Indriani Ginoto, Berjuang Bersama Yayasan Hipertensi Paru Indonesia

Hipertensi paru membuat duniaku terbatas, namun tidak membatasiku untuk berbuat baik pada sesama.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Penyakit hipertensi paru mungkin masih asing terdengar di telinga masyarakat. Faktanya, penyakit yang dikenal sebagai Hipertensi pulmonal ini merupakan penyakit yang mematikan.

Namun kondisi inilah yang dialami seorang perempuan bernama lengkap Indriani Ginoto.

Hipertensi paru yang bermula dari lupus

Tahun 1994, usiaku baru 13 tahun saat didiagnosa mengidap autoimun Lupus. Kondisi ini terdeteksi setelah mengalami demam berminggu-minggu diiringi dengan sendi-sendi yang sakit.

Tidak terbayangkan bila kelak aku akan mengalami masalah lain di bagian paru-paru dan menyebabkan aku  mengalami hipertensi paru (Pulmonal Hypertention /PH)

Pada waktu itu, informasi mengenai Lupus amat minim. Hal ini tentu saja membuat kami sekeluarga menjadi bingung. Dokter hanya mengatakan, ini penyakit serius, dan aku harus mengkonsumsi obat seumur hidup. Sejak saat itu, keluar dan masuk rumah sakit menjadi hal yang biasa bagiku.

Tiga tahun kemudian hipertensi paru muncul sebagai reaksi tubuh terhadap penyakit autoimun yang bersarang di tubuhku. Hal ini karena dalam keadaan normal, sistem imun yang kita miliki berfungsi untuk mempertahankan tubuh melawan infeksi yang disebabkan oleh kuman penyakit, virus maupun zat asing lainnya.

Dengan adanya penyakit autoimun, sistem pertahanan tubuhku menjadi terbalik. Bukannya menyerang kuman penyakit dari luar, malah berbalik menyerang organ sendiri. Pada lupus, organ yang diserang bisa bagian mana saja, dan dalam kasusku,  penyakit itu menyerang pembuluh darah paru.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Pembuluh darah paruku menjadi tebal dan sempit, sehingga aliran darah dari paru ke jantung menjadi tidak lancar dan bertekanan tinggi. Ini menyebabkan aku sesak nafas saat beraktivitas, mudah lelah, pusing, kaki bengkak dan sebagainya.

Sebenarnya saat itu aku hanya merasakan mudah lelah, tetapi melalui screening rutin dan USG jantung, dokter telah menemukan hipertensi paru tahap awal. Dokter tidak memberikan pengobatan maupun penjelasan dan hanya mengatakan kondisi ini tidak ada obatnya.

Pada 2002, aku mulai merasa tercekik setiap naik tangga. Aku juga  menjalani opname karena bengkak di sekujur tubuh. Dokter mengatakan ginjalku mengalami kebocoran dan darahku mengalami pengentalan, sehingga membutuhkan steroid dosis tinggi dan kemoterapi.

Pada saat yang bersamaan, dokter jantung kembali memvonis aku hipertensi paru. Beliau juga memberikan obat jantung untuk meredakan sesak nafasnya.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Koma akibat serangan lupus

Tahun 2003, aku kembali harus opname karena penyakit autoimun lupus kali ini menyerang liver. Racun di dalam liver menyebar ke seluruh tubuh dan otak sehingga menyebabkan koma.

Saat itu para dokter sudah angkat tangan dan semua obat sudah dihentikan karena berdampak buruk pada kondisi liver. Atas perkenan Tuhan, aku kembali sadar setelah koma 1 minggu.

Setelah itu penyakit autoimun lupusku mulai stabil –hanya kambuh sesekali-- tidak separah seperti dulu. Kondisi ini masih bisa dikendalikan dengan penyesuaian dosis obat, sehingga jarang opname.

Hingga saat ini belum ada yang bisa menjelaskan, mengapa penyakit autoimun ini bisa menyerang seseorang. Beberapa menyebutkan, stres sebagai salah satu pemicunya.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Sebagai penyandang penyakit autoimun lupus SLE (Systemic Lupus Erythematosus), aku tidak boleh melakukan aktivitas yang melelahkan dan menimbulkan tekanan (stres).

Akibat hipertensi paru, aku dilarang melakukan aktifitas melelahkan, sehingga semua aktivitas menjadi terbatas. Lupus dan hipertensi paru yang kuderita merupakan takdir yang harus kuterima dengan lapang dada, meski banyak impianku yang harus terpangkas habis seiring dengan waktu.

Hal-hal yang biasa dilakukan oleh orang normal, seperti: melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, bekerja kantoran, berkeluarga dan lain sebagainya, menjadi hal-hal yang tidak lagi menjadi prioritas dan mungkin untuk kulakukan. Bisa tetap bernafas sudah menjadi anugerah tersendiri dalam hidupku.

Hipertensi paru memang membuat penderitanya tampak manja, karena sifatnya yang invisible. Kami terlihat baik-baik saja dari luar. Tetapi di dalam, jantung bekerja keras seperti layaknya orang sedang lari marathon, 24 jam sehari.

Kondisi ini tentu saja sukar dimengerti oleh keluarga dan lingkungan. Mereka seringkali menganggap kami malas. Mereka tetap menuntut kami untuk mengerjakan banyak hal, yang akhirnya berakibat fatal.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Aku bersyukur keluargaku dapat memahami kondisiku, terutama Mama. Beliau yang sangat berperan memberikan perhatian dan dukungan penuh selama lebih dari 20 tahun.

