Coba ingat-ingat Bunda, apakah beberapa waktu belakangan ini Anda jadi lebih cepat marah-marah? Jika iya, kali ini kami akan mencoba mencari tahu apa penyebab ibu pemarah. Apakah Bunda sudah tahu?
Bagaimana kabar Bunda hari ini?
Coba kita uraikan rangkaian rutinitas Bunda pagi tadi. Barangkali Bunda telah memulai aktivitas pagi-pagi sekali, bahkan sebelum adzan Subuh tiba. Bunda membersihkan rumah, merapikan mainan si kecil yang bertebaran di ruang keluarga, kemudian bersiap menyalakan kompor, menyiapkan sarapan, serta mengangkat jemuran.
Beberapa saat kemudian semuanya selesai, tepat ketika suami dan anak bangun. Sambil membawa sekeranjang jemuran bersih Bunda memasuki kamar. Namun apesnya, mobil-mobilan si kecil di sebelah pintu membuat Bunda tersandung, keranjang terjatuh. Sementara si kecil, masih dengan tingkah usilnya, menembakkan pistol-pistolan airnya ke arah muka Bunda. Crot.
Masih mencoba bersabar, Bunda bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri, dan sialnya lagi, Bunda menemukan toilet belum disiram untuk ke sekian kalinya. Bunda berbalik, melihat suami usai mandi dan meletakkan handuk basahnya di atas tempat tidur.
Bunda meledak.
Kemudian melemparkan sikat gigi ke arah suami, merebut pistol-pistolan air dari tangan si kecil, dan menyuruhnya segera mandi dengan nada tinggi. Menyuruh suami segera bergegas merapikan kamar dengan nada yang lebih tinggi.
Dan sedihnya, perkara semacam ini bukan yang pertama kali terjadi.
Pernahkan Bunda berpikir, mengapa kita jadi ibu pemarah? Kenapa kita mudah sekali marah dengan hal-hal sepele yang dilakukan orang-orang tercinta kita?
Karen Johnson dalam Scarymommy menceritakan hal sama.
“Saya bekerja keras setiap hari untuk menjaga rumah, memasak makanan sehat, mencuci pakaian, mengeringkan, dan menggantung pakaian semua orang sehingga mereka semua bisa berpakaian di pagi hari.
Saya menggosok toilet, melipat selimut dan menggulung karpet. Saya mengingatkan mereka untuk mengerjakan pekerjaan rumah mereka dan mencuci tubuh mereka.
Jadi ketika orang-orang yang saya cintai itu tiba-tiba membuang kotoran mereka sembarangan, membuat dapur berantakan, dan berkomentar masakan saya tidak enak.
Tentu saja, saya marah. Lebih jauh lagi, saya sebenarnya merasakan perasaan yang lebih rumit dari sekedar ‘marah’ itu sendiri,” tulis Karen.
Apa yang Bunda tahu tentang kemarahan? Apakah itu sebenarnya pertanda sesuatu yang lain?
Menurut Psychology Today, emosi-emosi dari rasa marah berasal dari perasaan lain yang lebih kompleks, seperti merasa diabaikan, tidak penting, tidak dipahami, dan perasaan tidak berdaya atas kondisi yang tengah terjadi.
Bukankah itu masuk akal? Bunda sudah bekerja sebaik mungkin, menjadi ibu sekaligus istri sebaik-baiknya, namun kemudian merasa tidak dihargai, diabaikan, dan terkadang merasa tidak dicintai dengan sepenuh hati.
Selain itu, Bunda juga bisa jadi ibu pemarah karena bertambahnya beban tanggung jawab.
Namun yang perlu dipahami, Bunda dapat berisiko stres berat jika menangani jumlah pekerjaan yang melebihi tanggung jawab.
Terlebih jika Bunda adalah orang yang tidak dapat berkata tidak, meski pekerjaan tersebut bisa Bunda tolak dan dapat didelegasikan keada suami atau anggota keluarga yang lain.
