pagi aku merasa ada yang aneh, perutku tiba-tiba sakit sekali pada bagian kanan hingga aku merasa mual dan pusing. Aku mulai merintih kesakitan. Lalu aku meminta short break kepada leaderku.
Aku masuk ke kamar berbaring sejenak, pikirku dengan berbaring rasa sakitnya akan berkurang tapi tetap sama saja. Saking sakitnya aku bangunkan suamiku dan mulai menangis, aku merengek kesakitan. Kupaksakan diriku untuk kembali bekerja, apa daya rasa sakit di perut malah menjadi-jadi.
Pukul 9 pagi aku dan suami akhirnya ke puskesmas terdekat, karena dalam kondisi pandemi, suami tak bisa ikut menemaniku di dalam. Pemeriksaan umum dan lab sudah kujalani tinggal menunggu hasilnya. Lumayan lama akhirnya namaku dipanggil juga. Aku masuk ke ruang pemeriksaan sambil memegang perutku
Dokter mempersilakan duduk, dan bertanya apakah aku sering menahan berkemih dan kurang minum? Aku mengiyakan semua pertanyaannya. Dokter tersebut juga menjelaskan bahwa urineku berwana keruh, pertanda aku terkena ISK atau infeksi saluran kencing.
Kemudian tiba-tiba bertanya “Mbak, sudah menikah, kan?” spontan aku jawab iya.
Bu dokter tersebut terlihat lega lalu kembali bertanya tentang hari pertama haid terakhir dan dihitunglah usia kandunganku, yang ternyata sudah memasuki usia 21 minggu. Aku sempat terdiam, tak percaya dengan yang dikatakan oleh dokter, aku merasa bahagia.
Namun, ada bagian yang abnormal di perutku jadi bu dokter langsung memberikan surat rujukan untuk penanganan lebih lanjut.
Pukul 12 siang, urusan di puskesmas sudah selesai tapi hujan turun cukup deras, untung saja puskesmas sudah sepi, jadi suamiku bisa masuk. Aku pun memberitahu tentang hasil pemeriksaanku. Suamiku terdiam cukup lama, tidak percaya bahwa aku hamil. Hingga bertanya berulang kali.
Hujan reda dan kami pulang dengan hati yang gembira. Sampai di rumah aku istirahat sedangkan suami mengurus dokumen rujukan ke RS.
Pukul 6 sore aku, suami dan mertuaku sudah berada di RS tapi aku baru mendapat giliran di dokter Obgyn pada pukul 7 malam. Saking lemas dan lunglainya aku, suster memberikan kursi roda agar aku tak susah payah berjalan.
Giliranku menjalani USG, untuk pertama kalinya aku melihat janinku, begitu membahagiakan, tanpa sadar air mataku mengalir, dan aku juga sangat kecewa kenapa baru hari ini aku tahu bahwa aku mengandung.
Sambil masih memeriksa janinku, dokter membenarkan bahwa usianya memang sudah masuk 21 minggu dan dalam keadaan sehat, akan tetapi aku harus rawat inap karena ada indikasi usus buntu, dan sudah koordinasi dengan dokter bedah untuk pemeriksaan esok hari.
Esok harinya aku menjalani USG lagi namun dengan dokter bedah. Dokter mengatakan peradangan yang terjadi di ususku sudah cukup parah sehingga harus segera di operasi. D
okter mengatakan tindakan tersebut harus dilakukan karena keadaanku yang sedang mengandung, ditakutkan jika hanya pengobatan dengan obat saja, usus buntuku akan pecah karena membesarnya janin dan hal itu akan lebih membahayakan.
Aku dan keluargaku langsung setuju untuk operasi.
Belajar untuk Lebih Mawas Diri
7 Oktober, pukul 06.20 aku sudah berada di ruang tunggu operasi. Aku takut saat itu, takut hal buruk akan terjadi.
Tapi aku kesakitan, jika terus kesakitan janinku juga akan tersiksa, maka dari itu aku siap dengan semua risikonya. Pukul 6.30 operasi pengangkatan usus buntuku dimulai, kurang lebih 30 menit akhirnya selesai sudah. Aku lega, dan sangat bersyukur. Setelah itu aku menjalani pemulihan di RS selama 3 hari.
Satu sisi aku sangat bahagia, satu sisi aku juga sedih, kecewa, dan menyalahkan diri sendiri akibat terlambat mengetahui kehamilanku. Banyak penyesalan yang aku dapat, terutama kurangnya menikmati masa kehamilan.
Sering telat makan dan suka makan pedas aku jadi punya GERD. Suka nahan buang air kecil di kantor dan kurangnya minum membuat diriku ISK. Tidak menjaga makanan hingga berakhir usus buntu.
Dari pengalaman tersebut aku belajar untuk mawas diri. Nggak mau lagi deh telat-telat makan, gak mau lagi deh kurang minum air, gak mau lagi deh tahan kencing. nggak mau lagi deh seenaknya ke diri sendiri. Pokoknya nggak mau lagi, deh, menyiksa diri.
Setelah operasi, perkembangan janinku sangat pesat, aku bersyukur nutrisi yang kuberikan pada bayiku belum sepenuhnya terlambat dan terlahir sehat tanpa kurang sedikit pun. Alhamdulillah sekarang sudah 5 bulan dan sangat aktif.
Aku baru sadar, ketika perutku berbunyi waktu itu ternyata bukan maag melainkan cegukannya si kecil. Sungguh ini adalah kehamilan yang tidak disangka!
Ditulis oleh Nur Eka Dewi Aulia, VIPP Member theAsianparent ID