Mengoptimalkan potensi dalam keterbatasan

Dengan kondisi saat ini aku lebih banyak mengerjakan aktivitas dengan komputer. Dari bekerja paruh waktu membantu kakakku menjalankan bisnisnya, hingga aktif di Yayasan Hipertensi Paru.

Aku tetap memiliki impian dan memiliki tujuan.  Tetap beraktiftas dengan jadwal yang fleksibel adalah hal yang penting untuk pasien hipertensi paru. Kami harus menemukan kehidupan normal yang baru untuk bertahan hidup.

Di tengah perjuangan mendirikan Yayasan Hipertensi Paru, cobaan itu kembali menghampiriku. Serangan lupus yang datang bersama infeksi, menyebabkan kondisiku kembali ke titik kritis dan koma selama satu bulan. Serangan itu juga membuatku kehilangan penglihatan mata sebelah kanan.

Kehilangan ini sangat berat bagiku. Namun aku bersyukur, masih diberi kesempatan untuk hidup dengan segala keterbatasan yang kumiliki. Paling tidak, aku masih memiliki sebelah mata yang berfungsi dengan baik.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Berjuang bersama Yayasan Hipertensi Paru Indonesia

Rasa sunyi dan sendiri menjalani penyakit kronis terobati saat mengenal mbak Emma. Seorang pasien hipertensi paru dari sebuah artikel yang dimuat Harian Kompas pada tahun 2006. Perkenalan ini membawaku mengenal beberapa pasien lainnya.

Kenangan bersama sesama pejuang hipertensi paru yang telah berpulang, Rini Hamidah  Alm.

Terinspirasi dari komunitas hipertensi paru yang berada di Amerika Serikat yang kini telah menjangkau 20 ribu pasien, kami pun merasa perlu adanya komunitas untuk saling berbagi antar pasien hipertensi paru dan keluarga di Indonesia.

Kami memulai dengan membentuk grup di jejaring sosial Facebook. Saat itu jumlah pasiennya masih sangat sedikit, hanya sekitar 8 orang. Kami pertama kali bertemu pada Maret 2012.

Pertumbuhan grup ini berjalan lambat karena sifat penyakit Hipertensi Paru (Pulmonary Hypertension/PH) yang progressive dan fatal,  bertambahnya anggota baru berkejaran dengan jumlah anggota yang meninggal.

Kondisi ini diperburuk kondisi obat hipertensi paru di Indonesia yang masih tidak lengkap jenisnya dan tidak terjangkau harganya, plus minimnya dokter yang memahami penyakit ini sehingga diagnosa baru sulit dilakukan.

Sebagai gambaran obat hipertensi paru terbaru, Uptravi, harganya 2 milyar/tahun dan harus dikonsumsi terus-menerus.

Dari 14 jenis obat yang ada, hanya 3 jenis obat yang beredar di Indonesia. 2 dari 3 jenis obat tidak terjangkau harganya dan hanya satu jenis yang masuk dalam JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), yaitu Beraprost. Obat ini cukup membantu untuk pasien tahap awal.

Dengan kondisi di atas, tidak heran bila kami harus bertahan dengan obat seadanya.

Sebagian dari kami harus menggunakan tabung oksigen 24 jam yang juga berbiaya mahal. Kondisi ini memaksa kami hanya menggunakannya sesekali. Kami terpaksa hidup dengan saturasi oksigen dalam darah <80 ( biasanya Dokter sudah menyarankan untuk masuk ICU, untuk pasien penyakit lainnya).

Keadaan ini membuat kami merasa perlu membentuk wadah resmi dalam hal ini Yayasan Hipertensi Paru Indonesia (www.hipertensiparu.org) agar memudahkan advokasi ke pemerintah, profesional medis dan pihak terkait.

Tanpa adanya advokasi dan inisiatif dari pasien dan keluarga, kondisi di atas tidak akan pernah berubah sampai kapan pun juga.

Hipertensi paru banyak menyerang perempuan usia produktif dan anak-anak, ratio laki-laki dan perempuan bisa mencapai 1:10. Meskipun hipertensi paru bisa disebabkan oleh puluhan penyakit lainnya, tetapi di Indonesia hampir 80% disebabkan oleh penyakit jantung bawaan (jantung bocor awamnya).

Miris, karena sebenarnya penyakit jantung bawaan bisa dikoreksi dan disembuhkan bila ditemukan sejak dini dan dioperasi saat anak-anak.

Diagnosa dini ini sebenarnya dengan mudah dapat diatasi di era JKN ini dengan kebijakan screening USG jantung/echocardiografi rutin pada bayi dan anak-anak, seperti yang telah dilakukan di negara-negara lain.

Dengan kebijakan sederhana screening rutin (setidaknya satu kali semasa anak-anak) dan kebijakan harga obat murah, maka angka kejadian hipertensi paru di masa mendatang dapat ditekan dan angka harapan hidup dapat membaik.

Semua kembali pada niat baik pemerintah dan pihak terkait untuk berpihak pada rakyatnya. Dan kami yakin serta optimis, dengan usaha dan doa bersama-sama, kebijakan itu pelan tetapi pasti, akan terwujud.

Kisah di atas diceritakan Indriani Ginoto, salah satu pendiri Yayasan Hipertensi Paru Indonesia, kepada kontributor The AsianParent.com. Semoga bermanfaat.

Baca juga :