Jadi jangan sungkan untuk berbagi, tidak hanya berbagi kebahagiaan namun juga ketika kita punya masalah dan beban-beban kecil seperti, tugas membagi tugas membersihkan rumah.
Misalnya begini, Bunda memasak, sementara tugas membersihkan toilet Bunda minta suami untuk melakukannya, atau juga meminta si kecil merapikan mainannya sendiri.
Selain faktor-faktor luar tersebut, penyebab ibu pemarah juga dapat berasal dari diri kita sendiri. Seperti tingkat hormonal yang berubah, PMS, tingkat stres, kelelahan, serta perubahan metabolisme tubuh yang lain.
Lebih lanjut lagi, rasa marah yang dipendam dapat menjadi pemicu permasalahan lain yang lebih besar, seperti tekanan darah tinggi, gangguan jantung, sakit kepala, serta masalah paru-paru dan pencernaan, hingga lemahnya sistem kekebalan tubuh.
Oleh karena itu, beberapa ahli sepakat, seseorang lebih baik mengekspresikannya daripada memendam rasa marah. Namun begitu, ledakan kemarahan yang berlebihan seringkali tidak efektif, bahkan memicu permasalahan lanjutan. Karena itu penting untuk mengetahui cara menenangkan pikiran.
dr. Kevin Adrian dari Alodokter memberi beberapa kiat untuk menenangkan diri ketika marah, yaitu di antaranya:
• Mengatur napas dan berpikir positif
Ketika mulai marah, tarik napas dalam-dalam dari diafragma dan ulangi kata “santai” atau “tenang” perlahan-lahan sampai kemarahan reda. Atau berhitung dari 1-10 guna memberi Anda waktu untuk menenangkan diri dan berpikir lebih jernih.
• Berpikir sebelum berbicara
Ketika hati panas, sangat mudah mengatakan sesuatu yang mungkin akan disesali. Tenangkan diri untuk mengumpulkan pikiran sebelum berkata apa-apa.
• Ekspresikan kemarahan
Setelah tenang, luapkan kemarahan Anda dengan tegas tapi tidak konfrontatif. Ungkapkan apa yang Anda rasakan secara jelas dan langsung, tanpa menyakiti orang lain.
Atau bicarakan perasaan Anda dengan teman, mungkin ini dapat membantu Anda mendapatkan cara pandang berbeda.
• Olahraga atau melakukan aktivitas fisik
Kegiatan fisik dapat membantu mengurangi stres yang dapat menyebabkan amarah. Jika merasa amarah Anda meningkat, cobalah berjalan kaki untuk menghirup udara segar, melakukan yoga, atau menghabiskan waktu melakukan kegiatan fisik dan olahraga yang Anda senangi.
Selain berolahraga, Anda juga bisa menulis, bermain atau mendengarkan musik, menari, atau melukis.
• Tertawa
Tertawalah untuk melepaskan stres. Gunakan humor untuk membantu menghadapi apa yang membuat Anda marah. Hindari sindir-menyindir atau melontarkan kalimat yang kurang pantas karena bisa menyakiti perasaan orang lain dan memperburuk keadaan.
• Temukan alasan kenapa Anda jadi ibu pemarah
Selalu ada sesuatu yang mendasari amarah, kuncinya adalah menemukan pemicunya. Ingatkan pada diri sendiri jika amarah tidak akan memperbaiki apa-apa, dan mungkin hanya membuat segala sesuatu menjadi lebih buruk.
• Jangan menyimpan dendam
Jika membiarkan amarah dan perasaan negatif lainnya menumpuk di dada, Anda mungkin akan tenggelam dalam semua perasaan itu. Tapi dengan memaafkan orang yang membuat Anda marah dan akhirnya memaafkan diri sendiri, Anda dapat terbebas dari tekanan perasaan negatif dan mungkin bisa belajar dari peristiwa yang Anda alami.
Baca juga:
Surat untuk balitaku: "Nak, maafkan Bunda adalah ibu yang pemarah…"