Kali ini aku ingin sedikit berbagi terkait dengan perjalananku sebagai ibu yang alami bipolar disorder.
Kisahku dimulai sejak kami saling mengenal di tahun 2009. Saya seorang adik kelas dan suamiku merupakan senior di sekolah. Singkat cerita, kami menjalani hari bersama 10 tahun lamanya hingga kami memutuskan untuk menikah awal tahun 2020 silam.
Kami bahagia. Aku dan suami tinggal disebuah kos-kosan kecil dengan tidur beralaskan kasur lantai tipis dan kecil. Sejak mempersiapkan pernikahan aku memutuskan untuk resign.
Sebulan menikah, kami mendapatkan anugerah dari Tuhan. Aku hamil, ah, ketika itu kami benar-benar bahagia. Rasanya, kami semakin lengkap.
Saya, Ibu yang Alami Bipolar Disorder
Saya adalah seorang perempuan pengidap bipolar disorder. Sejak mendapat diagnosis dokter beberapa tahun lalu, aku sudah menjalani berbagai macam rasa.
Mulai dari mood yang naik turun drastis, tidak makan berhari-hari sampai dengan beberapa kali berniat mengakhiri hidup. Suamiku yang sudah lama mengenalku, mengerti akan hal itu. Ia yang selalu menyemangati dan menuntunku untuk selalu kuat.
Di awal kehamilan, aku selalu dihantui rasa takut tidak bisa mempertahankan janin ini. Ketakutanku semakin bertambah karena aku sering kali ditinggal seorang diri di rumah oleh suami untuk bekerja.
Ya, suamiku lebih banyak memiliki shift bekerja di malam hari lalu pulang di pagi hari. Sepulang bekerja, suamiku selalu membawakan aku sarapan lalu langsung tidur sampai sore harinya. Aku sangat mengerti posisinya yang lelah.
Dukungan Suami Selalu Menguatku
Ketika suamiku bekerja, sering kali aku melihat obat serangga yang ada di rak lemari. Mempertimbangkan untuk meminumnya, saat aku merasa jiwaku seakan terbagi dua. Antara menyuruhku untuk meminumnya dan menghiraukan saja suruhan itu.
Tanpa alasan yang jelas, sering kali aku menangis tersedu-sedu karenanya. Aku takut tak sanggup melewatinya. Apalagi ketika mendengar ada suara-suara yang ku dengar di dalam kepalaku. Aku tak bisa menahannya.
Beruntungnya aku memiliki suami yang sangat sayang dan pengertian. Suamiku selalu meyakinkan aku dengan kalimat-kalimat menyejukkannya. Mendukungku dengan makanan-makanan yang sedang ingin ku makan.
“Imma hebat, imma cantik, imma pasti bisa”. Pujian-pujiannya selalu terngiang dan ku ulang di dalam kepala ketika dorongan menyerah sedang menghantuiku.
Selalu terputar dalam ingatanku dimana saat aku mengalami mual yang sangat, muntah tiada henti, suamiku lah yang mengusap punggungku, menghiburku, menyemangati, mengambilkan minum bahkan membersihkan sisa-sisa muntahku.
Betapa bersyukurnya aku memiliki dirinya sebagai seorang suami.
Tantangan Ibu yang Alami Bipolar Disorder dalam Pengasuhan
Waktu kini telah berlalu, akhirnya kami mendengarkan detak jantung calon bayi kami untuk pertama kalinya.
Aku terharu, suamiku mengharu biru. Kami dipenuhi rasa syukur yang tiada henti. Sampai pada saat kandunganku menginjak 6 bulan, kami memutuskan untuk tinggal terpisah. Aku pulang ke kampung untuk menyiapkan kelahiran anak kami. Aku menangis di atas pesawat, sedih membayangkan segala hal.
Di hari pertama kami berpisah, aku menangis sendirian. Suara-suara aneh kembali memenuhi kepalaku. 9 bulan lamanya aku menahan dan melawan semua tekanan di dalam kepalaku, berharap dan berusaha agar segalanya baik-baik saja.
September 2020, anak kami lahir. Suamiku mendampingi seminggu lamanya, setelahnya ia kembali ke ibu kota untuk bekerja. Aku mengurus segalanya sendiri.
Ketika lelah menghantui, ingin sekali ku banting bayiku yang tak henti menangis.
Bagaikan film, selalu terputar adegan di mana aku menyakiti bayiku sendiri. Setengah mati aku mencoba untuk metahan rasa itu, penyesalan dan tangisan selalu hadir setelahnya. Bayiku yang lucu, anakku yang ku sayang, tatapannya selalu menyadarkanku dari segala keburukan.
Sekarang anakku sudah berusia 8 bulan. Bipolarku masih sering menghantuiku, sering membuatku tidak ingin bangun dari tempat tidur atau tidak tidur semalaman suntuk. Sering kali juga memaksaku untuk berpikiran buruk maupun emosi yang meledak-ledak.
Namun ketika segala perasaan itu datang, anakku adalah penyelamatku dan suamiku sebagai penenangku. Sering kali aku tatap wajah anakku yang manis untuk menghilangkan segala perasaan dan pikiran buruk, senyumnya seakan menyadarkanku, mengajakku untuk bersyukur atas bahagia yang kami miliki.
Ketika tangisnya tiada henti, ku biarkan ia menangis sambil meraih-raih ujung bajuku. Ku tatap matanya sambil terdiam. Ini adalah caraku meredakan emosi yang hendak meledak namun setelahnya, aku menangis sembari menenangkannya. Iya, aku menyesal membiarkannya menangis.
Suamiku tak henti memberikan kalimat positif. Menyadarkanku dengan segala perjuangannya untuk kami.
Menyayangiku secara penuh tak ada beda disaat kami sudah memiliki buah hati. Selalu mendukung atas apa yang ku lakukan. Ah, tiada hentinya aku bersyukur kepada tuhan atas segala yang ku punya.
Sering kali aku berkata pada diri, penyakitku tak akan pernah bisa mengalahkanku. Penyakitku tak akan pernah bisa menjadikan aku seorang ibu yang jahat.
Ku Ingin Buah Hatiku Tumbuh Sehat
Ku dengar, penyakit ini kemungkinan menurun dari orang tua kepada anak. Seringkali ku katakan pada suamiku bahwa aku tak ingin anak kami menjadi seperti aku, aku tak ingin ia merasakan apa yang sudah lama ku derita.
Berulang kali pula suamiku meyakinkan, anak kami akan menjadi seorang yang senantiasa baik. Anak kami akan menjadi orang yang akan selalu bangga dan bertanggung jawab akan dirinya. Kami selalu berjanji akan membimbingnya sebaik mungkin sebisa kami.
Aku hanyalah seorang ibu dengan penyakit mental yang sedang dan masih terus ku lawan sekuat tenaga. Sampai kapan pun, anakku adalah segalanya bagiku. Tak akan sanggup aku menyakitinya. Sesakit apapun aku, anakku adalah permata yang tak boleh terusik kebahagiaannya.
***
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.