Jadi Bapak Rumah Tangga, Mengajarkan Kesetaraan pada Anak

"Saya dan istri sudah menamkan hal yang baik ke anak, bahwa tidak ada gender class. Semua bisa dikerjakan sama rata."

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

"Ibu, Bapak... nanti kalau aku sudah besar. Aku mau di rumah aja. Nanti yang kerja istriku aja. Aku mau main dan temenin anakku aja." Begitu saya dan suami mendengar anak kami ngomong begini, kami berdua cuma mesem-mesem. Saya sendiri jadi bertanya-tanya, apa yang sampai memicu anak saya mengatakan mau jadi bapak rumah tangga.

Maklum saja, celoteh ini dilontarkan anak saya ketika masih duduk di Taman Kanak Kanak. Konsep atau sudut pandang berpikirnya tentu saja akan berbeda. 

Apa mungkin kalimat itu menyiratkan kalau sebenarnya anak kami kurang perhatian? Berharap saya dan suami memiliki waktu yang lebih banyak untuk bermain? Jleb. Saya, kok, jadi sedih sendiri, ya. 

Peran Suami dalam Rumah Tangga

Membahas soal peran suami yang pada akhirnya memilih untuk di rumah saja pada dasarnya memang menarik, ya. Kini, konsep bahwa seorang ayah harus berperan sebagai pencari nafkah perlahan kian bergeser. Iya, faktanya sekarang ini banyak sekali kok, pria yang memutuskan menjadi bapak rumah tangga.

Salah? Tentu saja tidak. Tapi memang bisa dipungkiri kalau masih banyak stigma negatif  yang masih melekat. 

Seorang suami dianggap harus mencari nafkah. Penghasilannya pun harus lebih tinggi. Sementara tugas  istri, ya, harus di rumah, mengurus pekerjaan domestik, menemani anak belajar.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Padahal, apa salahnya jadi bapak rumah tangga? Kuncinya,  tentu saja perlu dikomunikasikan dan disepakati lebih dulu dengan pasangan.   

Faktanya, saya sudah cukup banyak melihat para suami yang  memutuskan jadi bapak rumah tangga. Salah satunya adalah Suwandi atau yang lebih dikenal dengan panggilan JG atau Jago Gerlong yang memutuskan jadi bapak rumah tangga.

Kebetulan saya mengenal JG karena saya lebih dulu mengenal dengan istrinya, Annisa Steviani, mantan jurnalis yang kini banting stir jadi financial planner. 

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Keputusan Menjadi Bapak Rumah Tangga

Saat sesi ngobrol di Podcast Obrolan ManTAP, Jago Gerlong mengaku kalau sejak pacaran sebenarnya sudah mengomunikasikan keinginannya untuk jadi bapak rumah tangga. Bukan tanpa alasan, keputusan ini memang dipengaruhi role model dalam hidupnya. 

"Saya look up ke bapak saya. Beliau PNS, harus membiayai 10 orang anaknya. Saat pagi, bapak pergi ke kantor, tapi saat pulang ke rumah masih beberes rumah, cuci piring, cuci baju. Menurut saya, kok, keren banget ya? Belum lagi beliau juga masih cari uang tambahan, soalnya gaji PNS itu kan tidak mencukupi ya untuk menghidupi  dan memberi makan 10 orang. Ini tuh menurut saya keren banget." 

Beruntung, saat memutuskan untuk resign dan fokus ngurus rumah anak anak, lingkungan terdekat mendukung. Kalau pun ada yang nyinyir, mempertanyakan mengapa dirinya tidak bekerja saja, Jago Gerlong dengan senang hati menjelaskannya. 

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

"Well, di lingkungan saya sebenarnya nggak ada stigma negatif seperti itu, tapi yang paling penting adalah percaya diri. Jangan lupa bawa data saja, kalau ada yang tanya atau saat mendengar komentar kenapa sih mau jadi bapak, saya akan jawab pakai data. Bahwa kesejahteraan keluarga itu banyak faktornya. Bukan hanya uang. Ada kesejahteraan mental, dan lainnya. Jadi orang lain yang tidak paham akhirnya bisa mengerti."

Meski demikian, keputusan ini tentu saja perlu didiskusikan dan disepakati bersama. Termasuk memastikan kondisi keuangan sehat.

"Saya dan istri memang tidak ada pergulatan mental, justru yang ada itu pergulatan ngomongin finansial. Ini yang diskusinya jauh lebih panjang, keran sebelumnya kami kan mendapatkan benefit dari kantor saya yang cukup baik. Ketika resign, tentu saja banyak yang berubah dan perlu disiapkan. 

Dipicu dengan Munculnya Kecemasan Berlebihan

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Meski keinginan menjadi bapak rumah rumah tangga muncul sebelum menikah, namun sebenarnya keputusan ini baru bisa diwujudkan tahun 2021, tepatnya ketika Pademi Corona melanda. 

"Saya sekarang cukup tenang, karena sebelumnya saat saya bekerja, saya kena anxiety. Akhirnya saya ke psikolog dan psikater. Satu tahun konsultasi sampai harus minum obat. Memang selama pandemi ini kan kerjaan jadi makin banyak, ya. Memang bekerja di masa pandemi tantanggannya berbeda.

Dulu, kalau week end, saya sudah kepikiran week days. Aduh gimana nih kerjaan? Tapi saat  kerja, saya maunya cepet-cepet wiken. Nggak pernah saya merasa ada di hari ini.

Saat bersamaan anak saya ternyata juga merasakan yang sama. Sampai sempat nggak mau sekolah dua minggu, turun berat badan 2 kg. Tapi kalau sekarang bisa membersamai anak, bermain dengan anak. Karena menurut saya, anak yang capek karena lelah bermain adalah anak yang bahagia."

Kini, setelah memutuskan untuk resign dan fokus di rumah, perubahan positif semakin terasa. 

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Jadi Bapak Rumah Tangga, Mengajarkan Kesetaraan pada Anak

Keputusan jadi bapak rumah tangga tidak hanya membuat seluruh anggota keluarga menjadi lebih nyaman dan tenang, Jago Gerlong juga menegaskan bahwa keputusan ini juga bisa mengajarkan  nilai keseteraan pada buah hatinya.  

"Saya dan istri sudah menamkan hal yang baik ke anak, bahwa tidak ada gender class. Semua bisa dikerjakan sama rata.  Oleh karena itu kami pun memilih sekolah yang punya value yang sama, bisa melakukan pekerjaan domestik seperti masak itu kan juga life skill.

Anak kami sekarang sudah dibiasakan mencuci, memasak, jadai memang tidak kekhawatiran. Anak kami juga nggak tahu kalau tugas mencuci atau masak itu tugas perempuan, karena di rumah kami mengerjakan pekerjaan domestik sama-sama. Jadi siapa pun bisa mengerjakannya." 

Memang nggak bisa dipungkiri, ya,  bahwa kita dibesarkan di lingkungan yang mengotak-ngotakan anak laki-laki dan perempuan. Yah, setidaknya pada zaman saya dibesarkan masih sering sekali mendengar komentar, anak lelaki harus kuat, nggak boleh nangis seperti anak perempuan. Padahal, menangis merupakan luapan emosi yang bisa dirasakan siapa pun.

Belum lagi anggapan, warna biru untuk anak lelaki, sementara merah muda adalah warna perempuan. Faktanya, warna itu kan tidak dibatasi gender. 

Beruntung, lambat laun sudah berkembang gender neutral parenting atau pola asuh yang mengajarkan kesetaraan gender. Harapannya, anak bisa lebih berekplorasi dan memberikan anak untu bebas memilih apa yang disukai dan memberikan kesempatan yang setara tanpa ada batasan gender. 

Terakhir, Jago Gerlong juga mengingatkan, jika memang ada keluarga yang sedang mempertimbangkan untuk memilih jalan yang sama, fokus saja dengan apa yang dibutuhkan keluarga kita. Jangan lupa diskusi secara internal untuk tahu apa yang dibutuhkan, goals dalam keluarga apa. Perkuat diri dan pasangan.

"Saat mau memutuskan jadi bapak rumah tangga, nggak perlu melibatkan orang tua kita atau mertua, karena mereka sebenarnya nggak tahu apa yang dibutuhkan keluarga apa saja," tukasnya. . 

Baca juga: 

id.theasianparent.com/pengalaman-menjadi-bapak-rumah-tangga

id.theasianparent.com/kisah-bapak-rumah-tangga

id.theasianparent.com/stay-at-home-dad